Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sengkarut Kesiapan Peluncuran "Kartu Sakti" Jokowi

22 Februari 2020   03:42 Diperbarui: 22 Februari 2020   07:52 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartu prakerja yang dijanjikan oleh Jokowi (Ilustrasi sumber: steemit.com)

Program gaji pengangguran yang dijanjikan Jokowi berpeluang mengangkat derajat kerja pengangguran. Pupus sudah stigma masyarakat terhadap kaum tanpa penghasilan itu. Pasalnya, mereka akan digaji meskipun belum mendapat pekerjaan tetap.

Kabar menggembirakan itu datang dari Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, bahwa kartu Pra Kerja atau "Kartu Gaji" pengangguran bakal diluncurkan pada April 2020 mendatang.

Rencananya, peluncuran kartu Pra Kerja dimulai dari kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Selain di wilayah itu, peluncuran kartu Pra Kerja juga akan dikembangkan ke seluruh wilayah pulau Jawa. Alasannya, karena di daerah itu memiliki pencari kerja cukup besar. 

Kebijakan menggaji para pengganguran melalui "Kartu Sakti" itu berguna untuk memberi bantuan pelatihan vokasi kepada pencari kerja yang diselenggarakan Balai Latihan Kerja (BLK), baik dari kementerian maupun pihak swasta. Mereka lulusan baru atau fresh graduate, pekerja buruh aktif, dan para korban PHK. Di balik itu, ada harapan melahirkan pencari kerja siap pakai. Pemanfaatannya adalah untuk triple skilling, untuk upskilling, re-skilling, dan juga untuk pelatihan itu sendiri.

Total anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk kartu Pra Kerja ini tidak main-main mencapai Rp 10 triliun dengan target dua juta peserta. Rinciannya, kartu Pra Kerja Reguler digulirkan sebanyak 0,5 juta dan kartu Pra Kerja digital 1,5 juta.

Secara teknis, biaya pelatihan sebesar Rp 3.000.000 hingga Rp 7.000.000 akan ditanggung pemerintah. Usai mendapat pelatihan, peserta akan mengikuti ujian sertifikasi. Setelah mendapat sertifikat, peserta dapat mengikuti uji kompetensi dan biayanya disubsidi pemerintah sampai dengan Rp 90.000 per orang. Selain itu, calon pekerja yang sudah mengikuti pelatihan akan mendapat insentif persiapan melamar pekerjaan sebesar Rp 500.000.

Sumber: liputan6.com
Sumber: liputan6.com
Pelatihan yang disiapkan pemerintah pun beragam, mulai dari teknologi informasi, bahasa, kuliner, fotografi, terapis perawatan, menjahit, petugas keamanan, keamanan dan keselamatan kerja, ternak ikan konsumsi, hidroponik, kewirausahaan,pengemudi truk hingga pelatihan lainnya sesuai kebutuhan pasar.

Demi memastikan benar-benar siap diterjunkan pada lapangan kerja, secara periodik, pemegang "Kartu Sakti" itu akan mengisi survei pekerjaan yang tujuannya ialah untuk memperoleh data apakah sudah memperoleh kerja atau belum.

Program "Kartu Sakti" itu dimanfaatkan dengan harapan memberi keterampilan berbeda atau kemampuan baru agar bisa menjajaki pekerjaan lain atau jadi wirausaha mandiri.

Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan segala sesuatunya sebelum peluncuran "Kartu Sakti" itu. Sayangnya, kesiapan anggaran bakal menjadi polemik.

Pemindahan ibu kota negara Indonesia ke Pulau Kalimantan membutuhkan anggaran ratusan triliun. Kemudian, infrastruksur untuk mendukung pembangunan nasional tidak membutuhkan biaya tidak sedikit. Belum lagi, kuatnya arus investasi di Indonesia seiring dengan kuatnya aksi penolakan dari kelompok anti-investor asing.

Dana intensif yang diberikan kepada pengangguran tidak boleh dianggap dana kecil. Angka pengangguran menurut Badan Pusat Statistik (BPS) diperkirana mencapai sekitar tujuh juta orang. 

Sementara angkatan kerja setiap tahun mencapai 2,8 juta orang. Dari angka pengganguran itu, 52 persen di antaranya berusia 18-24 tahun. Sedangkan angkatan kerja, 88 persen di antaranya berada di wilayah perkotaan. Sebanyak 65 persen pengangguran adalah berpendidikan SMA dan sederajat dan 28 persen diploma.

Itu baru presentase yang dilakukan melalui perhitungan secara berkala. Lantas bagaimana menyiapkan anggaran bagi karyawan yang siap-siap mendapat PHK? 

Tantangan ini semakin nyata saat perusahaan-perusahaan berencana mengurangi beban biaya operasional dengan cara melakukan PHK kepada sejumlah pegawainya. Belum lagi, anggaran jika pihak kementerian menggelar pelatihan-pelatihan. Dana yang akan digunakan juga tidak sedikit.  

Sampai saat ini, pemerintah belum secara jelas menggambarkan kesiapannya menggaji para pengangguran. Meskipun ada kategori yang sudah ditetapkan, tidak mudah menyeleksi siapa-siapa saja yang benar-benar dikategorikan sebagai pemegang kartu prakerja.

Bukan ingin berfikir pesimis, tapi alangkah baiknya menyiapkan segala sesuatunya hingga pada level anggaran agar program ini tidak menjadi boomerang bagi pemerintah. 

Satu lagi, regulasi mesti diperkuat agar tidak carut marut dalam pelaksanaan teknis, mulai dari undang-undang hingga petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. 

Selain itu, pihak swasta perlu terlibat dalam program tersebut. Jika tidak, naas bagi para penggangguran yang belum mendapat kerja. Begitu juga bagi pemerintah yang bisa saja kehabisan anggaran menggaji mereka. Dalam kondisi itu, konflik bisa saja terjadi.

Di samping masalah anggaran, kualitas hasil pelatihan menjadi perhatian penting. Sejauh ini, belum juga ada gambaran siapa saja yang akan memberi pelatihan kepada para penggaguran. Sebab, perusahaan besar tidak ingin menggaji kompetensi di bawah rata-rata, itu bisa saja merugikan perusahaan itu sendiri. 

Belum lagi persaingan etos kerja warga kita sendiri dengan warga asing, memang jauh berbeda. Logikanya, mengapa perusahaan China banyak memperkerjakan tenaga ahli dari negaranya daripada Indonesia. 

Kemudian, mengapa mereka lebih banyak memperkerjakan tenaga asing pada posisi paling teknis daripada memakai tenaga kerja Indonesia. Cleaning Service misalnya, etos kerja antara tenaga Indonesia dan China memang berbeda.

Langkah-langkah ini mesti dipikiran, tidak hanya sekadar menjawab janji kampanye atau menjawab tantangan pengangguran di Indonesia. Seluruh aspek harus disiapkan agar "Kartu Sakti" benar-benar dirasakan kesaktiannya.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun