Sejak awal didirikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menjalankan fungsi dan peranannya sebagai lembaga anti rasuah. Tidak sedikit elit politik hingga kepala daerah  dijebloskan kepada sel tahanan.
Tanpa pandang buluh, nominal kecil atau besar, irisan dari manapun, tidak ada toleransi baginya untuk tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya di dalam sel tahanan. KPK tampil sebagai lembaga super power bagi para elit agar tidak sembarang menggunakan anggaran negara.
Namun, seiring berjalannya waktu, KPK terus menerus menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Jika tantangan itu berupa sulitnya membongkar aliran dana para elit, mungkin itu hal yang biasa. Tapi tantangan penguatan lembaga tentu tantangan berat.Â
Jauh sebelumnya isu pelemahan KPK bertajuk DPR vs KPK mencuat di kalangan masyarakat. Sampai saat itu, masyarakat ikut geram karena geliat elit DPR mengintervensi revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) tak kunjung bisa dilakukan.
Rencana revisi UU KPK seakan mengulang kembali masa kelam itu. Suasananya tidak jauh beda dengan sebelumnya. Riak-riak penolakan revisi UU KPK bertebaran di mana - mana dari berbagai latar belakang serta kajian bidang keilmuannya. Sebut saja 73 dosen Universitas Andalas (Unand), Padang dan 151 dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak rencana revisi tersebut.
Dalam revisi UU KPK mengatur tentang penyadapan hingga penggeledahan harus seizin dewan pengawas yang dipilih DPR. Kemudian, mencermati materi revisi UU KPK dalam bidang pencegahan, kewenangan KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tampak dipangkas habis. Maka tak heran riak-riak penolakan dari sebagian kalangan elit politik hingga Ketua KPK mengarah pada ancaman masa depan KPK.
Masalah lainnya, rencana DPR untuk merevisi UU KPK yang disepakati 70 anggota dari semua fraksi pada rapat paripurna Kamis 5 September lalu terkesan geliat mengocok kemurnian independensi KPK. Parahnya, jumlah 70 anggota bukan repserentatif lembaga legislatif, karena tidak dihadiri setengah plus 1 alias tidak qorum dari  anggota DPR yang berjumlah 560 orang. Memang sedari awal terlihat inkonsistensi DPR dalam revisi UU KPK.
Makna independensi KPK lebih dalam dimaknai menyapu bersih para koruptor di lembaga  legislatif, eksekutif, dan yudikatif tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Hasilnya, sekitar 29 kepala daerah serta ratusan anggota legislatif terpaksa harus menikmati indahnya sel tahanan.Â
Bahkan hasil dari kasus lainnya, sebut saja BLBI, bailout Bank Century, Hambalang, E-KTP, dan lainnya menjerat kalangan anggota parlemen, menteri, pejabat BUMN, aparat penegak hukum, kepala daerah, serta pihak swasta lainnya. Semua ini telah menjadi cause clbre selama ini membuktikan keberadaan KPK menjadi sangat penting.
Pada kesimpulannya, jika revisi UU KPK benar di sahkan, kedepan kita menatap KPK tidak lagi lembaga negara independen, unsur DPR dan pemerintah mengisi kursi Dewan Pengawas KPK.
Kemudian, untuk tindakan penyadapan dan penyitaan KPK harus atas izin Dewan Pengawas, KPK dilarang mengangkat penyelidik dan penyidik independen, penuntutan di KPK harus dengan koordinasi Kejaksaan Agung, terakhir umur penanganan perkara dibatasi hanya boleh satu tahun.
Jika benar ini revisi itu disahkan, berarti sudah benar ada politisasi dalam merevisi UU KPK. Revisi itu dimungkinkan hanya akan membatasi ruang gerak KPK. Bahkan, dengan dibentuknya dewan pengawas yang dipilih melalui DPR, makin meyakinkan akal sehat kita bahwa benar DPR ingin mengunci gerak KPK menjadi terbatas dalam mendeteksi para elit yang korupsi.
Di balik itu, bisa jadi revisi UU KPK adalah proyek salah satu oknum yang tersandung kasus korupsi luar biasa. Mencermati proyek itu, dalam perspektif extra-ordinary treatment terhadap extra-ordinary crime, revisi UU KPK tampak ada upaya membuka cela impunitas bagi koruptor.
Memang ada benarnya, seluruh aktivitas lembaga negara perlu dievaluasi, apakah telah mencapai target atau justru keluar dari koridor yang semestinya.
Mengacu pada UU KPK saat ini, segala tindakan KPK dilakukan dengan berlandaskan  hukum kuat. Sampai saat ini masih berjalan semestinya. Jika memang revisi itu berlandaskan pada keinginan ada upaya bagaimana mengevaluasi KPK, bukan itu solusinya. Karena saat ini, tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum itu berada di atas angin. Solusi saat ini,
Saya memandang, segala kekurangan KPK saat ini perlu diperbaiki dengan cara mengoreksi kinerja pengawas internal dan pengujian di pengadilan. Itu saja cukup meyakinkan masyarakat KPK tetap serius menangani korupsi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H