Pertautan agama dalam isu radikalisme hampir tak terbendung lagi. Pembicaraan kasus radikalisme seringkali mengaitkan wacana keagamaan, misalnya agama islam. Umat islam bercadar dan celana cingkrang paling banyak dibahas dalam konteks paling krusial ini.Â
Kasus penikaman Menko Polhukam Wiranto terindifikasi dilakukan seorang perempuan bercadar dan pria bercelana cingkrang. Di negara yang paling sensitif dengan isu agama ini, paling mudah terprovokasi jika pemerintah berbicara soal radikalisme.Â
Milenial sebagai kelompok moderat, tentu tidak langsung menjelang mentah-mentah. Paling tidak, generasi ini mempunyai pola berfikir yang baik menyikapi isu yang beredar.Â
Generasi milenial merupakan mereka yang lahir pada tentang tahun 1980 sampai 1997. Generasi ini memiliki kecenderungan aktif di sosial media, karena didukung perkembangan media berbasis internet. Â
Survei Alvara Research Center (2014), mengungkapkan mereka yang berusia 25-34 tahun, cenderung variatif dengan isu-isu seputar sosial politik, ekonomi dan agama. Dibandingkan dengan generasi yang lebih muda, rentang usia 15-24 tahun memiliki kecenderungan untuk membicarakan topik musik, film, olahraga dan teknologi.
Kesimpulannya, dalam komunikasi sosial, generasi milenial terhubung dengan media berbasis internet. Sosial media menjadi wadah mengakses seluruh informasi, termasuk isu keagamaan.Â
Informasi peristiwa hingga ilmu pengetahuan teknis dapat diakses dengan cepat menggunakan internet. Mudahnya, hanya mengunjungi situs-situs seputar keagamaan dan menyimak ulasan para tokoh guna menjadi rujukan belajar secara cepat dan efektif. Dengan demikian, revolusi media sosial menjadi tumpuan bagi generasi Milenial untuk akselerasi skill dan wawasan.Â
Namun, perlu ada kewaspadaan di balik revolusi media sosial. Terdapat celah yang bisa menjerumus generasi milenial pada pemikiran parsial dan tak substansi. Parahnya, akses cepat internet membuat generasi milenial hanya mempelajari agama sepenggal, tidak utuh dan mendalam. Pada akhirnya, mudah menghakimi, baik kepada para tokoh maupun seseorang yang dinilai dangkal dalam memahami agama. Ironisnya, hanya karena perbedaan sikap dan cara pandang soal agama, mudah terpecah belah.Â
Belajar agama tanpa melalui sanad (jalur silsilah guru) menjadi kurang komprehensif. Perlu ada transfer gelombang spritual dan pengalaman. Semua itu tidak didapatkan dalam jangka waktu singkat di internet. Apalagi, ulasan yang bernuansa filsafat dan akademis, menelurkan guru pembimbing.Â
Di samping celah bagi generasi ini untuk menguatkan landasan iman dan takwa, fitnah atas nama agama makin meraja lelah. Arus informasi sangat kuat mengalir di media sosial. Demikian provokasi yang dipublish melalui media abal-abal dengan dibumbui narasi yang menarik pembaca, mengancam eksistensi agama sebagai penembar cinta.Â
Tanpa kecerdasan literasi, kejernihan berfikir, dan pondasi iman yang kuat, generasi ini akan sangat mudah menelan informasi palsu tanpa filter dan renungan.Â
Sudah saatnya, generasi milenial memperdalam kajian keagamaan dalam menyikapi informasi radikalisme. Kapolri Idham Azis telah menegaskan radikalisme tidak ada sangkut pautnya dengan agama, apalagi islam. Generasi ini perlu menyepakati ungkapan itu dengan kajian yang mendalam. Ini penting memberikan pemahaman secara universal bahwa agama adalah cinta.Â
Sudah selayaknya agama menjadi Pedan moral bagi generasi milenial. Esensi agama bagi manusia adalah untuk melestarikan cinta yang sebenarnya, tanpa saling menghakimi, menyalahkan, dan menghujat.Â
Kebhinekaan dihemparkan dimuka bumi pertiwi sebagai rahmat, bukan memecah kesatuan dan kerukunan antar umat beragama. Agama menebarkan cinta sejati sebagai cara agar manusia tidak saling menghancurkan. Agama mengajarkan kebaikan, bukan keburukan.Â
Mendapatkan semua itu, generasi ini perlu intens belajar dengan tekun. Sehingga, ketika menemukan iinformasi palsu eputar radikalisme, tidak langsung menelan mentah-mentah. Sekurang-kurangnya, Â kemampuan filter bisa diandalkan mencari mana yang benar dan salah. Â
Radikalisme Mengancam Generasi Milenial
Efek luar bisa dari media sosial bisa membuat generasi ini terpapar virus kebencian, hingga tidak mampu mengendalikan emosinya. Video Ustad Abdul Somad yang menyinggung soal salib dan patung yang dinilai telah menistakan agama Kristen.Â
Sontak membuat Brigade Meo Nusa Tenggara Timur (NTT) melaporkan Ustad Abdul Somad ke Kepolisian Daerah NTT. Ceramah Abdul Somad yang viral di media sosial dianggap sudah meresahkan dan mencederai umat Kristen.Â
Setelah video ceramahnya viral, Ustad Abdul Somad melalui video yang diunggah FSRMM TV di kanal Youtube pada Minggu (18/8/2019), Â 2019, menjawab tanpa ada niatan merusak hubungan antar sesama.Â
Ceramahnya itu disampaikan dalam pengajian di masjid secara  tertutup. Jelasnya, menjawab pertanyaan  tentang patung dan tentang kedudukan Nabi Isa AS untuk orang Islam dalam Quran dan sunnah Nabi SAW.Â
Kemudian, pengajian itu lebih 3 tahun yang lalu sudah lama di kajian subuh Sabtu di masjid An-Nur Pekanbaru karena saya rutin pengajian di sana. Satu jam pengajian diteruskan dengan tanya jawab.Â
Selain itu, kejadian yang belum lama terjadi, larangan Aparatur Sipil Negara (ASN) menggunakan cadar dan celana cingkrang di kantor. Pembicaraan itu membuat gempar umat islam se-Indonesia dengan hujan kritik dan komentar pedas dari masyarakat dan tokoh agama.Â
Sepintas melihat dua peristiwa itu, inilah ancaman radikalisme jika generasi milenial tidak mampu menyaring informasi dengan benar. Apalagi, jika generasi ini terpapar virus kebencian ketika sudah terprovokasi ideologi kekerasan maupun radikalisme beragama.
Sikap menyaring informasi dengan ilmu pengetahuan agama harus dilakukan jika negeri ini tidak ingin dalam bahaya kekerasan antar umat beragama. Internet menyajikan berbagai informasi, layaknya kebun bunga yang ditanami berbagai jenis bunga. Untuk mengambil manfaat dari internet, perlu kejernihan berpikir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H