Pembahasan mengenai legalitas ateisme di Indonesia bukan hal yang baru kita dengar. Kita sering mendengar percakapan mengenai hal ini dari waktu ke waktu. Alasannya sederhana, karena mereka yang kontra dengan ateisme menganggap ateisme bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Mereka menafsirkan sila tersebut sebagai kewajiban untuk bertuhan dan beragama.
Sering juga kita mendengar argumen dari orang yang menganggap ateisme boleh di Indonesia. Mereka beralasan bahwa Sila Kedua Pancasila yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" memiliki makna humanisme. Artinya kita tak perlu mengingat Tuhan dan mengharapkan surga untuk berbuat baik kepada sesama. Berarti Tuhan tidak dibutuhkan dalam konsep ini.
Bagi saya, sebetulnya tidak perlu "loncat" ke sila kedua untuk menyatakan bahwa ateisme dibolehkan di Indonesia. Dengan menggunakan sila pertama pun kita bisa paham bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah suatu kewajiban untuk bertuhan. Mengapa bisa begitu? Saya akan membedahnya melalui tulisan di bawah ini.
Berawal dari pertanyaan "negara yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?" bermunculan gagasan-gagasan mengenai dasar negara tersebut. Tokoh-tokoh yang mengusulkan dasar negara pada sidang BPUPKI di antaranya Moh. Yamin pada tangga 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Lalu dipilihlah gagasan Soekarno tersebut, kemudian Pancasila disahkan menjadi dasar negara sehari setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu tanggal 18 Agustus 1945 dan tanggal pidato Soekarno mengenai Pancasila dijadikan sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Gagasan Soekarno sangatlah istimewa, beliau melakukan pemikiran mendalam untuk menggali nilai-nilai yang ada di Bangsa Indonesia yang bahkan belum menjadi Bangsa Indonesia. Beliau hingga menggali hingga ke awal peradaban manusia di mana kehidupan manusia sangat jauh berbeda dengan sekarang. Bahkan, beliau pun menyinggung mengenai evolusi manusia saat menjelaskan Pancasila.Â
Dari sini kita tahu bahwa Pancasila merupakan hakikat dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Evolusi adalah hal yang selalu terjadi di alam semesta. Manusia pun berasal dari evolusi yang awalnya berupa sel tunggal, kemudian berubah menjadi Chordata, berubah lagi menjadi ikan, berubah lagi menjadi amfibi, berubah lagi menjadi reptil, berubah lagi menjadi hewan pengerat, lalu berubah menjadi semacam kera, lalu kera yang berjalan dengan empat kaki berubah menjadi berjalan dengan dua kaki, dan barulah menjadi yang kita sebut dengan manusia. Begitu pula dengan pikiran manusia, alam pikiran manusia sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka mencari makan, bertahan hidup, dan memelihara kehidupan.
Pada tingkat awal kehidupan, manusia hidup di dalam gua. Mereka makan dengan berburu dan mencari ikan di sungaiyang memberinya kehidupandengan bermodalkan senjata yang bernama batu dan kayu. Mereka tentu selalu berpindah tempat dari hari ke hari untuk mencari buruannya. Berteduh di bawah pohon, melihat langit yang disinari matahari, tak jarang matahari itu bersembunyi dan digantikan oleh guntur.
Seiring berjalannya waktu, manusia mulai paham bahwa hewan yang mereka buru ternyata dapat dipelihara. Di tingkat kedua kehidupan manusia ini, rusa, sapi, kambing, dan hewan lainnya yang tadinya mereka buru lambat laun mulai ditangkap, diikat, dikurung, dan dipelihara. Mereka mulai beternak, meskipun untuk mencari makan ternaknya mereka harus pergi ke hutan atau mengembala.
Waktu terus berjalan dan manusia kian berkembang, manusia yang harus hidup nomaden ketika berburu, menjadi lebih terikat dengan tempat ketika beternak. Namun, ia harus tetap masuk ke hutan untuk mencari jagung, gandum, padi, dan buah-buahan sebagai pakan ternaknya yang juga bisa mereka makan sendiri.