Dalam film "Eksil" karya Lola Amaria, kita dihadapkan pada narasi yang membangkitkan kesadaran sejarah Indonesia pasca-1965. Film ini bukan sekadar refleksi atas masa lalu, tetapi juga sebuah analisis sosial politik yang mendalam melalui kacamata Marxisme-Post Marxisme dan teori Slavoj Žižek. "Eksil" mengajak penonton untuk menyelami pengalaman identitas yang terfragmentasi, alienasi yang mendalam, dan semangat perlawanan yang tak pernah padam. Dengan menggali lapisan-lapisan trauma dan memori kolektif, film ini menawarkan perspektif baru dalam memahami dinamika sosial politik yang terus beresonansi hingga kini. Ini adalah sebuah karya yang menantang kita untuk tidak hanya mengingat, tetapi juga untuk mempertanyakan dan mengubah narasi sejarah yang telah lama tertanam.
Film "Eksil" mengungkap kisah nyata  mahasiswa Indonesia yang terdampar di berbagai penjuru dunia, terpisah dari tanah air akibat tragedi politik tahun 1965. Mereka adalah saksi bisu dari sebuah era yang penuh gejolak, di mana stigma dan kehilangan identitas menjadi bayang-bayang yang mengikuti setiap langkah mereka. Lola Amaria, dengan sentuhan empati yang mendalam, menggali cerita-cerita personal yang selama ini tersembunyi di balik tirai sejarah. Dengan penceritaan yang kuat dan jujur, "Eksil" membawa kita melalui perjalanan hidup mereka, mulai dari menerima beasiswa di era Sukarno hingga menjadi korban dari label komunis yang yang melekat pasca-G30S/PKI. Film ini memperlihatkan bagaimana mereka dikucilkan, bahkan oleh keluarga mereka sendiri di Indonesia, karena besarnya risiko  yang bisa berujung pada kematian mereka.
Di negeri orang, hidup mereka juga tidak mudah. Dikejar  agen rahasia, menjalani hubungan tanpa kepastian, dan merelakan orang terkasih karena kondisi yang mengkhawatirkan, ini adalah beberapa potret kehidupan mereka yang terlukis dalam "Eksil". Film ini bukan  sekedar dokumenter tapi juga merupakan penghormatan kepada generasi terlupakan yang hidupnya tergadai oleh kebijakan politik yang kejam dan brutal. Lola Amaria mencoba menyampaikan pesan bahwa meskipun mereka ada, tapi dianggap tiada. "Eksil" adalah sebuah karya yang memaksa kita untuk menghadapi kenyataan pahit ini, mengingatkan kita bahwa sejarah adalah cerita yang berkelanjutan dan pelajaran yang harus terus kita petik agar hal serupa tidak terjadi lagi.
"Hidup adalah usaha untuk mencari jalan pulang, kepada rumah, kepada ibu. Bagaimana rasanya ketika kita ada, tapi dianggap tiada," -- Lola Amaria (Eksil, 2022)
Analisis Melalui Lensa Marxisme-Post Marxisme
Dalam film "Eksil", kita dihadapkan pada potret keterasingan yang mendalam, seperti yang diajarkan oleh Marxisme. Mahasiswa yang terdampar di berbagai negara setelah peristiwa tahun 1965 mengalami pemisahan yang brutal dari asal usul dan identitas mereka. Mereka yang seharusnya menjadi pemimpin masa depan Indonesia, malah menjadi simbol perlawanan terhadap represi Orde Baru.Â
Keterasingan atau "keterasingan" berarti, bagi Marx, bahwa manusia tidak mengalami dirinya sebagai agen yang bertindak dalam genggamannya terhadap dunia, namun dunia (alam, orang lain, dan dirinya sendiri) tetap asing baginya (Fromm, 1961). Alienasi dalam Marxisme bukan hanya tentang terpisahnya pekerja dari hasil kerja, tetapi juga tentang pemisahan dari potensi manusia yang sejati. Film ini mengeksplorasi konsep ini dengan menunjukkan bagaimana para mahasiswa ini terputus dari masyarakat dan budaya mereka,  tidak hanya menderita kerugian fisik tetapi juga psikologis dan spiritual. Mereka hidup dalam situasi genting, tanpa  kewarganegaraan yang jelas dan tanpa kemampuan berkontribusi terhadap tanah air yang  mereka tinggalkan.
Marxisme-Post Marxisme, dengan pengaruh dari post-strukturalisme dan teori lainnya, menawarkan lensa yang lebih luas untuk memahami kondisi ini. Teori ini berpendapat bahwa struktur kekuasaan bersifat menindas tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara ideologis dan budaya. "Eksil" menunjukkan bagaimana Orde Baru menggunakan kekuasaan tersebut untuk menciptakan narasi yang mengecualikan atau bahkan menghapus keberadaan kelompok tertentu dari sejarah resmi.Â
Film ini juga menunjukkan bahwa meski dijauhi, para Mahasiswa ini tetap tidak kehilangan semangat perlawanannya. Mereka terus memperjuangkan keadilan dan kebenaran, meski menghadapi kesulitan yang sangat besar. Hal ini mencerminkan gagasan Marxisme-Post Marxisme bahwa sistem yang represif tidak pernah total dan selalu memiliki celah untuk perlawanan dan perubahan. Melalui kisah-kisah pribadi yang kuat dan mengharukan, "Eksil" mengajak penonton untuk berpikir tentang dampak jangka panjang dari kebijakan politik yang tidak manusiawi. Film ini tidak hanya mengungkap luka masa lalu, namun juga menunjukkan pentingnya memori kolektif dan perjuangan berkelanjutan untuk  masa depan yang lebih adil.
Dengan mengintegrasikan pemikiran Slavoj Žižek, kita dapat melihat bagaimana film ini menantang "ideologi sebagai fantasi tak sadar yang mengstruktur realitas". Para mahasiswa ini, dalam pengasingan mereka, menjadi simbol dari "realitas fiksi" yang Žižek bicarakan---mereka ada, tetapi dianggap tiada oleh struktur kekuasaan yang dominan. seperti dikatakan Slavoj Žižek(2012). dalam buku "Less Than Nothing: Hegel and the Shadow of Dialectical Materialism", p.4:
"Beyond the fiction of reality, there is the reality of the fiction"
Secara keseluruhan, "Eksil" merupakan karya yang memperkaya pemahaman kita tentang sejarah Indonesia melalui lensa Marxis-Post Marxisme. Film ini tidak hanya memberikan wawasan tentang masa lalu, namun juga menginspirasi kita untuk menatap masa depan dengan cara yang berbeda, penuh harapan, keberanian, dan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Integrasi Pemikiran Slavoj Žižek
Slavoj Žižek, seorang filsuf kontroversial yang terkenal karena kritiknya terhadap ideologi dominan, memberi kita alat untuk memahami realitas sosial dan politik yang kompleks. Dalam film "Eksil" karya Lola Amaria, refleksi Žižek terhadap ideologi sebagai fantasi bawah sadar yang menstrukturkan realitas menjadi sangat relevan.
Menurut Žižek, ideologi bukan sekadar seperangkat ide yang kita anut, melainkan struktur bawah sadar yang membentuk cara kita memahami dunia. Ideology is not a dreamlike illusion that we build to escape insupportable reality; in its basic dimension it is a fantasy-construction which serves as a support for our 'reality' itself: an 'illusion' which structures our effective, real social relations and there by masks some insupportable, real, impossible kernel (Žižek, 2009). Ini adalah "peta" yang memandu kita dalam menavigasi kompleksitas masyarakat. Dalam konteks film "Eksil", ideologi Orde Baru menciptakan realitas alternatif dimana mahasiswa yang diasingkan akibat peristiwa 1965 dianggap "tidak ada". Mereka telah dihapus dari narasi resmi dan dibuat seolah-olah tidak pernah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Film ini menantang penonton untuk melihat lebih jauh dari narasi resmi yang dihadirkan oleh penguasa. Melalui kisah pribadi para mahasiswa, "Eksil" mengungkap bagaimana ideologi Orde Baru tidak hanya menghapus mereka dari sejarah tetapi juga menciptakan stigma yang mendalam dan berkepanjangan. Ini adalah contoh dari apa yang Žižek sebut sebagai "fantasi ideologis" ---percaya bahwa realitas yang diciptakan oleh kekuasaan adalah satu-satunya realitas yang ada. The function of ideological fantasy is to mask this inconsistency, the fact that 'Society doesn't exist', and thus to compensate us for the failed identification (Žižek, 2009).
Žižek juga menekankan pentingnya "over-identification," atau identifikasi berlebihan, sebagai bentuk perlawanan. Dalam film tersebut, para mahasiswa tidak  pasif menerima nasibnya. Mereka berusaha untuk mempertahankan identitas dan kebenaran mereka, bahkan ketika dunia menolak untuk mengakui keberadaan mereka. Hal tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap ideologi-ideologi yang berusaha menghapusnya. Lebih lanjut, Žižek berbicara tentang "intepassivity", di mana subjek menyerahkan perasaan atau tindakannya kepada objek atau orang lain. Dalam "Eksil," interpassivity terjadi ketika masyarakat Indonesia yang mungkin merasa tidak nyaman dengan kebijakan Orde Baru tetap diam dan membiarkan pemerintah bertindak atas nama mereka. Hal ini menciptakan ilusi bahwa semua orang setuju dengan status quo, padahal kenyataannya mungkin berbeda.
Film "Eksil" adalah cara ampuh untuk mengeksplorasi teori Žižek. Menggabungkan kisah pribadi yang emosional dengan analisis sosial politik yang mendalam, film ini menawarkan perspektif baru tentang bagaimana kita memahami masa lalu dan bagaimana hal itu terus mempengaruhi realitas kita saat ini. Melalui kacamata Žižek, "Eksil" bukan hanya sebuah cerita tentang mahasiswa yang terasing tetapi juga tentang bagaimana kita semua sebagai individu dan masyarakat dapat terjebak dalam fantasi ideologis yang diciptakan oleh kekuasaan. Film ini mengajak kita untuk mempertanyakan kenyataan yang kita anggap remeh dan mendorong kita untuk mencari kebenaran yang lebih dalam dan benar.
Dengan demikian, "Eksil" dan pemikiran  Žižek memberi kita wawasan  berharga tentang bagaimana ideologi dapat membentuk dan terkadang mendistorsi realitas kita. Ini merupakan pelajaran penting yang dapat kita terapkan tidak hanya dalam memahami sejarah namun juga dalam menghadapi tantangan sosial dan politik saat ini.
Kesimpulan
Film "Eksil" karya Lola Amaria, melalui penceritaan yang kuat dan emosional, membuka jendela baru bagi kita untuk memandang sejarah Indonesia. Dengan mengintegrasikan teori Marxisme-Post Marxisme dan pemikiran Slavoj Žižek, film ini menawarkan perspektif yang lebih kritis dan mendalam tentang peristiwa pasca-1965. "Eksil" tidak hanya merekonstruksi narasi historis yang telah lama terpendam, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan tentang alienasi, identitas, dan perlawanan dalam konteks sosial politik yang lebih luas. Film ini mengingatkan kita bahwa sejarah bukan sekadar rangkaian peristiwa yang berlalu, tetapi juga sebuah mozaik dari pengalaman manusia yang terus berdampak hingga saat ini.
Refleksi atas masa lalu, seperti yang ditunjukkan oleh "Eksil", adalah langkah penting dalam membangun masa depan yang lebih adil dan inklusif. Mengingat dan memahami masa lalu memberikan kita kekuatan untuk menghadapi dan mengubah narasi yang telah tertanam, mendorong kita untuk tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi juga aktor perubahan. Dengan demikian, "Eksil" menjadi lebih dari sekadar film; ia adalah seruan untuk bertindak, untuk mengambil pelajaran dari sejarah dan menerapkannya dalam menciptakan realitas yang lebih baik bagi generasi yang akan datang.
Referensi
Amaria, L. (Sutradara). (2022). Eksil [Film]. [Lola Amaria Production].
Callinicos, A., Kouvelakis, S., & Pradella, L. (2020, December 29). Routledge Handbook of Marxism and Post-Marxism. Routledge.
Fromm, E. (1961). Marx's Concept of Man . Retrieved April 11, 2024, from https://www.marxists.org/archive/fromm/works/1961/man/index.htm
Žižek, S. (1998, January 1). The Interpassive Subject -- Žižek.uk. https://zizek.uk/1998/01/01/the-interpassive-subject/
Žižek, Slavoj | Internet Encyclopedia of Philosophy. (n.d.). https://iep.utm.edu/zizek/
Žižek. (2009, January 5). The Sublime Object of Ideology. National Geographic Books.
Žižek. (2012, May 22). Less Than Nothing. Verso Books.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H