Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Medsos, Panggung Suara "Millenial"

3 Februari 2019   03:13 Diperbarui: 3 Februari 2019   03:56 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era globalisasi sekarang ini, media sosial (medsos) berkembang pesat dan menempati posisi paling vital dalam kehidupan masyarakat. Khususnya pemuda atau generasi Millenial, menjadikan medsos sebagai tempat paling praktis bersosialisasi secara online tanpa dibatasi ruang dan waktu. Besarnya pengaruh teknologi abad 21 ini begitu terasa kepada generasi Millenial yang menjadi konsumen paling dominan. Pada praktiknya, bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan berbagai hal positif, menyebarkan informasi serta pendidikan politik. Namun di sisi lain, kuatnya arus interaksi di dunia maya bisa merubah karakter pemuda yang cenderung memiliki tipikal mudah terpengaruh.

Seiring berkembangnya teknologi informasi, medan politik tak lagi sama. Medsos bisa dijadikan alat politik untuk mengubah pikiran politik generasi Millenial. Dikarenakan mereka memiliki waktu lebih banyak berada di depan handphone untuk berinteraksi, baik itu Facebook, Twitter, WhatsApp, Line dan segala aplikasi medsos lainnya.  

Peran aktif generasi Millenial makin menguatkan arus politik di dunia maya yang otomatis telah memberikan jaminan masa depan partai politik dan kandidat. Kekuatan media sosial  menempatkan Negara-negara demokratis sebagai Negara paling membutuhkan teknologi ini untuk memenangkan pertempuran. 

Dalam konteks politik Amerika, selama pemilihan Presiden Amerika di era Obama, tim marketing partai politik, manager kampanye, konsultan politik dan sukarelawan berhasil menggunakan jaringan media sosial dan internet untuk memobilisasi pemilih. Hingga memasuki hari pemilihan, tim sukses Obama terus mengajak masyarakat memilih dirinya melalui media sosial. Tidak jauh berbeda dengan keterpilihan Presiden Donal Trump, dimana kekuatan tweet kandidat bisa mempengaruhi emosional pemilih.

Apa yang terjadi di Amerika, juga terjadi pada medan politik Eropa. Strategi mobilisasi pemilih lewat jejaring media sosial begitu signifikan pada pemilu Inggris 2010, Pemilu Polandia di tahun 2011, Pemilu Jerman tahun 2017, Pemilu Fancis tahun 2017 serta pada masa kampanye Presiden Sarkozy tahun 2007.

Demikian dengan di Indonesia, sejak awal sistem pemilihan memilih jalan demokrasi, lembaran baru pu dimulai. Strategi jejaring media sosial bermunculan satu persatu. Masa itu, Stepi Ariani menyebut media sosial sebagai alat pemasaran dan kampanye (2018: 157). Sejak itu pula, medan politik berubah. Partai politik dan kandidat harus mengubah pola-pola komunikasi politik, marketing politik serta kandidat yang dicalonkan.

Dinamika opini publik yang berkembang di dunia maya jadi tantangan yang harus dihadapi. Jika tidak, akan tergeser oleh kuatnya arus media sosial. Dalam posisi ini, partai politik dan kandidat harus saling bekerjasama mengolah internet dan media sosial sebagai tempat menyampaikan pesan politik kepada generasi Millenial dengan berbagai bentuk, mulai dari bentuk visual, memberikan penghargaan atas prestasi, hadir ditengah aktivitas interaksi online, ikut terlibat dalam pergolakan isu sektoral generasi Millenial dibarengi membagi ide-ide segar yang menjadi kebutuhan mereka. Keseluruhan upaya yang dilakukan, berlaku untuk semua level politik, baik itu level nasional, provinsi dan kabupaten.

Internet dan media sosial, disamping murah dan cepat, bisa efektif menyampaikan pesan politik hingga mampu menjangkau keseluruh pelosok. Dimana ada listrik dan internet, disitu ada generasi Millenial menerima pesan politik. Dahsyatnya kekuatan media sosial, kini menjadi tren pemilu saat ini.

Hipwee.com
Hipwee.com
Mengenal Tipikal Generasi "Millenial"

Jika ingin mengambil simpati massa di media sosial, kandidat harus memahami betul siapa penguasa media sosial saat ini. Sebab, apa yang terjadi di dunia maya, berimbas pada dunia nyata. generasi Millenial atau netizen memiliki ragam tipikal. Untuk memahaminya, tidak terlalu rumit. Mereka dikenal kreatif, fleksibel, tidak bisa terlalu diajak serius dan kaku dalam hal politik, serta tidak terlalu menyukai sesuatu yang palsu.

Tipikal kreatif mudah ditemukan lewat komunitas Milenial. Komunitas membaca misalnya, visi utama mereka ialah meningkatkan minat baca masyarakat. Sebab, bagi mereka membaca adalah gerbang menuju masa depan. Untuk mewujudkan visi itu, komunitas mengadakan serangkaian misi, mulai dari perputakaan keliling, lapak baca di taman-taman, dan donasi buku untuk masyarakat yang ada di pelosok-pelosok.

Selain itu, mereka membuat kegiatan bedah buku, sharing hasil bacaan dan diskusi tentang masa depan minat baca. Ragam kegiatan dikemas begitu santai, menghibur dan tidak serius atau kaku. Terlalu serius, bisa membuat pembaca bosan yang pada akhirnya enggan membaca. Untuk tema buku, tidak ada yang berubah, konsumsi bacaan tidak luput dari kumpulan buku langendaris seperti Soe Hok Gie, kumpulan buku kiri, buku kurikulum dan bacaan ringan misalnya novel, puisi dan cerpen.

Selain komunitas membaca, ada pula komunitas puisi, komunitas cerpen, komunitas sastra dan lain sebagainya. Semua komunitas generasi Millenial ini selalu dipenuhi ide-ide kreatif sampai membuat konten di media sosial dan membuat media tersendiri yang menampilkan berbagai berita berikut aktivitasnya. Di sisi lain, terkadang mereka mengeritik pemerintah lewat visi yang diembang oleh masing-masing komunitas, salah satunya mempertanyatakan keberadaan institusi perpustakaan dalam meningkatkan daya membaca masyarakat.

Dalam pergaulan sehari-hari, generasi Millenial sangat fleksibel. Mereka mau bergaul dengan siapa saja, tidak memandang anak pejabat atau keturunan darah biru. Selama memiliki niat untuk berbuat, komunitas tidak membatasi ruang gerak. Justru, jika semakin dibatasi, ide-ide kreatif sulit dikeluarkan. Demikian generasi Millenial ingin merdeka bergaul dengan siapa saja. Interaksi dalam pergaulan sehari-hari juga terjadi di media sosial.

Dalam ruang politik, generasi Millenial antipasti dengan politik atau Pemilu jika selalu disuguhkan dengan konten-konten hoaks atau berita palsu. Pasalnya, hoaks membuat generasi Millenial semakin tidak berminat dengan politik.

Dalam aspek pergaulan politik, dengan sesuatu yang eksklusif. Bagi mereka, ekslusifitas adalah pembungkaman secara formal, tidak ada fleksibilitas dalam pergaulan. Malah justru, mengkotak-kotakan antara anak pejabat, anak konglomerat, anak cerdas, dan anak miskin. Strategi yang digunakan partai dan kandidat saat ini cukup siginifikan, misalnya membuat platform media sosial, kemudian berfoto sefli dan mengunggahnya ke media sosial lalu dikemas dengan kata-kata ringan. 

Di sisi lain, jika ingin mengeritik pemerintah, terkadang dikemas dengan bentuk hiburan namun pedis. Seperti membuat meme, video kocak dengan menampilkan para tokoh yang dikritik, serta mengemas apa yang terjadi di pemerintahan dalam bentuk komik.

Partai politik dan kandidat harus memahami keunikan generasi Millenial. Jika tidak, partai bakal tersingkir dengan partai lain yang lebih dulu memikirkan bagaimana memenangkan simpati generasi Millenial.

IDNTimes.com
IDNTimes.com

Penetrasi di 2019

Partai di Indonesia sudah memahami betul pentingnya kaum milenial dalam pertarungan politik di 2019. Mengutip hasil penelitian dari beberapa lembaga survei dalam tulisan Stepi Ariani (2018: 165-166), Center of Strategic Internastional Studies (CSIS) mengidentifiksi pemilih Millenial   di Pemilu 2019 berada di kisaran usia 17-29 tahun. Dalam ranah penelitian sosial, selain rentang usia yang dipilih CSIS itu, generasi Millenial juga diletakkan pada rentang usia 17-35 tahun.

Pada awal November 2017, CSIS merilis hasil survei tentang   orientasi sosial, ekonomi, dan politik generasi Millenial. Pada survei tersebut, PKS berada di urutan ketujuh dalam daftar partai politik pilihan kaum Millenial. Partai politik dengan elektabilitas tertinggi dalam survey yang dipilih kaum Millenial adalah PDI Perjuangan (26,6 %). Diikuti secara berturut-turut oleh Gerindra (17,8%), Demokrat (13,7%), Golkar (10,7%), Perindo (4,5%), dan PKB (4,2%).

Masih pada survei yang sama, menyebutkan tingkat kepemilikan akun media sosial kaum Millenial didominasi oleh Facebook, WhatApp, Instagram, dan Twitter. Temuan tidak jauh berbeda dengan laporan "Lanskap Digital Indonesia 2018" yang dikeluarkan agensi pemasaran sosial berbasis di Amerika Serikat, We are Social, yang menyebut YouTube, Facebook, WhtasApp dan Instagram dalam empat besar aplikasi media sosial yang paling banyak digunakan orang Indonesia. Bahkan 44% dari total jumlah orang yang menggunakan Facebook selama setahun terakhir berusia 20-29 tahun. Itu artinya, pengguna media sosial di Indonesia adalah kaum Millenial.    

Jelang pentas politik 17 April 2019, para competitor kedatangan partai baru, salah satunya Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ditengah geliat partai baru dan partai senior memenangkan simpati kaum Millenial, PSI tampil dengan desain partai berbeda. Sebagian besar dari pengurus partai ditingkat Nasional hingga daerah, dipenuhi anak muda yang menyebut dirinya generasi Milenial. Bahkan, sebagian besar kandidat merupakan kaum Millenial yang bercita-cita membangun Indonesia. Bukan untuk menyudutkan partai lain, namun pada kenyataannya, PSI memang partai yang dikerumuni generasi milenial.

Penetrasi partai politik jelang 17 April 2019 wajib dilakukan jika ingin melihat sejauh mana upaya partai meraih suara di kalangan kaum Millenial. Masing-masing partai politik berlomba-lomba melakukan penetrasi dengan memiliki akun tersendiri di hampir semua platform media sosial. Jika Majalah Gatra merilis hasil risetnya pada tahun 2017, bahwa Gerindra unggul dalam pertarungan di media sosial, untuk 2019 sendiri dimungkinkan ada partai lain melakukan penetrasi serupa.

Dampak penetrasi ini bisa berpangaruh pada keterlipilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden lima tahun akan datang. Data survei Poltracking,  menurut sisi preferensi karakter atau sifat kandidat yang disukai, menunjukkan bahwa pemilih generasi milenial menginginkan kandidat dengan karakteristik merakyat 35 persen, dan jujur/berintegritas sebesar 11,8 persen. Presentasi ini menunjukkan bahwa generasi Millenial menyukai kandidat yang menyatu dan tak berjarak dengan 'gaya hidup' merakyat.

Senada dengan pernyataan Direktur Indonesia New Media Watch, Adi Sudibyo, bahwa kelompok yang menentukan siapa yang akan memenangkan pertarungan dalam Pilpres 2019 yakni generasi Millenial. Presentasi 30% dari total 80 juta jiwa adalah mereka yang akan memilih, bakal menentukan siapa calon pemimpin selanjutnya.  Kemudian, diperkuat dengan data Saiful Mujani Research Consulting ( SMRC), saat ini setidaknya 34,4 persen masyarakat Indonesia ada di rentang umur emas 17-34 tahun.  

Dua nama potensial yang maju pada Pilpres 17 April 2019 mendatang, yakni Joko Widodo dan Prabowo Sunbianto, menurut Direktur Utama SMRC, Djayadi Hanan,  bahwa berdasarkan survei SMRC yang melibatkan 1.059 responden di 34 provinsi pada Desember 2017 lalu, kecenderungan pemilih muda, yakni rentang umur di bawah 21 tahun hingga 25 tahun, lebih memilih Jokowi ketimbang Prabowo.

Kemudin, dari 4,7 persen responden berumur di bawah 21 tahun, 45 persennya memilih Jokowi, 29 persen memilih Prabowo. Sementara 21 persen memilih nama di luar kedua nama tersebut, dan 6 persen belum tahu memilih siapa. Selanjutnya, naik ke tingkat umur yang lebih tua, yakni 22-25 tahun, dari 5,2 persen responden pada usia tersebut, 40 persen memilih Jokowi, 18 persen memilih Prabowo, 36 persen memilih nama di luar dua nama tersebut, dan 5 persen belum tahu akan memilih siapa.  Sementara di tingkat umur 26-40 tahun, dari 33,9 persen responden di usia tersebut, 58 persen memilih Jokowi, 19 persen pilih Prabowo, 15 persen memilih calon lainnya, dan 8 persen belum tahu.

Melihat serangkaian data, masyarakat sudah bisa meraba-raba siapa yang akan memenangkan pertarungan Pilpres 2019. Jelas kekuatan pemilih Millenial sangat dibutuhkan para kandidat. Kekuatan media sosial harus terus dikemas sedemikian rupa untuk bisa meraih suara Millenial. Kemungkinan, Prabowo bisa mengjangkau sebagian besar suara Millenial. Atau Joko Widodo malah naik tangga dari survei sebelumnya. Meskipun Prabowo bukan diinginkan kaum Millenial sebagai sosok merakyat, namun pada kenyataannya semua itu bisa berubah jika kekuatan media sosial diolah dengan baik. Dalam politik apa yang tidak bis terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun