Meningkatkan hak-hak perempuan di Indonesia membutuhkan pendekatan komprehensif yang mencakup kebijakan progresif, perubahan persepsi sosial, serta penguatan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam sektor ekonomi dan politik. Perubahan persepsi sosial juga penting untuk mengatasi norma-norma gender yang membatasi peran perempuan. Menurut laporan UN Women, Indonesia telah membuat kemajuan dalam meningkatkan kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan, namun masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat.
Selain itu, penguatan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai sektor kehidupan sangat diperlukan. Menteri PPPA menuturkan dari Data BPS (2024), partisipasi angkatan kerja perempuan sampai saat ini masih rendah mencapai 54,52% dibandingkan dengan laki-laki yang mencatat 84,26%. Ini mencerminkan kesenjangan upah dan akses terhadap kesempatan ekonomi yang lebih rendah bagi perempuan di Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan (KemenPPPA, 2024). Data menunjukkan bahwa partisipasi ekonomi perempuan di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan laki-laki, dan terdapat hambatan-hambatan struktural yang perlu diatasi untuk mencapai kesetaraan gender.
Hak-hak perempuan di Indonesia telah mengalami kemajuan sejak reformasi, namun masih banyak tantangan yang dihadapi. Perempuan menghadapi hambatan seperti diskriminasi  pekerjaan, akses  yang tidak setara terhadap pendidikan, dan kekerasan berbasis gender. Meskipun  pemerintah dan organisasi masyarakat sipil telah mengambil berbagai inisiatif, diperlukan strategi yang lebih efektif dan komprehensif untuk memastikan perempuan menikmati seluruh haknya.
1. Kebijakan Gender yang Lebih Progresif
Pemerintah Indonesia telah mengadopsi undang-undang seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan peraturan terkait cuti melahirkan. Namun, implementasi kebijakan ini seringkali tidak efektif, dan beberapa kebijakan masih bersifat diskriminatif. Contohnya, akses perempuan terhadap pekerjaan di sektor tertentu masih dibatasi oleh norma sosial yang bias gender. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan di Indonesia memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja yang lebih rendah, tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang lebih tinggi, upah yang lebih rendah, dan representasi yang berlebihan di sektor informal, serta dipisahkan dalam pekerjaan dengan keterampilan rendah dan status rendah (Surbakti et al., 2005).
Ratifikasi Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Setara (UU No. 80, 1957) dan No. 111 tentang Non-Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Ketenagakerjaan (UU No. 21, 1999) serta UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, memberikan landasan dasar untuk mempromosikan Kesempatan Kerja yang Setara (Equal Employment Opportunity/EEO) di Indonesia. Namun, pada kenyataannya, masih banyak perempuan yang menghadapi perlakuan berbeda di tempat (Surbakti et al., 2005).
2. Pendidikan dan Kesadaran Sosial
Perubahan persepsi sosial penting untuk memberdayakan perempuan. Banyak masyarakat masih terjebak dalam pandangan tradisional yang membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga. Pendidikan inklusif dan berkelanjutan dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender. Dalam FGD FISIP Universitas Muhammadyah Jakarta yang bertajuk "Islam and Women Rights", salah satu narasumber mengatakan, "Ada dua aspek yang hak kita (Perempuan) adalah yang pertama perempuan itu berhak bahagia. Dan bahagia itu dua konsep yang menjadi bahasa adalah yang pertama aspek kesehatan dan aspek pendidikan". Kutipan tersebut menyoroti dua aspek mendasar dari hak-hak perempuan: hak untuk bahagia dan bagaimana hak tersebut secara intrinsik terkait dengan kesehatan dan pendidikan.
Pendidikan merupakan faktor penting lain yang berkontribusi terhadap kebahagiaan perempuan. Pendidikan memberdayakan perempuan dengan memberi mereka pengetahuan, keterampilan, dan peluang untuk pertumbuhan pribadi dan kemandirian ekonomi. Seorang wanita yang berpendidikan lebih mungkin membuat keputusan yang tepat tentang hidupnya, termasuk pilihan karier, perencanaan keluarga, dan partisipasi dalam kegiatan sipil.
3. Penguatan Kapasitas Perempuan dalam Ekonomi
Penguatan kapasitas ekonomi perempuan  merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati sepenuhnya. Pemberdayaan ekonomi tidak hanya berdampak langsung pada kesejahteraan perempuan tetapi juga meningkatkan otonomi mereka dalam pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun  masyarakat.Â
Program-program seperti pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pelatihan kejuruan dan akses terhadap jasa keuangan dan permodalan telah terbukti meningkatkan pemberdayaan perempuan. Seperti yang dinyatakan dalam laporan UN Women, "UN Women mendukung pemberdayaan ekonomi perempuan sejalan dengan hal ini, dan dengan semakin banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa kesetaraan gender memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan". Selain itu, World Bank juga mencatat bahwa perempuan yang memiliki akses ke kredit mikro memiliki peluang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan berkontribusi pada ekonomi lokal, terutama di sektor-sektor informal yang sering didominasi perempuan (World Bank, 2024).
4. Perlindungan Hukum dan Akses terhadap Keadilan
Perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender seringkali menghadapi kesulitan besar dalam mencapai keadilan yang memadai. Sistem peradilan yang ada saat ini seringkali gagal memenuhi kebutuhan khusus perempuan, terutama dalam kasus kekerasan seksual. Reformasi hukum diperlukan untuk memperbaiki sistem ini agar lebih inklusif dan adil bagi perempuan.