Mohon tunggu...
Rafi .T. Haq
Rafi .T. Haq Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ngeyel Ingin Berkarya

Mahasiswa aktif UIN Bandung, Nasabnya sampai ke Nabi Adam, menyukai hobi nulis karena aku ingin selalu menuliskan namamu. wkwkwk

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Berjubah Kekaisaran

16 Mei 2020   01:00 Diperbarui: 16 Mei 2020   01:01 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dirunut secacar definitif, secara etimologi demokrasi berarti suatu istilah yang berasal dari Bahasa Yunani yaitu demos  yang berarti penduduk atau rakyat, dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, secara bahasa, demokrasi berarti --sebagaimana yang dikatakan Abraham Lincoln, -- suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sementara menurut Henry B. Mayo yang dikutip oleh Ubaedillah (2009:36) demokrasi adalah sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. 

Berdasarkan makna demokrasi tersebut, saat ini,  posisi demokrasi di Indonesia berada dalam simpangan  makna dan prinsip-prinsip  dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi jadi suatu hal yang utopis bila melihat situasi yang ada. Misalnya, sebagai lembaga yang bertugas memberantas korupsi , KPK tidak akan independen lagi menurut mayoritas demonstran yang turun ke jalan jika Revisi UU tersebut disahkan. Karena, jika Revisi UU KPK disahkan, maka Revisi UU tersebut akan berpotensi melemahkan KPK dalam berbagai hal. Dengan adanya Dewan Pengawas KPK, independensi KPK akan hilang karena KPK ditempatkan dalam rumpun lembaga eksekutif.

Selain itu, kasus demonstrasi yang berujung maut pada demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini sangat melukai demokrasi yang dicita-citakan. Tindakan represif aparat keamanan di sejumlah tempat demonstrasi tidak bisa dibenarkan berdasarkan hukum manapun. Semakin beredarnya tindakan oknum kepolisian yang represif terhadap sejumlah mahasiswa akhir-akhir ini membuat nyali masyarakat ciut akan tegak dan kokohnya demokrasi yang diimpi-impikan.

 Di Kendari, dua orang mahasiswa tewas tertembak peluru. Mereka adalah demonstran dan juga aktivis mahasiswa. Dua orang itu bernama Randi dan Yusuf Kardawi . mereka adalah mahasiswa di Universitas Halu Oleo Kendari. Kejadian tersebut sontak mendapat respon dari elemen mahasiswa lainnya. Kematian Randi, yang juga merupakan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah  (IMM) mendapat respon dari Dewan Pimpinan Pusat IMM dan juga PP Muhammadiyah. DPP IMM dan juga PP Muhammadiyah tidak membenarkan tindakan kekerasan apapun dan meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Sementara polisi mengklaim bahwa aparat yang mengamankan demonstrasi tersebut tidak dibekali peluru tajam. Sehingga , menurut polisi tidak benar tuduhan yang dialamatkan bahwa polisi yang melakukan aksi penembakan demonstran.

Rentetan kejadian di atas kerap kali terjadi saat berlangsungnya demonstrasi. Terakhir korban tewas terjadi saat kegiatan demonstrasi 21-22 Mei 2019 yang dilakukan oleh massa yang tidak terima dengan kekalahan calon presiden nomor urut 2. Hal ini sangat disayangkan, mengapa harus ada korban jiwa jika demonstrasi merupakan bagian dari demokrasi?

Menurut Ubaedillah (2009:46) unsur-unsur pedukung tegaknya demokrasi salah satunya adalah negara hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law)  yang dalah satu cirinya yaitu adanya perlindungan terhadap HAM. Dalam HAM sendiri, hak hidup merupakan hak yang dinomorsatukan. Namun, kejadian yang menimpa Randi dan Yusuf telah mengingatkan pada kita bahwa demokrasi di Indonesia masih belum tegak dan utuh.

Selain itu, unsur tegaknya demokrasi adalah masyarakat madani (civil society). Yaitu masyarakat yang terbuka, egaliter, bebas dari dominasi dan tekanan negara. Faktanya, demokrasi di Indonesia masih jauh dan tak seindah hal itu. Banyak aktivis, tokoh dan ulama yang dikriminalisasi dan dibungkam kebebasan berbicaranya. Sungguh ironi. 

Prinsip-prinsip demokrasi yang terlampau jauh dan abstrak tersebut mungkin saja bisa tercapai pada titik yang paling sempurna. Namun, jika melihat kondisi bangsa saat ini, perlu perenungan yang mendalam, kedewasaan berpikir dan usaha untuk memperbaiki tatanan yang ada. Justru sebaliknya, demokrasi hari ini tampak sedang memakai jubah kekaisaran. Bebas dari dominasi dan tekanan negara sebagai instrumen masyarakat madani malah jatuh di air keruh, tidak terlihat dan tidak dapat dirasakan.

Kebebasan berpendapat di muka umum memang masih diperbolehkan, namun sayangnya tiba-tiba banyak terjadi kriminalisasi terhadap mereka yang berpendapat. Selain itu, persamaan di depan hukum juga terlihat berat sebelah, malah mereka yang punya jabatan dan relasi birokrasi dengan pejabat lain yang sering dibela. Ini jelas mirip kekaisaran, siapa saja yang dekat dengannya dapat seenaknya memainkan hukum. Oleh sebab itu, bukan sesuatu yang haram jika melawan demokrasi berjubah kekaisaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun