Ahmad sadar bahwa ilmu tidak hanya dicari di dalam pesantren, tetapi juga dari pengalaman hidup. Suatu hari, ia memutuskan untuk merantau ke pesantren besar di kota. Dengan bekal seadanya, ia berpamitan kepada keluarganya. Â
"Ahmad, jangan lupa berdoa dan selalu tawakal kepada Allah," pesan ibunya sambil menyeka air mata. Â
Perjalanan Ahmad ke pesantren baru tidak mudah. Ia harus berjalan kaki sejauh 20 kilometer karena tak punya uang untuk naik kendaraan. Namun, keletihan itu terbayar ketika ia sampai di pesantren yang penuh ilmu dan keberkahan. Â
Di pesantren itu, ia bertemu banyak santri dari berbagai daerah. Ahmad belajar lebih banyak ilmu agama, termasuk fikih, tauhid, dan hadits. Setiap hari, ia bangun sebelum subuh untuk shalat tahajud, mengaji, dan menghafal Al-Qur'an. Meski banyak santri lain yang memiliki fasilitas lebih baik, Ahmad tetap bersyukur dan tidak pernah mengeluh. Â
 Cahaya di Akhir Perjalanan Â
Tahun demi tahun berlalu. Ahmad tumbuh menjadi seorang pemuda yang cerdas dan penuh adab. Ia mulai membantu mengajar para santri junior di pesantren itu. Bahkan, Kiai besar di pesantren tersebut sering memuji kegigihannya. Â
Suatu hari, Kiai Sholeh, gurunya di desa, datang untuk mengunjungi pesantren tempat Ahmad belajar. Melihat Ahmad yang kini telah menjadi seorang alim, Kiai Sholeh meneteskan air mata bahagia. Â
"Ahmad, engkau telah membuktikan bahwa dengan kesungguhan, ilmu bisa membawa seseorang ke tempat yang mulia," ujar Kiai Sholeh sambil memeluk murid kesayangannya itu. Â
Ahmad pun kembali ke desanya beberapa tahun kemudian, bukan hanya sebagai seorang santri, tetapi sebagai seorang ulama muda yang dihormati. Ia mendirikan pesantren kecil di desanya untuk mengajarkan ilmu kepada generasi berikutnya. Â
Kini, cahaya ilmu yang pernah dicari Ahmad dengan penuh perjuangan telah menerangi banyak hati di desanya. Ia percaya bahwa perjalanan mencari ilmu tidak pernah berakhir, karena ilmu adalah cahaya yang terus bersinar sepanjang hayat. Â
Tamat