Pada kuliah pertama yang diselenggarakan pada Selasa, 10 Februari 2015, terdapat beberapa poin penting yang dikemukakan oleh Bapak Antonius Cahyadi pada saat kelas berlangsung. Hal pertama dan yang paling utama adalah tentang apakah filsafat itu. Sebelum masuk ke dalam materi utama, dosen mencoba membawa mahasiswanya untuk menjelajahi darimana ilmu filsafat berkembang.
Pada dasarnya, terdapat 2 aliran filsafat yang saling berdikotomi. Kedua aliran tersebut adalah aliran filsafat barat dan aliran filsafat timur. Aliran filsafat barat identik dengan pemahamannya yang sekuler, artinya terdapat garis tegas yang memisahkan antara subjek dengan objeknya. Dalam konteks ini subjek di personifikasikan sebagai manusia, sedangkan objek di visualisasikan sebagai keduniawian. Sedangkan konsep filsafat tmur lebih menonjolkan keharmonisan dan kedamaian antara subjek dengan objeknya. Sehingga tidak heran jika pemikiran yang datang dari filsafat timur kental akan nuansa falsafah hidupnya.
Akan tetapi faktanya menyatakan bahwa aliran barat saat ini lebih di terima oleh masyarakat luas ketimbang aliran timur. Pertanyaanya adalah kenapa barat bisa menguasai pasar sedangkan timur tidak? Jawabannya adalah hal tersebut dikarenakan aliran barat lebih unggul dalam melihat perspektif filsafat sebagai sebuah ilmu pengetahuan, dimana ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan rasionalisasi umat manusia. Mahakarya pemikiran barat tersebut semakin menghegemoni di berbagai belahan dunia, bahkan sudah terinternalisasi menjadi sebuah sistem hukum yang ada di masyarakat.
Lalu sebenarnya apakah yang dimaksut dengan filsafat itu? Filsafat adalah melakukan refleksi kritis atas semesta hidup kita sebagai manusia.[1] Filsafat dapat dilakukan dengan cara berfikir, merenung dan mempertanyakan atas segala peristiwa yang terjadi tentang makna hidup. Refleksi secara harfiah diartikan sebagai memantulkan. Dalam filsafat, pikiran harus terus dipantulkan dengan cara men-“challange” apakah sesuatu itu benar atau tidak, karena jika tidak dipantulkan fikiran akan lurus terus dan cenderung malas. Akibatnya adalah kebenaran hakiki yang dicita-citakan hanya akan menjadi omong kosong belaka.
Pada kuliah selanjutnya, mahasiswa diajak untuk menyelam lebih dalam mengenai filsafat. Dimana materi ajar yang akan di bahas adalah mengenai filsafat hukum atau Jurisprudence. Materi pembahasan dibatasi pada ruang lingkup apa itu disiplin hukum, perbedaan antara disiplin hukum dengan ilmu empiris, definisi filsafat hukum, dan sifat-sifat normatif dari hukum.
Jurisprudence secara nomenklatur memiliki dua unsur, yaitu iuris dan prudens. Iuris berkmana sebagai Adil, sedangkan prudens diartikan sebagai kebenaran. Dari kedua kata tersebut dapat diambil sebuah benang merah bahwa Jurisprudence dapat diartikan sebagai praksis hidup yang adil dan benar, atau disimpulkan sebagai disiplin hukum atau ajaran hukum atau filsafat hukum.[2] Dalam konteks filsafat hukum yang menjadi objek refleksi adalah arti hukum dan definisi hukum.
Lalu apa korelasinya antara Jurisprudence dengan filsafat hukum? Korelasinya yaitu Jurisprudence adalah filsafat itu sendiri, hanya saja filsafat yang bertujuan untuk mengarahkan seseorang untuk menjadi arif (prudens) dalam praksis hidup, dimana terdapat suatu sistem yang hukum menjadi kerangka bermasyarakatnya.[3] Maka tidaklah heran apabila filsafat hukum sangat erat kaitannya dengan etika, karena kedua instrumen ini sama-sama memiliki tujuan untuk menjawab pertanyaan “apa yang harus kita lakukan?”. Hal ini pun senada dengan pendapat Theo Hujbers, yang menyatakan bahwa Jurisprudence disebut sebagai filsafat hukum juga, yang mengadung sifat sifat yang praktis. Tujuan filsafat hukum adalah memperdalam pengertian manusia tentang hukum dengan mempelajari makna yang sebenarnya.[4]
Jika dilihat dari kacamata historis, perenungan ini di rintis oleh tokoh-tokoh filsafat Yunani Kuno, seperti Aristotles, Plato, dan lainnya. Akan tetapi seiring menguatnya pengaruh bangsa romawi yang mendirikan sekolah-sekolah hukum, paradigma hukum bergeser yang semula hanya perenungan refleksif menjadi kerangka yang lebih praktis. Dalam artian hukum tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang abstrak, akan tetapi divisualisasikan sebagai suatu kitab perundang-undangan.
Pada dasarnya jurisprudence dan faktor ideologi seperti dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam jurisprudence setiap filsuf menulis pemikirannya tentang dunia yang ideal tentang bagaimana dunia kehidupan itu seharusnya atau seyogianya berjalan. Sedangkan, ideologi berperan sebagai sebuah sistem pandangan atau cara berpikir tentang bagaimana seharusnya dunia kehidupan.[5]
Lalu sebenarnya apakah makna hukum itu? Seberapa pentingnya hukum bagi kehidupan umat manusia? Hukum sebagai sebuah nama bukan hanya sekadar kata kosong yang tidak menunjukan apa-apa. Ia adalah penunjuk bagi sebuah pranata atau lembaga dalam kehidupan manusia. Selanjutnya adalah nama tersebut menunjukan sebuah esensi keberadaan sesuatu. Sedangkan Philip Selznick merangkai hukum sebagai sebuah tatanan aturan yang memuat mekanisme khusus untuk melegitimasi bahwa aturan-aturan tersebut mempunyai otoritas dan dibentuk untuk melindungi pembuatan aturan dan penerapan aturan dari pencemaran bentuk-bentuk pedoman atau aturan atau kontrol yang lainnya. Dapat disimpulkan menurutnya yang penting dari hukum adalah legalitas tentang bagaimana sebuah kebijakan dan aturan-aturan dibuat serta diterapkan lebih dibandingkan dari muatannya. Secara pribadi saya mendefinisikan hukum itu adalah segala aturan dan peraturan yang dibentuk oleh badan resmi yang memiliki wewenang, memiliki sifat memaksa, menentukan tingkah laku manusia dalam pergaulan di masyarakat, dan berakibat diambilnya suatu tindakan, apabila peraturan tersebut dilanggar.
Sehingga dapat kita simpulkan dari materi yang akan disampaikan bahwa :
1.Definisi hukum erat kaitannya dengan faktor ideologi. Karena ideologi merupakan sebuah batasan dan patokan pada pendapat hukum yang dikemukakan.
2.Hukum tidak dapat dipisahkan dengan validitas. Salah satu pendapat tentang validitas dikemukakan oleh han kelsen, bahwa validitas dari sebuah hukum adalah tempat dimana hukum lazinya berada dan ditentukan dalam sebuah hierarki norma
3.Hukum sebagai sebuah norma yang bersifat deontologis dan menghendaki adanya keteraturan dan kepastian.
4.Hukum tidak dapat dilepaskan dari moralitas, meskipun antar hukum dan moralitas memiliki dimensi yang berbeda.
5.Hukum akan terwujud dalam sebuah keputusan. Dimana keputusan itu telah mengalam proses pertimbangan dari segi moral, sosial, kultural, dan lain sebagainya.
[1] Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. XIII
[2] Antonis Cahyadi, Manuskrip Perkuliahan : Mata Kuliah Filsafat Hukum, (Depok : FHUI), hlm.7.
[3] Antonius Cahyadi halaman 28
[4] Theo Hujbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm.15.
[5] Cahyadi, op.cit., hlm.30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H