Mohon tunggu...
Rafli Hasan
Rafli Hasan Mohon Tunggu... -

columnist, urban traveler, blogger

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reduksi Kekuasaan Wali Nanggroe, Benarkah?

11 November 2014   17:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:05 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415678734887242228

[caption id="attachment_334593" align="alignnone" width="600" caption="Wali Nanggroe Aceh berbaju Partai Politik (http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/10/13829269021120378323.jpg)"][/caption]

Senator asal Aceh, Fachrur Rozi menyebutkan bahwa telah terjadi reduksi terhadap peran dan kewenangan Wali Nanggroe selama ini sehingga terkesan perananWali Nanggroe lebih kecil daripada dinas-dinas dalam pemerintahan Aceh. Oleh karenanya, ia berharap agar peran dan fungsi Wali Nanggroe dikembalikan seperti semula (wawancara dengan redaksi Atjehpost.co).

Berbicara tentang Wali Nanggroe tentu tidak terlepas dari 2 aspek. Yang pertama, aspek sejarah dan yang kedua adalah aspek politik. Sebagaimana sering diangkat oleh media-media lokal, bahwa keberadaan Wali Nanggroe merupakan bagian dari perjalanan sejarah Aceh. Ketika Sultan Mahmud Syah wafat pada 1874, penggantinya Sultan Mahmud Daud Syah masih berusia belia sehingga semua kekuasaan kesultanan ditarik. Parlemen, Reusam, Malikul Adli serta majelis adat menunjuk Teungku Tjik Di Tiro Muhammad Saman sebagai Wali Nanggroe yang bertugas menjalankan roda pemerintahan termasuk menyusun strategi perang melawan kolonial Belanda. Perjalanan sejarah ini ditarik lurus ke bawah hingga Wali Nanggroe ke-8 Teungku Muhammad Hasan Tiro yang selanjutnya mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976.

Berdasarkan catatan sejarah di atas, Wali Nanggroe bukanlah keturunan bangsawan ataupun kesultanan Aceh namun orang yang dipercaya untuk menjalankan roda pemerintahan hingga Sultan yang sah cukup usia untuk memimpin. Artinya kekuasaan yang dimiliki oleh Wali Nanggroe pada saat itu dibatasi oleh kekuasaan kesultanan/majelis dan pada waktunya akan berakhir berdasarkan keputusan majelis ketika Putra mahkota Kesultanan Aceh sudah cukup usia.

Perjalanan sejarah menggiring pada kenyataan sang Putra mahkota Kesultanan Aceh tidak pernah sempat berkuasa. Beliau justru mengalami masa-masa sulit dan menjadi 'tumbal' perjuangan dan kekuasaan yang dipegang oleh keturunan Teungku Tjik di Tiro Muhammad Saman. Kisahnya dapat dilihat pada artikel di tautan http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/11/kisah-sedih-putra-mahkota-sultan-aceh-terakhir-485165.html.

Jaman berubah, kolonialisme menjadi musuh utama dunia. Belanda angkat kaki dari nusantara, dengan penyerahan kedaulatan daerah-daerah bekas jajahan Hindia Belanda kepada Pemerintahan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno. Aceh termasuk di antaranya. Pemerintahan yang masih belia ini pun mengalami masa-masa sulit untuk menjaga keutuhan negara kesatuan. Pemberontakan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. 4 Desember 1976, Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh dan mengklaim dirinya sebagai Wali Nanggroe ke-8. Pemerintahan yang masih belia itu bereaksi, reaksi yang sama dengan daerah-daerah yang menginginkan untuk melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan yang sah dan diakui secara internasional. Melalui pengorbanan yang begitu panjang dan akal sehat, akhirnya tercetuslah kesepahaman damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh merdeka (GAM) dalam MoU Helsinki. Berangkat dari sinilah proses politik dimulai.

Penunjukan Malik Mahmud Al Haytar sebagai Wali Nanggroe ke-9 merupakan bagian dari proses politik tersebut. Amanat MoU Helsinki menyebutkan bahwa Wali Nanggroe memiliki fungsi sebagai pemersatu dan pemimpin adat. Sebuah peran yang sesungguhnya sangat luar biasa apabila dijalankan dengan niat yang tulus dan bersungguh-sungguh. Fungsi dan peran yang begitu mulia, jauh dari keterlibatannya dalam dunia politik yang justru dapat mereduksi kewibawaan peran dan fungsinya tersebut. Persoalan muncul ketika sang Wali Nanggroe ke-9 yang dipilih oleh DPR Aceh justru asyik masyuk dalam dunia politik lokal dan bahkan ikut serta mengambil peran dalam keputusan-keputusan politik di Aceh. Kedudukannya yang merangkap sebagai Tuha Peut partai lokal terbesar di Aceh mengaburkan peranan yang sesungguhnya sebagai seorang 'Wali' orang Aceh. Bahkan dalam beberapa kesempatan Wali Nanggroe sering sekali muncul dengan seragam kebanggaan Partai eks kombatan GAM tersebut.

Oleh karena itu, saya sependapat dengan pernyataan Fahrur Rozi yang menginginkan agar fungsi dan peran Wali Nanggroe dikembalikan seperti semula, jauh dari keterlibatannya dalam dunia politik maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan pemerintahan dan birokrasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran dan fungsi Wali nanggroe sebagai pemersatu orang Aceh jangan lagi dipelesetkan sebagai pemersatu partai politik lokal yang memang kerap kali kisruh. Peran dan fungsi inilah yang harus dijalankan oleh Wali Nanggroe. Memersatukan seluruh elemen rakyat Aceh, mendamaikan permusuhan dan perselisihan sesama orang Aceh dan memelihara perdamaian di Aceh. Tentunya jika peran ini dijalankan dengan sungguh-sungguh maka peristiwa-peristiwa tragis seperti teror politik pemilu lalu maupun sebelumnya tidak akan pernah terjadi.

Rafli Hasan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun