Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mewacanakan Omnibus Law Parpol

13 Maret 2020   20:16 Diperbarui: 13 Maret 2020   20:19 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat pembangunan hukum Indonesia terkini, semoga tidak berlebihan, penulis ingin menyebutnya sebagai sebuah fenomena ketimpangan hukum. Dari banyaknya Undang-undang yang ingin disederhanakan melalui mekanisme Omnibus Law, saat ini baru yang baru berpolemik adalah RUU Cipta Kerja. Di dalamnya ada sekitar puluhan Undang-undang digabungkan menjadi satu "kitab" Omnibus Law. Tentu kita menanti RUU lainnya yang juga memakai mekanisme ini.

Dari seluruh undang - undang yang akan digabungkan, satu segmen pembangunan hukum terkadang luput dari pandangan. Selama ini wacana eksistensi Partai Politik (Parpol) menjurus pada pendidikan politik dan dampaknya terhadap demokrasi Indonesia. Pada sisi kritiknya tidak adanya pembatasan jumlah Parpol dinilai sebagai ancaman demokrasi. Bukan hanya pembangunan hukum yang membutuhkan harmonisasi, melainkan Parpol juga demikian dibutuhkan. 

Tulisan ini coba diangkat melihat wacana Partai Golkar - Partai Nasdem mengusulkan menaikkan ambang batas parpol dari 4 persen ke 7 persen. Tujuan dari usulan ini untuk menyederhanakan jumlah parpol yang dinilai cukup banyak. Di sisi positifnya kompetisi politik nasional menandakan keterbukaan. Namun di sisi negatifnya aspirasi rakyat yang ditampung melalui parpol yang tak lolos ambang batas bisa terancam tak tersalurkan. 

Usulan itu sontak membuat Perludem angkat bicara bahwa penyederhanaan tidak perlu menaikkan ambang batas parpol. Partai lain juga menanggapi. PAN misalnya, menilai perlu dilakukan secara bertahap. Sementara Demokrat, Gerindra dan PKS menolak usulan itu. 

Berangkat dari problematika itu, memang parpol saat ini butuh penyederhanaan. Entah prosesnya melalui mekanisme ambang batas atau trobosan lainnya yang lebih segar. Saat ini pemerintah sedang gencar meng-omnibus-kan peraturan menjadi satu undang-undang. 

Di Indonesia baru memiliki satu undang-undang Parpol. Berkaitan dengan Parpol terdapat dalam undang-undang pemilu dan pilkada. Tapi belum ada penjelasan rinci bagaimana bagaimana menyederhanakan parpol. Ada baiknya mewacanakan penyederhanaan itu melalui mekanisme omnibus Law. Sebelum berangkat pada substansi wacana ini, baiknya mengulas singkat sejarah parpol dari masa kemasa.

Dari perjalanan sejarah kepartaian di Indonesia, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 diikuti sebanyak 172 parpol. Kemudian gelaran pesta demokrasi dilakukan pada Pemilu 1977-1997 dengan jumlah parpol peserta pemilu hanya tiga, di antaranya yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia, dan Golkar. Pemilu yang berlangsung di era Presiden Soeharto itu bertujuan untuk memilih anggota legislastif. Sedangkan  Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. 

Memasuki era reformasi pasca-runtuhnya "kerajaan" Soeharto, pemilu 1999 digelar  untuk memilih anggota DPR/MPR. Sementara Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh anggota MPR. Saat itu 48 partai yang berkontestasi, hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR.

Seiring berjalannya waktu, ekosistem politik kepartaian mengalami perubahan. Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai partai. Untuk pertama kalinya pula, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung pada pesta demokrasi 2004. Suksesnya demokrasi langsung pada pemilu sebelumnya, berlanjut ke Pemilu 2009. Di mana saat itu diikuti oleh 38 partai politik. Namun pemberlakuan Ketentuan electoral threshold pada pemilu sebelumnya dihapus dan diganti dengan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen. Dari 38 partai, hanya 9 yang lolos parliamentary threshold dan berhak mendapat kursi di DPR

Dua siswa Sekolah Menangah Atas memperhatikan gambar partai politik peserta pemilu 2019 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, Bandung. Foto: ANTARA
Dua siswa Sekolah Menangah Atas memperhatikan gambar partai politik peserta pemilu 2019 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, Bandung. Foto: ANTARA

Pemilu 2014 diikuti oleh 12 partai yakni PDI-P, Golkar, Demokrat, PKB, PPP, PAN, PKS, Gerindra, Hanura, Nasdem, PBB, dan PKPI. Dari 12 partai itu, hanya 10 partai yang memenuhi parliamentary threshold sebesar 3,5 persen perolehan suara. Lanjut ke Pemilu 2019 diikuti oleh 14 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal Aceh. 

Menarik kesimpulan dari perjalanan sejarah Pemilu,  bisa disaksikan jumlah parpol seringkali mengalami perubahan. Dugaan jumlahnya akan semakin banyak mulai nampak saat pemilu pasca-reformasi. Selaras dengan gagasan penyederhanaan parpol, negara perlu mengintervensi situasi ini. Salah satunya merevisi UU Parpol dan memasukkan aturan terkait pembatasan jumlah parpol. Ide ini bisa digunakan jika penyederhanaan benar-benar konsisten dijalankan.

Terkait jumlah ideal parpol di Indonesia, mengikuti geopolitiknya. Jika demokrasi di Amerika tidak mempersoalkan hanya ada dua partai politik, China juga demikian, mungkin Indonesia bisa memperjelas geopolitiknya menjadi tiga segmen, misalnya politik  nasionalis, agamais dan sosialis. Klasifikasi ini bisa menjadi acuan dasar penyederhanaan parpol. 

Parpol yang memiliki arah gerakan nasionalis bisa bergabung menjadi satu partai. Begitu juga parpol bernuansa agamais juga digabungkan menjadi satu berdera. Pada segmen ini, mulai mencuat gerakan menghidupkan kembali Partai Masyumi. Banyak penilaian bangkitnya partai yang besar di  Soekarno ini sebagai bentuk tidak adanya persatuan antara partai-partai bernuansa Islam. 

Terakhir partai bernuansa sosialis. Di sini hampir tidak ada parpol memiliki style perjuangan kerakyatan. Kalau melihat sejarah kepartaian, dahulu Indonesia memiliki Partai Sosialis Indonesia disingkat PSI. Partai besutan Sutan Syahrir ini berhaluan kiri dan menganut ideologi sosialisme. Ada sedikit bertentangan jika dihidupkan kembali di zaman sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun