Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kemelut Perempuan dalam RUU Omnibus Law Ciptaker

7 Maret 2020   02:03 Diperbarui: 7 Maret 2020   02:42 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkan, manakala perempuan hamil mengalami keguguran di ruang kerja, maukah negara bertanggungjawab? Akankah sesuatu yang telah hilang harus ditukar dengan kompensasi materi atas resiko yang telah terjadi?  atau spakah pantas Negara membayarnya dengan ucapan "innalillahi wa inna ilaihi raji'un" atau "RIP" atau ucapan belasungkawa lainnya ?  Sungguh miris menyaksikan omnibus law seakan-akan seperti malaikat pencabut nyawa.  

Perempuan memiliki hak-hak khusus yang tidak boleh disamaratakan dengan kaum laki-laki. Kalau kemampuan laki-laki dipaksakan bekerja dari pagi hingga malam, mungkin mereka bisa. 

Lantas bagaimana dengan perempuan, urusan domestik menjadi tanggung jawab mereka dan itu tidak boleh Negara mencapurinya. Masih banyak pertimbangan lainnya mengapa perempuan perlu mendapat hak-hak khusus dan hak lainnya. 

Aksi demonstrasi ratusan perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) didepan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada Jumat 7 Maret 2020, merupakan kegelisahan kaum ibu terhadap masa depan anak-anaknya. 

Tuntutan penghapusan RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus didengar dikarenakan ada potensi diskriminasi. Jika itu diberlakukan, negara sedang tidak adil dengan perempuan.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja memang terkesan tidak menghargai perempuan. Anehnya, Kementerian PPPA sebagai instansi yang berurusan dengan pencegahan kekerasan terhadap perempuan, justru tidak mampu menjadi benteng melindungi hak-hak perempuan. 

Kemana mereka saat kaum ibu beringas karena regulasi yang membunuh? Apa jawaban Menteri PPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga manakala pendemo menanyakan soal empati sesama perempuan? sampai hari ini tidak ada jawaban.  Keberlangsungan hidup generasi di masa mendatang terkait seorang ibu yang tengah hamil dipaksa untuk terus bekerja menjadi tanda tanya besar.

Selain itu, peraturan Pajak Penghasilan Pasal 21 dinilai mempermainkan status sosial perempuan. Misalnya, para pekerja wanita yang sudah berkeluarga tetap dianggap sebagai lajang dan tidak akan mendapat penghasilan tanggungan keluarga. 

Jika dicermati baik-baik, sebenarnya peraturan itu adalah celah melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. 

Sampai saat ini, sikap negara masih seputar mengumpulkan reaksi rakyat atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Tapi sampai kapan? menunggu anak-anak mereka kelaparan karena ibunya sibuk memperjuangkan masa depan anak-anaknya hingga tidak ada waktu memasak? 

Lemahnya institusi Kementerian PPA juga dipengaruhi kepemimpinan yang baru. Bukan untuk mencari kesalahan, tapi ini fakta yang terjadi dan kita bisa mencermati maksud dibalik ungkapan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun