Mohon tunggu...
rafisyahril
rafisyahril Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konsep Pemikiran Pluralisme Gus Dur : Di Tengah Indonesia Yang Beragam

26 Desember 2024   17:07 Diperbarui: 26 Desember 2024   17:51 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://jatim.nu.or.id/malang-raya/gus-dur--bapak-pluralisme-yang-mengedepankan-toleransi-HWC1M

Karena itu, menurut Abdurrahman Wahid, masyarakat sebaiknya tidak terlalu fokus pada simbol-simbol agama dalam kehidupan sehari-hari. Yang lebih penting adalah memahami inti dan nilai-nilai ajaran agama itu sendiri. Baginya, keadilan adalah nilai universal yang dimiliki oleh semua agama dan harus diwujudkan oleh setiap orang yang beragama.

2. Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama berarti setiap orang punya hak untuk memilih keyakinan agamanya sendiri. Di Indonesia, hal ini dijamin dalam UUD Pasal 29 ayat 2 yang menyebutkan bahwa negara memastikan semua penduduk bebas memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing. Jadi, jelas bahwa negara melindungi hak setiap orang untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinannya.

Menurut Abdurrahman Wahid, kebebasan beragama harus diiringi dengan kesadaran akan keberagaman, baik di kalangan umat Islam maupun di antara semua manusia. Baginya, kebebasan beragama adalah hak dasar setiap manusia, sejalan dengan fitrah alami manusia.

3. Kebebasan Berfikir

Menurut Abdurrahman Wahid, kebebasan berpikir adalah hal yang penting. Ia merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an seperti "afala ta'qilun" (apakah kamu tidak berpikir?) dan "afala tatafakkarun" (apakah kamu tidak merenung?), yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an mendorong setiap orang untuk berpikir secara bebas. Karena setiap orang punya cara berpikir yang berbeda, menurutnya, pembatasan dalam berpikir atau aturan ketat soal pendapat hanya akan membatasi kebebasan ini. Daripada melarang, Abdurrahman Wahid menyarankan agar propaganda dilawan dengan cara yang serupa, yaitu dengan kontra-propaganda.

Ia juga percaya bahwa perbedaan pendapat itu hal yang biasa dan bahkan bisa membuat kehidupan bersama jadi lebih kaya. Tidak perlu takut menghadapi pandangan yang berbeda. Namun, ia menekankan bahwa saat berpikir atau berargumen, emosi harus ditinggalkan agar pendapat yang disampaikan lebih objektif. Kalau argumen terlalu emosional atau subyektif, bukan hanya tidak akan diterima, tapi malah dianggap memalukan dan tidak serius oleh orang lain. Bahkan, bisa-bisa pendapat seperti itu hanya jadi bahan lelucon di mata masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun