Insiden baku tembak antara laskar ormas Front Pembela Islam (FPI) dan anggota kepolisian berujung tewasnya enam orang dari laskar FPI di Jalan Tol Jakarta Cikampek Kilometer 50 pada Senin 7 Desember 2020. Kabarnya laskar FPI diduga menggunakan senjata rakitan dalam insiden baku tembak. Hasil keterangan polisi, disebutkan bahwa peluru yang digunakan FPI dalam bentrokan berkaliber 9 milimeter.
Sampai saat ini belum diketahui siapa yang menggunakan senjata dengan ukuran peluru tersebut. Meskipun pihak kepolisian memastikan senjata rakitan beseta peluru digunakan laskar FPI untuk menyerang polisi, namun di pihak FPI sendiri mengklaim anggotanya tidak senjata saat melakukan pengawalan.
Adapun yang dilakukan pihak kepolisian saat ini, bakal melakukan uji balistik untuk memastikan kejadian yang sebenarnya. Terlepas dari dugaan laskar FPI menggunakan senjata api saat insiden itu, perlunya menganalisa barang bukti peluru berkaliber 9 milimeter itu.
Peluru dengan ukuran seperti itu disebut dapat dimiliki masyarakat sipil. Benar atau tidak, telah ada dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 18 tahun 2015 tentang perizinan, pengawasan dan pengendalian senjata api nonorganik kepolisian negara republik Indonesia atau tentara nasional indonesia untuk kepentingan bela diri.
Dalam Perkap itu, dijelaskan senjata berkaliber 9 mililmeter merupakan ukuran peluru yang boleh dimiliki dan digunakan masyarakat sipil. Sedangkan jenis senjata yang digunakan juga memiliki jenis tersendiri.
Di dalam Pasal 4 ayat 3, 4, 5 dijabarkan senjata api peluru tajam sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a memiliki Kaliber 12 GA untuk jenis senapan dan 22, 25, 32 untuk jenis pistol atau revolver. Kemudian Senjata api peluru karet sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b memiliki Kaliber paling tinggi 9 mm dan ayat selanjutnya senjata api peluru gas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c memiliki Kaliber paling tinggi 9 mm.
Dari dua ayat itu, bila dikaitkan dengan barang bukti, senjata rakitan itu berjenis revolver serta proyektilnya, kemungkinan bukan peluru karet atau peluru gas. Maka benar pihak kepolisian menyimpulkan bahwa perlu 9 milimeter itu adalah peluru tajam. Â Pada penjalasan itu, benar jika polisi mengambil kesimpulan lasker FPI menggunakan senjata rakitan dengan peluru tajam.
Kemudian dari sisi jenis senjata yang dibolehkan, dalam pasal 4 dijelaskan terdapat tiga jenis, yakni senjata api peluru tajam, senjata api peluru karet, dan senjata api peluru gas. Tiga jenis senjata itu merupakan senjata api nonorganik atau senjata yang bukan miliki TNI dan Polri, yang mana cara kerjanya manual atau semi otomatis. Â Bila dikaitkan dengan barang bukti dari kepolisian, kemungkinan senjata rakitan itu digunakan laskar FPI.
Masih dalam Perkab, untuk memiliki izin menggunakan senjata api, perlu memenuhi beberapa syarat. Dalam dalam pasal 8 dijelaskan bahwa seorang individu harus memiliki kartu identitas yakni KTP dan KK, berusia paling rendah 24 tahun yang dibuktikan oleh akte kelahiran, sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter Polri, memenuhi persyaratan psikologis yang dibuktikan dengan surat keterangan dari psikolog Polri, berkelakuan baik.
Untuk beberapa syarat, perlu bukti dokumen. Tapi melihat dari sisi umur dan dihubungkan dengan identitas enam laskar itu, ada yang memenuhi dan belum memenuhi syarat. Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman mengungkapkan enam laskar yang ditembak itu, yakni Andi Oktiawan (33 tahun), Ahmad Sofiyan alias Ambon (26), Faiz Ahmad Syukur (22), Muhammad Reza (20) Lutfi Hakim (24) dan Muhammad Suci Khadavi (21).