Mengapa demikian? Debat yang seharusnya memantik harapan tentang Indonesia yang lebih baik, malah berkutan pada ranah persoalan yang belum pernah terlesaikan. Ditambah lagi janji-janji terkesan kadaluarsa. Masyarakat adil makmur adalah satu filosofi universal yang bisa ditejemahkan dalam berbagai sub pemikiran, indonesia kerja, indonesia membangun dan lain sebagainya.
Pembangunan pedesaan misalnya, jika Jokowi akrab dengan program dana desa, Prabowo dekat dengan pemikiran kesejahteraan dari desa. Ma'ruf Amin mengenal betul pemahaman pembangunan dalam perpektif politik keagamaan, maka Sandi menguasai betul taktik ekonomi pembangunan.
Namun pada kenyataannya tidak demikian. Berbagai sub adil makmur telah diterapkan pemerintahan sebelumnya. Presiden Soekarno misalnya, kesejahteraan berlandaskan filosofi kemerdekaan justru mendapat hati dimasyakat. Justru percaturan tiga ideologi besar membuat semua pandangan itu jadi kontradiktif. Pemerintah tidak mampu mengawinkan harapan dan kenyataan, walau pun sedikit. Lahirnya tiga tuntutan rakyat atau tritura hanyalah taktif mengalihkan opini masyarakat memikirkan isi perutnya.
Ada lagi di masa Presiden Seoharto, tampil sebagai macan asia jutru melahirkan krisis moneter pada masanya. Entah di mana korelasinya, kenyataan itu semakin nyata kala kemiskinan semakin meningkat mengalahkan akal sehat. Memang iya Indonesia mandiri, kemiskinan juga tampil mandiri.
Begitu juga presiden setelahnya, tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasarakan saat ini. Pemikiran dan pandangan awal mula ditampilkan dalam satu panggung kampanye. Sungguh faif rasanya mengungkapkan pandangan pesimis di hadapan masyarakat. Sekurang-kurangnya ada teori perbandingan agar mehamami mengapa dan kenapa suatu sebab bisa terjadi.
Kembali kepada materi debat kampanye, tidak ada satupun ungkapan pesimis didalamnya. Kalimat angin segar dan syurga telinga bercampur baur dengan optimisme membangun masa depan. Apabila ditampilkan lagi kemasyarakat, apa ada jaminan pembaharuan pemikrian? Tentu tidak. Â
Hanya saja, yang menentukan isi materi debat itu ada pembaharuan atau tidak tergantung landasan berfikir masa depan masing-masing paslon. Kita meyakini, ada satu poin yang bisa jadi bahan pertimbangan untuk memilih salah satunya. Entah pada kenyataannya terbelenggu dalam polarisasi janji-janji kampanye atau ada era baru Indonesia yang lebih baik, kita tunggu saja siapa yang diberikan mandat oleh rakyat memimpin bangsa ini lima tahun kedepan.
Masyarakat mengingingkan pemaharuan pemikiran. Jika masyarakat diajak menyibukkan diri dengan perkelahian antara anggota dewan, korupsi merajalela, menurunnya kapasitas negarawan dan elit negara, tidak ada artinya berbicara kampanye.
Materi debat tidak perlu dikampanyekan atau tidak, landasannya bukanlah pendidikan politik, melainkan pembaharuan pemikiran. Jika itu tidak ada, alangkah baiknya dibukukan saja, biarkan para aktivis yang membaca itu semua.