Sekitar 3,8 miliar tahun yang lalu ketika kondisi bumi masih sangat primitif, retakan-retakan di dasar laut mengeluarkan gelembung yang berisi senyawa seperti Metana, Amonia, ataupun Hidrogen yang kemudian dilepaskan ke atmosfer bumi purba dan bereaksi satu sama lain menggunakan sinar kosmik serta halilintar untuk menghasilkan senyawa organik sederhana, yaitu asam amino.
Asam amino inilah kunci awal mula terbentuknya kehidupan. Seiring dengan berjalannya waktu, senyawa organik sederhana tersebut semakin lama berubah menjadi senyawa organik kompleks hingga membentuk nenek moyang dari seluruh makhluk hidup yang dinamakan LUCA (Last Universal Common Ancestor).
Dari LUCA inilah makhluk hidup berkembang. Selama miliaran tahun lamanya, spesies ber-evolusi menggunakan seleksi alam hingga menjadi spesies-spesies yang dapat kita temui saat ini.
Tak terkecuali untuk manusia, kita berawal dari sel tunggal yang berubah menjadi Chordata, lalu menjadi ikan, lalu menjadi amfibi, berubah menjadi reptil, berubah lagi menjadi hewan pengerat, lalu berubah menjadi semacam kera yang berjalan dengan empat kaki, lalu kera itu pun berjalan dengan dua kaki hingga barulah menjadi manusia. Spesies lain pun demikian, mengalami perubahan sedikit demi sedikit hingga membentuk spesies baru yang berbeda dengan sebelumnya. Evolusi berdasarkan seleksi alam tersebut berlaku sepanjang waktu bahkan hingga saat ini.
Kita dapat setuju bahwa seleksi alam berprinsip bahwa yang kuatlah yang akan bertahan. Sehingga spesies-spesies yang ada hari ini adalah produk terbaik dari leluhurnya karena bisa terhindar dari kepunahan akibat seleksi alam. Namun, pernahkah kita membandingkan kekuatan manusia dengan hewan seperti singa, gajah, ular, ataupun beruang? Jelas, manusia jauh lebih lemah dibandingkan dengan seekor singa misalnya. Seekor singa dapat dengan mudah menerkam seorang manusia hanya dalam hitungan detik menggunakan kecepatan, cakar, dan taring yang dimilikinya.
Lantas, ketika manusia masih hidup di alam bebas, tentu tak dapat dipungkiri bahwa bisa saja manusia tiba-tiba bertemu singa dan tanpa menunggu lama, jumlah manusia di dunia berkurang satu. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa manusia (Homo Sapiens) yang tergolong lemah jika dibandingkan hewan-hewan lain itu mampu bertahan hidup dan bahkan malah memenangkan dunia pada saat ini?.
Jika kita ingin jawaban singkat, tentu jawabannya adalah karena manusia (Homo Sapiens)—manusia yang akan dibahas selanjutnya juga merupakan jenis Homo Sapiens, bukan yang lain—berakal sedangkan hewan lain tidak. Namun, jawaban seperti itu tidak memberikan penjelasan apapun mengenai pertanyaan yang diajukan. Kita perlu membedah lebih jauh apa yang menjadi penyebab keunggulan manusia dibanding hewan lain.
Teori yang banyak dipercaya adalah sekitar 70.000 sampai 30.000 tahun yang lalu, mutasi genetik mengubah penyambungan sel-sel otak manusia sehingga memungkinkan manusia berpikir dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya serta berkomunikasi dengan bahasa yang juga baru; bahasa yang sangat-sangat fleksibel sehingga memungkinkan manusia untuk membentuk berbagai kalimat kompleks yang mengandung berbagai macam informasi.
Jika hewan lain berkomunikasi menggunakan “bunyi” yang hanya berisi informasi seperti “awas, ada ular”, manusia mampu berkomunikasi menggunakan kalimat seperti “di dalam gua tersebut ada genderuwo”. Selain itu, manusia juga suka bertukar informasi mengenai manusia lainnya untuk bertahan hidup, misalnya mengenai siapa yang dapat dipercaya, siapa yang pembohong, siapa yang membenci sesama sukunya, dan semacamnya atau dengan kata lain, manusia suka bergosip.
Terlepas dari benar atau salahnya informasi dan gosip tersebut, tetapi itu menunjukkan bahwa manusia dapat membicarakan hal-hal yang sama sekali tidak tampak atau dengan kata lain fiksi. Inilah yang merupakan keunikan manusia yang tidak bisa dilakukan oleh hewan-hewan lain. Bahasa manusia yang dapat membicarakan fiksi tersebutlah yang dapat membentuk kerja sama sosial.
Misalnya, satu manusia memberikan informasi bahwa ia melihat gerombolan singa di dekat sungai, manusia yang menerima informasi tersebut meneruskan hal tersebut kepada manusia lain dan begitu seterusnya hingga gerombolan manusia secara bersama-sama berhasil mengusir atau bahkan membunuh gerombolan singa yang ada di dekat sungai tersebut. Jadi, bahasa yang fleksibel serta kerja sama sosial adalah kunci bertahan hidup dan reproduksi manusia. Itulah yang menjadi alasan manusia bisa bertahan di antara hewan-hewan yang jauh lebih kuat secara individu.
Uraian di atas baru menjawab mengapa manusia mampu mempertahankan spesiesnya padahal kekuatan fisik manusia cenderung lebih lemah dibanding hewan lainnya, belum menjawab mengapa manusia bisa mengusai dunia saat ini. Atau lebih jelasnya, mengapa manusia mampu menciptakan kepercayaan, agama, uang, ideologi, hingga perusahaan besar seperti Apple dan Samsung?.
Kemampuan manusia untuk berbicara mengenai hal fiksi adalah faktor utama yang menyebabkan manusia bisa menguasai dunia. Berbeda dengan hewan lain yang hidup dalam satu realitas, yaitu hanya realitas objektif, manusia hidup dalam tiga jenis realitas, yaitu realitas objektif, realitas subjektif, dan realitas intersubjektif.
Realitas objektif merupakan segala hal yang ada dan dapat diamati oleh indra semua manusia baik secara langsung maupun menggunakan alat bantu. Realitas ini juga dapat dihitung dengan sama berdasarkan ukuran yang telah disepakati, oleh karena itu realitas objektif menghasilkan sains. Contoh hasil dari realitas objektif adalah satuan meter, gram, celcius, dan lain sebagainya yang dapat dihitung dengan sama oleh semua manusia.
Realitas subjektif adalah segala hal yang keberadaannya tergantung oleh satu individu. Realitas ini dapat berubah atau hilang ketika individu yang meyakininya mengubah keyakinannya. Sebagai contoh, apabila menurut selera si A lagu-lagu Dewa 19 sangat enak untuk didengar, maka itu hanya berlaku untuk si A dan apabila si B berpendapat bahwa lagu-lagu tersebut tidak enak didengar, maka itu pun hanya berlaku untuk si B. Dua-duanya benar menurut seleranya masing-masing. Apabila suatu saat si B mengubah pendapatnya dan mengatakan lagu-lagu Dewa 19 enak didengar, maka ketidakenakan didengar oleh si B itu hilang. Inilah yang dinamakan realitas subjektif.
Selanjutnya adalah realitas intersubjektif, merupakan realitas yang keberadaannya tidak bergantung kepada indera manusia, tetapi diyakini oleh banyak orang. Realitas ini berada pada kesepakatan keyakinan banyak orang yang menjadikannya ada.
Sebagai contoh adalah uang, jika diamati menggunakan indera, uang hanyalah kertas kecil dengan gambar di atasnya, berapapun angka yang tertulis, tetap saja itu hanya sekadar kertas. Lantas, kenapa banyak orang rela mengeluarkan keringat demi sebuah kertas kecil bergambar tersebut?. Uang menjadi bernilai karena semua orang meyakini bahwa uang tersebut bernilai dan mereka juga meyakini bahwa semakin besar nominalnya, maka semakin tinggi pula nilainya. Itulah yang dimaksud dengan realitas intersubjektif.
Hal yang istimewa dari realitas intersubjektif bukan hanya kemampuannya untuk berbicara tentang fiksi, tetapi juga untuk membuat manusia melakukannya secara kolektif dalam jumlah yang besar. Hal inilah yang membuat manusia dapat menguasai dunia.
Hewan seperti semut dapat mengangkat makanan yang jauh lebih besar daripada tubuh seekor semut dengan cara mengangkatnya secara bersama-sama. Artinya, semut juga bisa bekerja sama seperti manusia, tetapi mengapa semut tidak dapat menguasai dunia? Mungkin kita akan berpikir bahwa hal itu dikarenakan tubuhnya yang terlampau kecil untuk menguasai dunia. Namun, alasannya bukanlah itu. Seperti yang telah dijelaskan di atas, manusia yang lemah dan lebih kecil jika dibandingkan dengan hewan lain pun dapat menguasai dunia, yang berarti bukan halangan secara fisik bagi semut untuk menguasai dunia.
Perbedaan antara kerja sama antara semut dengan kerja sama antara manusia adalah kerja sama antara semut dilakukan hanya di antara kerabat terdekatnya saja dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat itu saja. Sedangkan kerja sama antara manusia dapat dilakukan dengan skala yang sangat besar, bahkan dengan orang yang tidak ia kenali dan bisa bertujuan untuk kebutuhan saat ini atau di masa depan, ditambah dapat dilakukan berlandaskan dan bertujuan untuk hal fiksi. Hal itu tentu saja berkat kemampuan realitas intersubjektif manusia.
Seorang manusia dapat berkisah tentang adanya hal di luar jangkauan pikiran yang akan memberikan pembalasan setelah kematian terhadap hal yang mereka lakukan selama hidup di dunia. Lalu, manusia tersebut merumuskan hal apa saja yang harus dan tidak boleh dilakukan agar pembalasan yang diberikan kelak indah.
Kemudian, manusia itu menceritakan kepada manusia lain tentang hal-hal tersebut dan manusia yang diceritakan percaya terhadap apa yang didengarnya, ia pun menceritakan lagi kepada manusia lainnya lagi tentang hal yang sama. Cerita itu pun semakin banyak dipercayai manusia seiring dengan semakin luasnya cerita itu tersebar. Dan lebih lagi, cerita itu diceritakan secara turun temurun yang menjadikannya tetap eksis. Oleh karena itu, manusia terbiasa hidup mengikuti aturan yang ada di dalam cerita tersebut dan melakukan hubungan dengan manusia lain berlandaskan cerita tersebut.
Sehingga, manusia-manusia yang meyakini cerita yang sama akan terlihat rapi serta kompak disebebkan mereka tunduk pada aturan yang sama. Inilah yang dinamakan agama, dan itulah yang menjadi alasan mengapa manusia dapat menguasai dunia salah satunya dengan agama. Agama dan hal-hal lain sejenisnya seperti HAM, negara, organisasi, ataupun budaya merupakan fiksi yang dipercayai dan dijalankan oleh banyak manusia yang menjadikannya hidup teratur.
Selain itu, manusia secara individu memiliki keahlian yang berbeda-beda. Ada manusia yang hanya dapat melakukan perancangan, ada juga yang hanya dapat melakukan pemrograman, dan lain sebagainya.
Lalu, datanglah seorang manusia yang mendirikan suatu hal fiksi berjenis perusahaan bernama Samsung yang direpresentasikan oleh tulisan hitam di atas kertas putih. Dan berkat tulisan itu, ia bisa membangkitan realitas intersubjektif banyak manusia, di mana manusia-manusia tersebut menjadi yakin bahwa Samsung betul-betul ada. Dan berkat kisah yang diceritakan sang pembuat perusahaan, manusia-manusia tersebut juga jadi mengetahui bahwa Samsung adalah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi.
Oleh karena itu, manusia yang hanya memiliki keahlian dalam satu hal berkumpul untuk berkolaborasi dengan manusia lain untuk saling melengkapi dalam membuat teknologi canggih. Dan hasilnya, kita dapat menggunakan smartphone, laptop, AC, dan lain sebagainya yang memudahkan kehidupan kita. Begitu pula dengan perusahaan lain seperti SpaceX, Toyota, ataupun Boeing. Semua perusahaan tersebut adalah fiksi yang dipercayai dan dijalankan oleh banyak orang sehingga menjadikannya seperti nyata.
Jika realitas intersubjektif hanya berada pada pikiran manusia, lantas apakah dengan kita tidak memercayai suatu realitas intersubjektif menjadikan realitas intersubjektif itu hilang? Jawabannya adalah tidak. Karena realitas intersubjektif berada pada pikiran banyak orang, sehingga apabila kita tidak memercayainya, itu hanya akan berdampak bagi kita sendiri dan tidak akan menghapus realitas intersubjektif itu sendiri.
Sebagai contoh, apabila kita secara sendiri tidak memercayai nilai yang pada uang, maka hanya kita yang menganggap uang hanyalah kertas yang tidak bernilai sehingga tidak bisa digunakan untuk transaksi. Sedangakan transaksi di pasar, di bank, atau di mall sama sekali tak berubah, mereka tetap menggunakan uang sebagai alat transaksi.
Apakah dengan begitu lantas realitas intersubjektif tidak bisa dimusnahkan? Jawabannya adalah bisa. Realitas intersubjektif dapat musnah apabila semua orang tidak memercayai hal fiksi tersebut. Hal ini dapat dilakukan secara spontan atau dengan jangka waktu yang lama. Sebagai contoh, uang bisa menjadi tidak bernilai apabila semua orang tidak memercayai nilai uang lagi. Agama juga akan hilang apabila seluruh manusia tidak memercayai agama lagi. Itulah mengapa murtad dianggap sebagai dosa terbesar dalam agama, karena jika ada orang murtad dan kemurtadannya itu menyebar ke orang sekitar atau menurun ke penerusnya, maka agama akan musnah.
Pada dasarnya, kemampuan kita untuk berbicara hal fiksi lah yang menjadikan kita hidup seperti sekarang. Tanpa adanya kerja sama yang dilandaskan pada hal-hal fiksi, mungkin kita telah punah karena tidak sanggup menghadapi seleksi alam melawan hewan-hewan buas yang dapat memangsa manusia dengan mudah pada zaman dahulu. Kita harus sadar bahwa secara individual manusia sangatlah lemah, kebersamaan dengan orang lain lah yang membuat kita bertahan, sehingga kita akan selalu membutuhkan orang lain sepanjang hidup. Itulah mengapa manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Penulis: Rafi Setyadi
Penyunting: Rafi Setyadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H