Musim kampanye jelang Pemilu 2019 telah berlangsung hampir lima bulan lamanya. Partai giat melakukan berbagai inovasi meningkatkan elektabilitas partainya agar menang pada Pemilu nanti.Â
Praktik endorsement sering digunakan untuk meningkatkan elektabilitas partai pendukung kandidat capres cawaspres. Dalam dunia bisnis, endorsement biasanya dimaknai dengan dukungan, atau semacam rekomendasi. Bila dibawa dalam praktik, partai melakukan endorsing dengan menawarkan kandidat capres beserta jejak rekam prestisius ke masyarakat.
Sebagai timbal balik, masyarakat akan membicarakan kandidat yang menurutnya menarik untuk dipilih, dengan harapan mengenal sosok figur kandidat dan berimbas kepada elektabilitas partai. Â
Menurut skema sederhananya, jika masyarakat ramai membicarakan kandidat capres, maka partai yang membawa nama kandidat juga akan ikut dibicarakan. Sehingga kepercayaan publik jatuh ke pertai yang mempromosikan kandidat capres cawaspres.
Strategi ini dinilai berpengaruh cukup signifikan, selain bisa meningkatkan elektabilitas kandidat, biasanya elektabilitas partai pendukung yang melakukan endorsing juga akan bertambah.
Seperti yang dilakukan PDIP dan PSI saat ini mengampanyekan Jokowi ke masyarakat dengan berbagai teknik. Boleh dilihat dari hasil survei Indonesia Elections and Strategic (indEX) Research menunjukkan di kubu Jokowi - Ma'ruf, hanya PDIP dan PSI yang mendapat efek elektoral berupa kenaikan elektabilitas.
Kenaikan elektabilitas kedua partai ini naik secara konsisten. Dukungan konstituen PDIP pada Januari 2019 bertengger diangka 25,7 persen dari Desember 2018 hanya 23,1 persen. Bahkan menurut data terbaru indEX PDIP kini sudah sampai diangka 26,2 persen.
Sementara elektabilitas PSI dari 1,2 persen pada Desember 2018, melesat cukup signifikan pada Januari 2019 dengan angka 2,3 persen. Sebagai partai baru dalam Pemilu, praktik endorsement melalui teknik door to door berpengaruh cukup signifikan.
Namun ditengah upaya endorsement ini, PDIP dan PSI harus berhadapan dengan fenomena split ticket voting atau pengalihan suara di internal partai. Hasil survei Indikator Desember 2018 menyebut dukungan 8,1 persen konstituen PSI dan 6,0 persen 6,0 persen konstituen PDIP mengalihkan dukugan ke Prabowo-Sandi.
Kondisi bisa menyulitkan PDIP dan PSI mempromosikan Jokowi-Ma'ruf ke masyarakat. Sebab dunia maya tidak mengenal teritorial partai, sementara dunia nyata teritorial politik partai sangat jelas. Hanya ada beberapa daerah saja yang benar-benar sangat mendukungan Jokowi-Ma'ruf, daerah lainnya tidak demikian. Lantas bagaimana dengan partai pendukung Prabowo?
Menurut (indEX) Research dominasi Partai Gerindra dikubu Prabowo-Sandi pada Januari 2019 menunjukkan angka 14,7 persen dari 12,3 persen pada Desember 2018. Ditambah dengan data terbaru naik 15,3 persen. Itu artinya partai loyalis Prabowo-Sandi hanya Partai Gerindra.
Tidak jauh berbeda di kubu Jokowi, dibalik upaya endorsement partai Gerindra harus menghadapi fenomena split ticket voting. Konstituen Partai Gerindra mendukung Jokowi-Ma'ruf tergambarkan dalam angka 14,1 persen. Meski terbilang sedikit, ini sangat berpengaruh saat partai mengendorsing Prabowo ke masyarakat.
Namun begitu, kondisi ini sedikit diuntungkan 31,2 persen konstituen Partai Golkar yang melakukan split ticket voting ke pasangan Prabowo-Sandi. Padahal Golkar merupakan partai koalisi pendukung Jokowi - Ma'ruf. Â
Praktik endorsment masing-masing partai pendukung dua kubu capres cawapres ini patut diperhitungkan. Jelang Pilpres 17 April nanti, Jokowi terus ditawarkan kepada masyarakat sebagai pilihan pemimpin. Demikian Prabowo juga ditawarkan sebagai representasi indonesia baru. Secara otomatis praktik ini melahirkan efek ekor jas atau  coat-tail effect cukup membanggakan.
Upaya meraih dukungan dari upaya endorsement bukan hanya fokus pada sisi positif dua capres. PDIP dan PSI harus berjibaku dengan berbagai serangan lawan agar tidak kehilangan dukungan. Demikian Partai Gerindra turut disibukkan ramainya hoaks dimana-mana yang menyudutkan ketuanya sendiri. Belum lagi sebagian konstituen Partai Golkar bermain halus untuk memenangkan Prabowo di Pilpres.
Elektablitas PDIP jelas naik jika Jokowi digembar-gemborkan sebagai kader yang layak memimpin. Andaikan partai tidak mengendors, elektablitas Jokowi sama sekali tidak terganggu. Sebab selama ini figur pemimpin rakyat didapatkannya dari jejak rekam sebagai kepala daerah hingga kepala negara, bukan politisi.
Jokowi bukanlah kekuatan sesungguhnya. Sebab figur yang melekat dihati rakyat adalah figur sebagai seorang sipil dengan jejak rekam prestasi kepala negara. itu artinya walaupun praktik endorsement tidak dilakukan PDIP, Jokowi tetap dikenal dan dipilih rakyat tanpa harus menempatkan kepercayaan kepada partai yang mengusungnya.
Di sisi lain, loyalnya PDIP kepada Jokowi hanya senjata untuk menekan politik elektoral agar tidak kacau balau karena virus dualisme politik. Sudah banyak yang tahu partai ini memiliki banyak masalah internal. Ceritanya panjang kalau mau dijelaskan. Â
Sama halnya penyebutan loyalis kepada PSI, partai pendatang baru wajib rasanya menggandeng Jokowi agar bisa mendapatkan posisi politik yang kuat dalam parlemen Jokowi berhasil duduk dikursi Presiden. Setidaknya bisa mem back up kader PSI diparlemen. Kalau tidak diperjuangan dari sekarang, sulit rasanya seorang Grace Natalie mengukir sejarah baru sebagai satu-satunya politisi perempuan berpresitasi.
Perpaduan semangat milenial dan kerakyatan mengharuskan Jokowi menjadi simbol Partainya. Tak ayal gaya santai Jokowi dipersepsikan sebagai produk milenial yang cocok untuk PSI kumadangkan. Tapi dibalik itu, PSI tanpa Jokowi, sulit dibayangkan bagaimana partai baru berjuang memenangkan kontestasi politik lima tahunan.
Lain halnya dengan Prabowo, suhu politik sama sekali tidak nampak ada pemaksaan. Justru lebih nyaman menjadi seorang Prabowo. Partai Gerindra mengendorsing tanpa dibebankan suhu politik elektoral, sosok Prabowo akan lebih mudah dipromosikan ke masyarakat. Selain berasal dari politik lalu mendirikan Partai Gerindra, semangat indonesia raya sangat melekat dalam diri dan partainya. Sulit rasanya masyarakat melepas keterkaitan roh Partai Gerindra dari Prabowo.Â
Posisi ini memudahkan pula kader partai yang turun mempromosikan Prabowo. Tidak perlu takut kehilangan elektabilitas partai. Berbicara partai Gerindra seperti sedang membicarakan Prabowo, demikian sebaliknya. Berbeda dengan Jokowi yang terkadang jadi kostumnya PDIP. Tanpa Jokowi, belum tentu membicarakan PDIP, sebaliknya tanpa PDIP sudah tentu membicarakan Jokowi.Â
Praktik endorsement didunia politik sudah biasa terjadi. Upaya partai mempromosikan kandidatnya perlu dipahami sebagai cara agar tidak gagal dalam pemilu. Namun perlu diwaspadai kegagalan mengendorsing kandidat berbuah kegagalan kader partai memenangkan kursi diberbagai daerah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI