Masalahnya, kuatnya arus teknologi informasi membawa mereka dalam dunia maya. Sampai ada gagasan menggelorakan ideologi pancasila melalui Tik Tok.
Fenomena generasi dunia maya makin diperparah krisis gagasan dan terkesan mengejar momentum daripada subtansi agent pembaharu. Ditambah lagi capaian Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) 2016 hanya mampu meraih presentase 50.17 atau tidak sampai setengah plus satu. Meskipun capaian ini menunjukkan kinerja yang baik ditandai adanya perubahan positif 2,8 persen dari 47,33 pada IPP 2015, tapi belum mampu memaksimalkan pembangunan pemuda. Itu baru aspek pembangunan pemuda, untuk pembangunan nasional, pemuda butuh sikap yang lebih patriotik dan aksi lebih progresif lagi.
Seluruh isu sentral pembangunan saat ini, menjadi bahan kajian bagaimana pemuda bisa mengambil panggungnya sebagai generasi pembaharu. Diyakini mereka memiliki cita-cita mengenai Indonesia yang lebih maju. Namun, cita-cita saja tidak cukup, betapapun jelasnya, tidak berkekuatan untuk menggerakan pembangunan.
Indonesia tidak boleh dimaknai dalam satu artian keadaan. Sebab arti negara dan bangsa adalah suatu kombinasi keabadian berupa status nascendi yang permanen. Mesti ada penanaman mind set bahwa Indonesia adalah amar makruf dan masyarakat adalah lapangan pengabdiannya. Sikap amar makruf berarti proaktif dan progresif melaksanakan pembangunan nasional.
Seluruh potensi keilmuan sesuai spesialisasinya masing-masing harus diakomodir. Kualifikasi politis dan teknis wajib menjadi syarat menentukan siapa saja yang akan bergabung dalam lapangan pengabdian itu. Arief Rosyid Hasan memandang, amar makruf tidak bisa lagi sekadar mengandalkan semangat berkobar, namun mensyasaratkan wawasan keilmuan mendalam dan kemampuan teknis yang mumpuni.
Sengkarut situasi nasional hari ini bukan merupakan takdir. Ia adalah nasib yang sebenarnya bisa baik asal pemuda mewujudkan usaha kolektif. Filosof Aristoteles mengingatkan bahwa kesalahan kecil di awal menjadi kesalahan besar di akhir, dalam konteks pembangunan, ini bisa terjadi jika pemuda tidak menyadari betapa penting dirinya dalam masa depan pembangunan.
Sejarah manusia berkali-kali mencatat betapa kemauan tercapai setelah pertanyaan diubah oleh sang pencari jawaban. Mengatasi masalah krisis gagasan, misalnya, pemikir hingga birokrat berusaha mencari jawaban terhadap pernyataan, "mengapa Indonesia belum menjadi Negara maju?" Namun, karena ingin mencari formulasi agar Indonesia benar-benar menjadi Negara maju, mengubah pertanyaan tadi menjadi, "Apa yang menghambat Indonesia belum menjadi negara maju?" Karena itulah, maka muncul gagasan pembangunan nasional.
Pelaksanaan pembangunan menyentuh aspek kehidupan bangsa, mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan secara berencana, menyeluruh, nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju.
Tidak jauh berbeda dengan Daoed Joesoef, bahwa suksesnya pembangunan nasional memerlukan konsep pembangunan ekonomi-sosial-politik, pembangunan pertahanan-keamanan, pembangunan pendidikan-kebudayaan. Tiga pembangunan prinsipil itu saling bersinergi dalam mewujudkan suatu pembangunan.
Dengan adanya konsep ini, lalu bagaimana pemuda bisa mengambil panggungnya? Data IPP dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bisa menjadi cerminan kesiapan pemuda menghadapi tantangan pembangunan. Kemudian, atmosfer kepemudaan harus diciptakan dalam term pergerakan.
Pemuda dianugrahi semangat pergerakan untuk mengarahkan pembangunan nasional kearah yang lebih baik. Revolusi industry 4.0 adalah keniscayaan dalam tatanan kehidupan, merupakan kesempatan melahirkan ide-ide kemajuan.
Merenungi perjuangan founding fathers, banyak menyiratkan tentang kemajuan dan cukup memberikan semangat kemerdekaan. Sudah sewajarnya generasi penerus terpanggil menekuni ide kemajuan secara konsisten. Sejarawan Francois Guizot memberikan pencerahan bahwa ide kemajuan mencakup ide pembangunan. Ungkapan sejarawan itu merupakan ide fundamental yang dikandung dalam term peradaban.