Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sudah Cukup Bicara Politik

20 April 2019   19:00 Diperbarui: 20 April 2019   19:16 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di saat masyarakat Indonesia sedang sibuk menunggu hasil perhitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) sembari memperdebatkan perbedaan perhitungan suara quick count dan internal masing-masing tim capres-cawapres. Di negara lain, sedang sibuk membicarakan Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menggempur pos pasukan Suriah dan menewaskan 20 tentara Suriah serta melukai milisi pro pemerintah lainnya di wilayah al-Sukhna pekan kemarin. Lembaga Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris menyatakan serangan ISIS baru-baru ini yang paling besar terjadi di area al-Koum, sebelah utara Kota Palmyra.

Di negara lainnya, Nicolas Maduro didesak mundur dari jabatannya melalui aksi demonstrasi besar-besaran pada 1 Mei mendatang. Desakan itu datang dari pemimpin kelompok oposisi di Venezuela, Juan Guaido dengan harapan Nicolas Maduro turun dari jabatannya.  

Wacana terbaru, masyarakat dunia sedang membahas black hole, alias lubang hitam yang berhasil dipotret para astronom menggunakan Event Horizon Telescope (EHT). Sontak membuat masyarakat dunia kaget setengah mati. Sebab, hal yang misterius itu untuk pertama kalinya dipotret.

Kehadiran lubang hitam ini pun dikaitkan dengan plot film Interstellar yang berspekulasi bahwa benda di alam semesta itu adalah jembatan antar dimensi yang bisa mengantar objek di dalamnya ke sisi lain semesta.

Pindah ke negara tetangga, Singapura yang sedang mengembangkan satelit baru yang lebih cepat dalam mentransmiskan data sehingga membuat akses informasi jadi jauh lebih kilat. Tidak jauh dari Singapura, negara Vietnam dan Thailand sedang getol-getolnya mengembangkan sepak bola mereka untuk bisa menembus Piala Dunia 2022 di Qatar. Sementara di Indonesia, masih disibukkan bagaimana PSSI dipimpin oleh orang yang kredibel bisa mengantarkan timnas Indonesia masuk piala dunia.

Di saat warga dunia sedang larut-larutnya berdiskusi isu kesejahteraan, ancaman perang, ekonomi dan lain sebagainya, di Indonesia kita masih berkutat isu kepastian suara. Misteri dunia dikalahkan misteri pemenang pemilihan presiden (Pilpres) 2019.

Lima tahun lamanya masyarakat menanti pesta demokrasi digelar kembali. Beriringan dengan harapan besar, Indonesia bisa menjadi negara lebih dari negara lainnya. Sekurang-kurangnya prestasinya setara dengan China dan Jepang.

Harapan itu sebanding dengan kedewasaan berdemokrasi. Pemilihan Presiden 2019 disebagian besar wilayah di Indonesia telah selesai dilaksanakan. Meskipun pekan depan dimungkinkan akan ada pemilihan ulang.

Pesta demokrasi sepatutnya menyatukan semua elemen yang sebelumnya terpisah oleh pilihan, dipertemukan dalam satu cita-cita. Walaupun memang masih ada yang berasa belum puas, ada juga yang kecewa. Begitulah efek fanatik demokrasi.

Sepanjang sejarah pesta demokrasi, selalu berakhir pada kedewasaan dari dua pihak yang bertarung. Usai pemilihan presiden Amerika Serikat 9 November 2016 lalu, Hillary Clinton menyampaikan pidato kekalahan dihadapan pendukungnya di New Yorker Hotel, New York.

Sebelumnya Hillary digadang-gadang bakal menjadi presiden perempuan pertama AS. Keyakinan itu juga didukung hasil lembaga survei bahwa mantan menteri luar negeri AS itu akan menang. Prosentase fantastis dari Reuters menyebut peluang kemenangan mencapai 90 persen.

Angka fantastis itu jauh lebih tinggi bila dibandingkan prediksi New York Times yang menyatakan peluang kemenangan berada di angka 85 persen. Media lainnya seperti Bloomberg, Fox News, CBS News, dan ABC serta situs fivethirteight.com memastikan kemenangan Hillary atas Donal Trump, baik untuk popular vote maupun dalam elektoral vote. Akan tetapi, seluruh kajian, analisis dan prediksi itu meleset, dan kahirnya Hillary kalah.

Hillary tidak menyalahkan lembaga survei. Justru dengan tegar dan tersenyum mengakui kekalahannya diharapan para pendukung setia. serta menekankan pentingnya menerima hasil. Menariknya, Hillary justru menyatakan kepada pendukungnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai peradilan yang adil, kesetaraan hak, kebebasan berekspresi, dan proses demokrasi damai.

Apa yang terjadi di Pemilu 2016 di AS, membenarkan bahwa demokrasi butuh kedewasaan dari pihak yang menang maupun kalah. Menang bukan berarti besar kepala, kalah tidak harus marah-marah.

Karena tidak selamanya yang menang itu lebih hebat secara kualifikasi teknis maupun politis. Demikian yang kalah tidak menganggap sebagai pihak yang sengaja dikalahkan hingga bertindak diluar akal sehat.

Faktanya, banyak pihak yang dulunya dianggap benar, ternyata diciduk KPK. Yang kalah pun setelah diberikan kesempatan memegang jabatan, justru sama-sama bertemu dalam penjara.  Walhasil, menang dan kalah sama-sama masuk penjara, ada juga masuk rumah sakit jiwa.

Kini, dinamika seusai Pilpres berpindah ke penantian pengumuman resmi KPU tentang siapa yang diberikan mandat rakyat memimpin Indonesia. Ketidak puasan dialamatkan kepada lembaga survei, juga kepada KPU.

Terlepas dari segala dinamika yang ada, kita perlu berbangga diri bahwa Pilpres dan Pileg 2019 berlangsung aman dan penuh suka cita. Rasa lelah terasa seperti sedang berjuang melawan penjajah.  Ada pula yang rela memberikan nyawanya demi menjaga nilai-nilai Pemilu sebagai Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS).

Disamping suka cita rakyat merayakan pesta demokrasi, media sosial diwarnai pertarungan dua kubu capres yang cukup alot dengan harapan menciptakan opini agar rakyat bisa ikut meramaikannya. Akan tetapi, faktanya rukun-rukun saja.

Memang Pilpres kita kali ini terkesan keras dan kasar. Para elit politik mendramatisasi dunia maya seakan-akan sedang berperang, Kita pun larut dalam konstruksi polarisasi yang terkesan tajam.

Lihat saja, bagaimana rakyat mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) menyalurkan hak pilihnya. Sampai-sampai, yang datang memilih tidak kebagian surat suara karena tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Aksi protes di Kantor KPU menggambarkan betapa berharganya satu suara untuk masa depan bangsa.

Suasana proses pencoblosan dan perhitungan suara berlangsung tanpa ada kericuhan. Entah itu pendukung 01 atau 02, sama-sama menunggu hasil perhitungan saura selesai, tidak ada bantah-bantahan atau adu jotos. Usai perhitungan suara selesai, sesekali mengajak ke warung kopi berdiskusi bersama tentang menang dan kalah. Tak dirasa waktu semakin larut, kopi segelas pun habis. Rumah jadi tempat beristirahat.

Masa depan Indonesia harus dipandang 100 tahun kedepan dengan menggunakan kacamata global. Seluruh segman kehidupan manusia perlu dikaji lebih dalam dan diterapkan supaya masa depan itu benar-benar terwujud. Meski pun hasilnya tipis.

Celakanya jarak masa depan itu semakin pendek, seperti jarak 01 ke 02. Ini terlihat dari perbandingan isu utama di Indonesia dan negara lain. Anehnya, media sebagai kendaraan masa depan ikut terpolarisasi memberikan isu seputar polarisasi politik para elit. Kita semua berharap segala dinamika ini berhenti secepatnya.

Isu politik memang tidak salah. Sebab politik juga bagian dari penentu masa depan. Tapi jika terus menerus itu yang dijadikan bahan perbincangan yang menguras tenaga, waktu dan pikiran, tentu masa depan sebanding dengan jarak 01 ke 02.

Sudah cukup energi terkuras isu politik sejak Pilgub DKI 2012, Pilpres 2014, Pilgub 2017, 2018, hingga Pilpres 2019. Jarak moment perebutan kursi kekuasaan begitu dekat hanya kita habiskan untuk berbicara politik. Banyak hal yang jauh lebih penting ketimbang menang dan kalah dalam kontestasi politik.

Indonesia di masa mendatang harus berdiri sebagai pemenang secara global. Terlalu kecil Indonesia jika menang dan kalah kepada sesama anak bangsa sendiri.  

Apalagi, kalau Indonesia disanding dengan negara lain, tidak belum tentu bisa setara. Jangankan masuk piala dunia, menjuarai perhelatan sepak bola antara negara Asia sudah pontang panting. Itu baru dunia olahraga, bagaimana dengan ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya.

Marilah kita kembali berfikir masa depan Indonesia. Kepastian perhitungan suara kita serahkan kepada lembaga yang menanganinya. Elit politik jangan mengajak masyarakat untuk ikut terjerumus dalam bidang yang tidak pahaminya. Petani harus kembali ke ladang mengurusi sumber kehidupannya. Karyawan harus fokus mengurusi kerjaannya agar tidak menurunkan omset perushaaan. Sementara pegawai harus fokus melayani masyarakat.

Jangan menyempitkan pikiran ini dengan memaknai politik sebagai penentun hidup dan mati seseorang. Masa depan Indonesia ditentukan oleh diri kita sendiri, bukan Prabowo atau Jokowi. Sama halnya berfikir masa depan Indonesia tidak sependek jarak 01 ke 02, tapi 100 tahun kedepan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun