2. Merahasiakan Data Pribadi Saksi Di Persidangan
Informasi yang bersifat personal seyogyanya harus dirahasiakan apabila terdapat potensi disalahgunakan. Uni Eropa sudah menyadari pentingnya informasi personal dengan menuangkannya dalam Convention for the Protection of Individuals with regard to Automatic Processing of Personal Data Tahun 1981 di Strasbourg.
Celakanya berdasarkan pasal 160 ayat (2) KUHAP bahwa data pribadi saksi mulai dari Nama, Alamat, Pekerjaan, Agama dan Pendidikan justru diumbar dipersidangan ketika sedang ditanya oleh Hakim. Penulis mengkhawatirkan apabila Terdakwa memiliki dendam kesumat dengan Saksi yang memberatkannya bisa-bisa pasca keluar dari Penjara, Terdakwa akan mencari Saksi tersebut dan mengancam jiwanya.
Sudah seharusnya data-data pribadi seperti Nama dan Alamat dari Saksi memiliki imunitas untuk tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Aparat Penegak Hukum. Konkretnya, Hakim meminta Saksi, Pengacara, dan Penuntut Umum untuk maju ke meja Hakim untuk memvalidasi data Saksi.Â
Terdakwa tidak boleh mengetahui data personal dari Saksi, bahkan sudah sepatutnya jika Terdakwa tidak perlu melihat siapa saksi yang dihadirkan dengan ditutup matanya atau menghadap kebelakang ketika saksi sedang memberikan keterangan. Sebab value yang paling penting dari Saksi bukanlah personalnya melainkan informasi yang diketahuinya. Dengan demikian Terdakwa cukup mendengarkan saja keterangan dari Saksi di Persidangan tanpa perlu mengetahui siapa personal Saksinya.
3. Upaya Menghindari Terjadinya Kesaksian Palsu
Menjadi saksi memang sangat dilematis. Alih-alih membantu proses penegakan hukum, terkadang saksi justru juga harus mendekam di jeruji besi. Salah satu alasannya adalah memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur Pasal 174 KUHAP jo Pasal 242 KUHP dengan ancama pidana 7 (tujuh) tahun.
Mirisnya kesaksian palsu selalu disematkan kepada kesalahan Saksi, padahal belum tentu demikian. Terkadang Saksi digiring dengan pertanyaan menjebak oleh Advokat ataupun Penuntut Umum sehingga terpaksa memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan faktanya. Maka dari itu LPSK dapat memberikan sosialisasi berupa buku saku atau buku panduan tentang contoh-contoh pertanyaan menjebak di persidangan. Dengan demikian masyarakat umum yang dalam suatu peristiwa menjadi Saksi memiliki pengetahuan untuk merespon pertanyaan-pertanyaan di persidangan.
4. Pemberatan Ancaman Pidana Bagi Terdakwa Yang Mengintimidasi Saksi
Rekonstruksi pada bagian Monolog merupakan gambaran akan dukanya menjadi saksi. Sering terjadi intimidasi kepada Saksi setelah memberikan keterangan dipersidangan. Hal demikian sudah sepatutnya tidak boleh terulang lagi. Pemberatan penjatuhan pidana bagi Terdakwa yang melakukan intimidasi merupakan cara yang tepat dalam memberikan efek jera dan derita.
Teknisnya adalah Saksi yang mengalami intimidasi harus membuat laporan kepada LPSK. Kemudian LPSK membuat laporan penelitian yang hasilnya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atas peristiwa intimidasi kepada Saksi sebelum pembacaan putusan.Â