Presidential threshold kembali ramai diperbincangkan menjelang pemilu tahun 2024. Pasalnya, syarat untuk mencalonkan presiden ini dianggap tidak demokratis dan menyimpang dari konstitusi bagi sebagian orang. Presidential threshold adalah ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Presidential threshold di Indonesia sendiri saat ini sebesar 20% dari total jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional, artinya setiap orang yang ingin menjadi calon presiden harus berasal dari satu partai atau gabungan beberapa partai yang apabila dijumlahkan memiliki setidaknya 115 dari 575 kursi di DPR atau 25% jumlah suara pada pemilihan legislatif sebelum pemilihan eksekutif.
Aturan tersebut jelas merugikan banyak pihak, salah satu contohnya adalah partai politik yang tidak bisa mencalonkan kadernya tanpa harus berkoalisi karena kurangnya jumlah kursi di DPR. Lantas, apa yang menjadi permasalahan dan dampak buruk penerapan aturan tersebut?
Perjalanan presidential threshold dari waktu ke waktu
Presidential threshold mulai diberlakukan ketika pelaksanaan pemilu langsung perdana pada tahun 2004, dengan berlandaskan UU No. 23 Tahun 2003. Kala itu, partai atau gabungan partai yang akan mengusung calon presiden dan wakil presiden diharuskan memiliki minimal 15% dari total jumlah kursi di DPR atau 20% dari suara sah nasional dalam pemilihan legislatif. Pada tahun ini, ada 5 pasangan calon yang berkontestasi dalam pemilihan eksekutif.
Pada pemilihan presiden selanjutnya, yaitu tahun 2009, diterapkan perubahan mengenai ambang batas pencalonan presiden. Berdasarkan UU No.42 Tahun 2008, syarat partai atau gabungan partai yang akan mengusung calon presiden dan wakil presiden adalah memiliki 25% dari total kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam pemilihan legislatif. Tiga pasangan calon berkontestasi dalam pagelaran pemilihan presiden pada tahun itu.
Lima tahun kemudian, yaitu pada pemilihan umum tahun 2014, tidak terdapat perubahan mengenai ambang batas pencalonan presiden. Di tahun itu, dua pasangan calon presiden dan wakil presiden maju untuk berkontestasi di pilpres.
Pada pemilu tahun 2019, perubahan kembali diterapkan. Berdasarkan Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017, syarat partai atau gabungan partai yang akan mengusung calon presiden dan wakil presiden harus memiliki 20% dari total jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasioal. Menariknya adalah, pada tahun tersebut dilakukan pemilu serentak yang menimbulkan kontroversi. Mengapa demikian?
Tiga pemilu langsung sebelumnya memiliki alur di mana pemilihan legislatif dilaksanakan terlebih dahulu, beberapa bulan setelah itu barulah pemilihan eksekutif dilaksanakan. Sehingga, untuk menentukan presentase jumlah kursi di DPR/suara sah nasional dihitung berdasarkan pemilihan legislatif yang baru beberapa bulan sebelumnya dilaksanakan.
Namun, pada tahun 2019, pemilihan legislatif dan pemilihan eksekutif dilakukan secara bersamaan. Artinya, untuk melihat persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah nasional tidak bisa berdasarkan pemilihan legislatif yang baru dilaksanakan. Ini membuat persentase dihitung berdasarkan pemilihan legislatif lima tahun sebelumnya. Dengan kata lain, Negara Indonesia lima tahun ke depan dipimpin oleh kekuatan lima tahun yang lalu yang seharusnya sudah kedaluwarsa, bukan kekuatan sekarang.
Tiket kemarin untuk besok