Mohon tunggu...
Rafli Rahmatiawan
Rafli Rahmatiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rendahnya Indeks Nilai Tukar Petani di Pedesaan Jawa Timur

5 Januari 2023   12:00 Diperbarui: 5 Januari 2023   11:57 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, pedesaan di Jawa Timur dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Salah satunya adalah rendahnya indeks Nilai Tukar Petani (NTP). Rachmat (2013) menyatakan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

BPS (2022) mencatat bahwa pada Juli 2022, NTP di Jawa Timur berada pada angka 102,66. Memang angka ini masih di atas indeks NTP normal, yaitu 100. Akan tetapi, angka ini masih sangat kecil dan tidak menghasilkan keuntungan yang cukup besar bagi para petani. Prabawati (2021) menyatakan bahwa semakin tinggi indeks NTP, maka semakin tinggi pula tingkat kemampuan/daya beli petani.

Febrianto (2021) menyatakan bahwa di Desa Mojosari, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur pada Desember 2020, terdapat seorang petani yang hanya mendapatkan laba kotor sebesar 2,5 juta rupiah untuk sekali panen atau sekitar 4-5 bulan. Ini berarti, petani tersebut hanya mendapatkan keuntungan sekitar 500 sampai 625 ribu per-bulannya. Pada Desember 2020, BPS (2020) mencatat bahwa indeks NTP Jawa Timur berada pada angka 100,80.

Nasib sama juga terjadi pada para petani cabai rawit di Mojokerto, Jawa Timur. Ramadan (2022) mengatakan bahwa beberapa petani cabai di Dusun Gangsir, Desa Cinandang, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto mengalami kerugian pasca panen cabai rawit. Kerugian panen disebabkan harga jual cabai yang rendah, yakni hanya Rp. 3.500 per-kilogram. Petani mengatakan bahwa harga ini hanya cukup untuk balik modal dan bahkan dapat dikatakan rugi.

Mengutip Kompas (2022), Sejumlah petani jagung di Desa Candijati Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Jawa Timur terpaksa tidak memanen tanaman jagungnya karena harga jualnya anjlok. Mereka takut mengalami kerugian karena tingginya biaya operasional tidak sebanding dengan perolehan penjualan.

Permasalahan ini juga diperkeruh dengan tingginya harga pupuk non-subsidi yang beredar. Nasution (2022) menyatakan bahwa harga pupuk non-subsidi di Indonesia melonjak naik, dan stoknya juga terbatas. Bagi para petani yang kehabisan pupuk bersubsidi, maka terpaksa harus menggunakan pupuk non-subsidi yang harganya lebih mahal daripada pupuk bersubsidi. Hal ini juga berdampak terhadap petani karena harus mengeluarkan modal yang lebih banyak.

Beberapa permasalahan di atas menunjukkan dampak serta penyebab dari rendahnya indeks NTP di Jawa Timur. Menurut Adharsyah (2019), secara umum penyebab dari rendahnya indeks NTP ini adalah berkurangya indeks harga hasil produksi pertanian. Dengan kata lain, hasil jual pertanian yang didapat berkurang, sehingga penerimaan terpangkas. Bisa disebabkan oleh turunnya harga, maupun turunnya volume penjualan.

Merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Talcott Parsons mengenai teori AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency), terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Pertama adalah melakukan adaptasi (adaptation) dengan cara memberikan penyuluhan pertanian serta subsidi kepada para pelaku usaha tani agar mereka dapat bertahan dan bisa melakukan perbaikan-perbaikan yang dapat mengubah keadaan mereka.

Kedua adalah pencapaian tujuan (goal attainment), dengan cara pembuatan regulasi-regulasi oleh pihak pemerintah yang dapat membantu menaikkan kesejahteraan para petani. Misalnya kebijakan terkait kewajiban menggunakan komoditas lokal dalam penggunaan bahan baku industri. Hal ini tentu akan sangat membantu para petani, khususnya dalam rangka penaikan pendapatan.

Ketiga, adalah integrasi (integration), dengan cara melakukan pengawasan-pengawasan terkait kegiatan pertanian ini. Pemerintah lebih keta dalam melakukan pengawasan, seperti pengawasan terhadap harga barang komoditas pertanian, harga pupuk dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun