Pada semester awal masuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, salah satu pernyataan dosen yang akan selalu saya ingat adalah “hukum itu ada dimana-mana, bahkan sejak kalian keluar dari pintu rumah disitulah kalian sudah terikat dengan hukum”. Sebagai Mahasiswa baru, tentunya sangat sulit untuk memvisualisasikan apa sebenarnya hukum itu, dan apa tujuan hakiki kenapa hukum itu dibentuk. Pertanyaan tersebut pasti terngiang pada orang-orang yang mulai serius untuk mempelajari dan memperdalam Ilmu Hukum. Terhadap pertanyaan tersebut, biasanya dosen ataupun pengajar selalu memberikan definisi yang indah dan normatif.
Salah satu bahan rujukan mengenai definisi hukum dikemukakan oleh Prof. Mr. L.J van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul “Inlciding tot de studie van het Nederlandse Recht”, menurut beliau definisi mengenai hukum sangat sulit untuk dibuat, karena itu tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan. Terhadap pendapat tersebut, sejatinya menurut saya itu bukanlah suatu definisi, akan tetapi justru antitesis dari sebuah definisi. Hal itu lumrah terjadi karena pada hakikatnya hukum itu memang sangat luas, dan sangat sulit untuk ditafsirkan hanya dengan beberapa kata-kata sederhana saja.
Akibat dari luasnya definisi hukum, maka pendapat para ahli pun berbeda-beda. Beberapa mendefinisikan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi politik yang terjadi pada saat itu. Salah satunya adalah Immanuel Kant yang menyatakan bahwa hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang suatu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan. Tidaklah heran apabila Kant menyatakan demikian, karena pada saat itu hukum didefinisikan pada saat terkekangnya hak-hak warga negara oleh para penguasa yang ada di Prancis.
Namun secara sederhana, bolehlah kita menyatakan bahwa Hukum itu adalah segala aturan dan peraturan yang dibentuk oleh Badan Resmi yang memiliki wewenang, memiliki sifat memaksa, menentukan tingkah laku manusia dalam pergaulan di masyarakat, dan berakibat diambilnya suatu tindakan, apabila peraturan tersebut dilanggar.
Dari definisi tersebut, terdapat satu unsur yang sangat menarik untuk di amati lebih lanjut yaitu unsur sanksi yang diberikan kepada seseorang yang melanggar aturan. Adanya unsur sanksi menandakan bahwa hukum itu memiliki sifat represif. Bentuk sanksinya bermacam-macam, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sanksi dapat diklasifikasikan menjadi pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda, serta pidana tambahan lainnya. Namun pertanyaan mendasarnya adalah, apakah tepat hukum dibuat untuk memberikan sanksi kepada seseorang? Apakah efektif sanksi dipaksakan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat? Bukankah lebih tepat, apabila hukum itu digunakan sebagai alat untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan oleh masyarakat? Disinilah titik awal perdebatan kemanakah proyeksi hukum akan dibawa, apakah bertujuan represif, ataukah justru preventif?
Untuk menjawab diskursus tersebut, sejatinya kita dapat meninjau kembali tujuan hukum dibuat. Tujuan hukum adalah menjamin keseimbangan para anggota masyarakat agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan. Dari situ saja, kita sebenarnya dapat menyimpulkan bahwa hukum itu dibuat untuk mencegah terjadinya kekacauan, dan bukan untuk merestorasi terjadinya kekacauan. Kenapa? Karena logika sederhananya adalah lebih baik mencegah, ketimbang harus mengobati. Logika tersebut sejatinya juga harus diterapkan dalam membawa arah hukum nasional. Ketika hukum digunakan untuk merestorasi itu artinya sudah terjadi penyimpangan yang dilakukan kepada hukum, dan tentunya penyimpangan tersebut merugikan kepentingan umum masyarakat. Bayangkan jika hukum di design untuk mencegah terjadinya perbuatan kriminal, tentunya hukum menjadi sarana yang tepat untuk merealisasikan tujuan hukum yang hakiki.
Tujuan hukum yang lain dikemukakan oleh Prof. Subekti dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan, beliau menyatakan bahwa tujuan hukum itu adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Timbul pertanyaan, apakah hukum yang represif ini menciptakan kemakmuran dan kebahagiaan? Alih-alih menciptakan kemakmuran dan kebahagiaan, hukum justru menciptakan suasana mencekam dan kesengsaraan. Tidaklah heran jika banyak masyarakat yang berpaling dari hukum dan lebih memilih secara kekeluargaan, karena stigma yang terbentuk adalah hukum di design sebagai efek jera dan efek derita. Bayangkan jika hukum di design sebagai efek bahagia, tentunya hukum digunakan sebagai jalan utama untuk mencapai kesejahteraan yang hakiki. Masyarakat tentunya berbondong-bondong memilih hukum sebagai jalan hidupnya, karena hukum tidak lagi sebagai ultimum remedium tapi justru sebagai primum remedium.
Tujuan hukum yang terakhir adalah yang dikemukakan oleh Prof. Mr.Dr. LJ. Val Apeldoorn yang menyatakan bahwa hukum memiliki tujuan untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki adanya perdamaian. Lalu pertanyaanya, apakah hukum yang represif itu adalah cara paling damai yang bisa dilakukan? Tentunya tidak, fakta dilapangan juga mendukung hal tersebut, cara represif memiliki indikasi terjadinya kekerasan dan paksaan, seperti apa yang sering dilakukan oleh polisi kepada masyarakat marginal. Alih-alih menciptakan suatu kedamaian, justru hukum itu sendiri yang membuat tidak damai. Pun jika benar terjadi kedamaian, kedamaian tersebut diperoleh dengan cara yang tidak damai.
KESALAHAN KONSEP STRUKTURAL
Dalam buku yang ditulis oleh Prof. Maria berjudul Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, dinyatakan bahwa dalam negara yang berdasar atas hukum modern, tujuan utama dari pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama pembentukan undang-undang itu adalah menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat. Alasannya adalah sudah tidak zamannya menghadapi perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin cepat dengan menggunakan metode pembentukan kodifikasi.
Terhadap statement tersebut, saya adalah orang yang tidak sependapat dengan beliau. Menurut saya pembentukan hukum justru harus dibentuk dengan metode kodifikasi, “biarlah lama tapi tak apa”, metode tersebut sejatinya mencirikan bahwa hukum benar-benar terlahir dari rahim masyarakat, bukan terlahir dari para penguasa. Penguasa hanya perlu meneliti dan menggunakan common sense nya untuk peka terhadap budaya hukum yang berkembang pada masyarakat dan merumuskannya pada suatu peraturan legal formal. Dengan cara kodifikasi, lahirlah hukum yang benar-benar hidup di dalam masyarakat, dimana undang-undang adalah bentuk kristalitasi atas nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Konsep kodifikasi tersebut lahir kembali karena gagalnya metode modifikasi yang digunakan saat ini. Metode modifikasi gagal karena tidaklah elok hukum dibentuk untuk merubah perilaku dasar masyarakat. Jikalau boleh menganalogikan dengan kelinci, maka kelinci memiliki makanan dasar berupa wortel, lalu tibalah datang hukum dari antah berantah, yang menyatakan bahwa kelinci tidak boleh makan wortel, tetapi harus makan daging. Itulah salah satu aturan yang dibentuk dengan menggunakan metode modifikasi. Tak heran apabila banyak orang yang menganggap bahwa hukum itu dibuat untuk dilanggar. Hal tersebut dikarenakan, hukum yang terbentuk bukan mencerminkan keadilan yang diinginkan oleh masyarakat, akan tetapi keadilan yang diinginkan oleh para penguasa.
SUATU SOLUSI : Reward Vs Punishment
Setelah banyaknya kritik dan bombardir yang telah saya lakukan, dapatlah disimpulkan bahwa hukum saat ini dalam kondisi yang kritis. Pun jika tidak kritis, bahasa yang lebih halus adalah hukum saat ini tidaklah sempurna. Itu artinya, masih membutuhkan sedikit penyempurnaan dan penguatan agar hukum tampil lebih baik lagi dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Masalahnya adalah bagaimanakah cara memperkuatnya? Aspek apakah dari hukum dan sistem hukum yang harus diperkuat? Jawaban atas pertanyaan tersebut di atas sangat mungkin mencakup persoalan-persoalan yang sangat luas dan kompleks, sehingga untuk menjawabnya, sebaiknya kita mulai dengan memilah-milah mengenai apa yang harus di perkuat saat ini.
Secara sederhana, hukum dapat mencakup 3 persoalan besar, yaitu persoalan pembuatannya, penerapannya, atau pun penegakannya. Di dalam ketiga ranah itu, saya harus memilih salah satu dan pilihan saya jatuh kepada persoalan pembuatannya. Karena, jika persoalan pembuatannya saja sudah menuai banyak kritik dan problematika, tentunya ranah penerapan dan penegakannya pun akan ikut menuai banyak masalah.
Solusinya adalah melakukan penguatan hukum dengan cara mengefektifkan fungsi pencegahan (preventif) sehingga tidak lagi timbul banyaknya tindak kejahatan dan peristiwa yang mencederai ketertiban masyarakat. Untuk melakukan fungsi pencegahan itu, yang paling penting ialah bahwa design hukum di rombak yang semula bersifat represif, menjadi preventif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membawa kebijakan hukum nasional ke arah pencegahan, dan menata kembali sistem aturan dan pelembagaan institusi-institusi hukum.
Konkretnya fungsi pencegahan (preventif) dapat di realisasikan dengan cara pendidikan (education), penghargaan (reward) danpenyadaran (conscientisastion),. Dengan adanya pendidikan hukum, masyarakat tidak hanya diberikan pencerdasan mengenai sesuatu yang tidak boleh dilakukan, akan tetapi juga diberikan pengetahuan mengenai apa yang boleh dilakukan. Sistem tersebut menciptakan sumber daya manusia yang cerdas, dan dapat memilah milah mana yang tepat dan mana yang membawa mudharat, sehingga tidak perlu repot-repot berbicara mengenai sanksi, karena masyarakat sudah tahu sanksi itu tidak baik bagi dirinya dan masyarakat. Langkah yang kedua adalah penghargaan, langkah ini dilakukan untuk memotivasi seseorang untuk bertindak sesuai dengan norma yang dibuat, dengan adanya sistem ini manusia berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan. Langkah ini merupakan kritik atas hukum yang bersifat represif dan memberikan sanksi berupa efek jera dan efek derita kepada masyarakat. Langkah yang terakhir adalah penyadaran, langkah ini dilakukan dengan cara menyadarkan masyarakat yang telah melanggar norma-norma yang ada. Bentuk penyadarannya adalah memberikan edukasi bahwa tindakan melanggar norma tidaklah menguntungkan bagi dirinya dan masyarakat, selain itu juga tindakan penyadaran ini memberitahukan bahwa orang tersebut berkurang kesempatannya untuk mendapatkan penghargaan (reward).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H