Secara tidak sadar, budaya "mendoro-ndoro"kan (dalam bahasa jawa 'majikan')senior acap kali terjadi di sekitar kita. Senior yang bersikap seenaknya kepada junior tentunya merebut kemerdekaan seorang junior. Dengan modal "menolak senioritas" hanya di bibir seorang senior saja. Akan tetapi, sikap egalitarian tak ditunjukkan sama sekali.
Sebenarnya saya tergelitik membuat tulisan ini karena kisah seorang sahabat yang sedang belajar di negeri orang. Ia berkata pada saya bahwa ia tak pernah memanggil seniornya dengan sebutan "Kak" (jika di Indonesia). Tentunya, menarik untuk saya bahas di sini.
"John (nama samaran), aku ingin bertemu denganmu pagi ini di perpustakaan," kira-kira itulah kata yang terlempar dari bibir sahabat saya saat berbalas pesan singkat dengan seniornya di kampus. Ia berkata pada saya jika seniornya merupakan mahasiswa S3 dan ia hanya mahasiswa baru S1. Sontak, bagai petir di siang bolong, saya tertegun diam.
Saya tak bisa membayangkan, jika di Indonesia, saya memanggil seorang senior dengan "nama" saja. Toh tentunya sangat ditentang oleh standardisasi budaya Indonesia, bahkan bisa menjadi cemoohan banyak orang atau dicap menjadi "anak kurang ajar".
Memang, budaya di luar negeri ada yang seperti itu. Saya paham, hal itu relatif. Tidak semua unsur budaya di sebuah negara ada yang seperti itu. Akan tetapi, cara mereka menghilangkan "gap" antarsesamanya cukup menarik perhatian.
Kita semua memahami bahwa nilai kesopanan memang dijunjung tinggi di Indonesia. Sejak di bangku taman kanak-kanak, kita semua mempelajarinya. Harapannya, kita juga melakukan kesopanan itu di hari tua.
Saya merasa bahwa hormat menghormati senior di Indonesia, baik SMA maupun kuliah sangat dilakukan dengan keras. Kita dipaksa tunduk pada mereka. Seakan ada sebuah "tembok besar" yang menghalangi. Budaya "mendoro-ndoro"kan (dalam bahasa jawa yang artinya 'majikan') senior acap kali terjadi.
Budaya "mendoro-ndoro"kan senior nyatanya banyak terjadi di institusi pendidikan di Indonesia. Sering kita temui perpeloncoan, mulai dari tingkat SMA sampai kuliah. Seakan tak berdosa, senior berbuat semaunya kepada junior. Dengan dalih "nilai kesopanan".
Ah, rasanya kemerdekaan yang dimiliki junior seharga 1 butir pasir. Tak berharga dan tak berguna. Kemerdekaan untuk berkembang pun terkadang sulit untuk dilakukan. Mereka hanya fokus menerima perintah dan perintah dari senior saja.
Pendekatan seperti itu tentunya sangat tidak humanis. Pendekatan yang dilakukan semestinya saling menjaga komunikasi dan kerja sama yang baik. Bukan hanya pelemparan perintah saja. Sikap humanis mestinya dicontohkan oleh senior kepada junior.
Sering kali budaya "mendoro-ndoro"kan senior didasarkan pada perbedaan umur dan jenjang pendidikan. Mereka yang paling tinggi merasa paling berkuasa. Padahal, dari segi kemampuan pun seorang junior bisa saja lebih hebat daripada senior. Akan tetapi, umur dan jenjang pendidikan menghalangi itu semua.