Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Debat Pilpres dan Gagalnya Politik "Imagologi"

19 Januari 2019   04:34 Diperbarui: 19 Januari 2019   10:30 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Segala pemikiran tentang Indonesia yang lebih baik,  berawal dari pencitraan. Entah itu sebatas ide dan gagasan, itu penting untuk pencitraan." Muhammad Rafiq

Dalam kehidupan politik sering kali diwarnai dinamika yang dibentuk oleh lakon para pemain demi meraih popularitas dan dukungan kepentingan. Berbicara soal pencitraan dalam dunia politik, seperti melihat lampu lalu lintas yang terdiri dari tiga rambu, merah, kuning dan hijau. 

Meskipun ketiga warna itu masing-masing punya arti, namun hampir setiap kali kita sering menyebutkannya lampu merah. Karena memang lampu merah paling menonjol dan berkesan dalam pandangan orang kebanyakan. 

Demikian dengan pencitraan, menjadi sudut pandang seseorang untuk menilai individualitas atau kelompok politik. Apabila Image memiliki nilai positif, seluruh masyarakat akan tertarik menanggapinya. Beginilah kerja-kerja imagologi untuk memperkenalkan atau membangun pencitraan.

Seorang novelis bernama Milan Kundera, banyak mengulas Imagologi dalam salah satu novelnya. Ia mengartikan Imagologi sebagai sebuah seni membuat gambaran nilai atau cita-cita yang melibatkan orang banyak tanpa dikritisi atau dipertanyakan oleh orang-orang tersebut. 

Istilah ini mengantarkan masyarakat pada sebuah pertempuran antara realitas versus imajinasi. Media dari senjata utama untuk bekerja menciptakan sebuah pertempuran. Tentu dengan catatan, mesti harus orang-orang yang memiliki nalar tinggi yang mampu membandingkan antara keadaan real dengan keadaan imajiner. Singkatnya, dalam pengertian Midal Kundera imagologi lebih kuat dari realitas.

Selain Milan Kundera, perlu juga kita menyimak Yasraf Amir Piliang bahwa Imagologi (imago berarti imaji atau citra dan logos berarti ilmu atau kebenaran) adalah istilah sentral yang digunakan untuk menjelaskan ilmu tentang citra atau imaji di dalam masyarakat informasi serta peran sentral teknologi informasi dalam membentuk citra tersebut. 

Dari perkembangan teknologi pencitraan mutakhir, imagologi terus bergaung sebagaimana keinginan agar sampai pada hasrat yang dituju, seperti radio, televisi, video, internet, surveillance, satelit, dan realitas virtual yang menciptakan sebuah dunia yang di dalamnya aspek kehidupan setiap orang sangat bergantung pada dunia citraan. 

Penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas yang pada titik tertentu dianggap merupakan realitas itu sendiri merupakan sasaran dari imagologi. Padahal, semuanya tak lebih dari sebuah fatamorgana dan fantasmagoria (Yasraf Amir Piliang, Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial, 2003: 150)

Tirto.id
Tirto.id
Kini, kerja-kerja imagologi telah berlaku sejak lama di Indonesia mulai dari awal hidupnya teknologi informasi. Tidak hanya dalam kehidupan manusia, juga dalam kehidupan politik. Berbicara politik tanpa pencitraan seperti sayur tanpa garam. Pencitraan mampu mendongkrak popularitas para politisi untuk bisa dikenal.

Ada banyak alat yang bisa digunakan demi popularitas seseorang, mulai dari media massa, media eletronik, media sosial, hingga survei. Dalam perjuangan popularitas, hasil kerja awal imagologi mampu menjadi barometer untuk mendulang kekuatan dan menggalang dukungan. Tentu popularitas dalam konteks kebaikan jadi target utama, meskipun segala kebaikan yang utarakan belum terealisasi atau sama sekali hanya fatamorgana.

Fatamorgana jadi konsep tersendiri untuk diterima masyarakat. Sebab, fatamorgana mampu menggiring pandangan orang-orang dengan tujuan agar tidak mengetahui kebenaran realitas. Akibatnya, terperangkap dalam pesona dan asumsi belaka, namun sebenarnya hanya ruang kosong dan hampa.  

Seluruh kehidupan masyarakat dikelilingi sebuah pencitraan, tidak terkecuali dalam kehidupan politik. Produk pencitraan tentang demokrasi, kemanusiaan, pemerintahan hingga pada level pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yakni hukum hanya menampilkan pencitraan atau imagologi. 

Seperti halnya pertarungan kepala daerah, kepala pemerintahan, pemilihan calon aggota legislatif yang menjadikan media sebagai strategi dalam memenangkan politik. Ditambah lagi dengan kekuatan finansial, citra dapat lebih mudah dibangun dan memungkinkan bisa mempengaruhi pilihan politik seseorang.

Upaya Meraih Citra dalam Debat isu HAM

Upaya meraih citra melalui kontestasi politik sangat ideal. Apalagi saat proses debat dilakukan, hasilnya bisa jadi barometer sejauhmana kekuatan yang dihasilkan atas pandangan tentang apa yang disampaikan. Empat peserta Pemilihan Presiden 2019, yaitu Joko Widodo - Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno sama-sama berupaya meraih citra disaat masyarakat terbelenggu dalam kegamangan hak asasi manusia (HAM) yang harus dijawab.

 Kedua pasangan calon pemimpin negara telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk diutarakan kepada seluruh masyarakat yang menonton debat Pilpres 2019. Kedua calon menyoroti tentang diskriminasi, kebijakan yang tak berpihak kepada HAM berikut  penegakan hukumnya.

Misalnya, dalam visi misi pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin tentang penegakan HAM, diantaranya meningkatkan budaya dan kebijakan yang berpektif HAM termasuk memuat materi HAM dalam kurikulum pendidikan, melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, memberikan jaminan perlindungan dan hak kebebasan beragama dan berkayakinan serta melakukan langkah-langkah hukum tegas terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama. 

Sedangkan untuk pasangan calon Prabowo-Sandi, melindungi HAM seluruh warga negara dan menghapus praktik diskriminasi sesuai dengan tata aturan yang berlaku. Kemudian menjami kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di muka umum, dan terakhir menghentikan ancaman persekusi terhadap setiap individu organisasi dan kelompok masyarakat terlepas dari latar belakangnya.

Sepintas melihat visi misi kedua paslon, berkesempatan untuk membawa masyarakat keluar dari belenggu kegamangan. Akan tetapi, hasil debat Pilpres yang berlangsung 17 Januari 2019, justru gagal mengambil citra pada persoalan HAM. Debat hanya sebatas narasi belaka menurut Analis sosial politik dari Universitas Islam Indonesia (UIN) Syarif Hidayatullah, Ubedilah Badrun, tidak ada penjelasan kongkrit. 

kompas.com
kompas.com
Masyarakat tidak mendapat titik terang dari persoalan pelanggaran HAM dari kedua kandidat. Segala persiapan gagasan terkait HAM justru tidak menghasilkan citra apapun, malah saling serang antara satu sama lain dan membuat para pejuang HAM merasa kecewa. Konsep penegakan hukum kedua kandidat menurut Peneliti hukum Para Syndicate, Agung Sulistyo, tidak menggali secara fundamental tentang penegakan hukum. 

Jika Prabowo disoroti karena penegakan hukum Chief of Law Enforcement Officer yang mirip pemikiran orde baru, sementara Jokowi lebih nyaman membahas persoalan seputar ekonomi dan pembangunan. Tidak ada pemikiran segar dalam penegakan hukum HAM.

Bahkan, sekelas Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Bela Ulung Hapsara, mengeritik kedua pasangan belum mengelaborasi lebih jauh persoalan HAM, terutama dalam konteks tolerasi, diskriminasi dan kekerasan berbasis ekstremisme. Tidak ada komitmen keduanya untuk mengatasi hal tersebut.

Bahkan, tidak meyinggung soal praktik diskriminasi terhadap kelompok yang memiliki orientasi seksual berbeda atau LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Mestinya, persoalan ini harus diangkat dipermukaan. Bukan tanpa sebab, persoalan tersebut tengah melanda moral bangsa Indonesia. Jika tidak ada pemikiran soal itu, gagal sudah keduanya meraih citra di masyarakat.

Beralih pada kasus HAM berat di masa lalu, Direktur Riset Setara Institute, Halili menilai  tidak ada gagasan kongkrit bagaimana menyelesaikan kasusnya, entah harus lewat jalur yudisial atau non-yudisial. Meskipun ada kesepakatan tidak menyinggung soal HAM masa lalu, masyarakat dan pejuang HAM butuh sebatas pemikiran baru saja.

Setiap segmen harusnya dimanfaatkan kedua kandidat untuk lebih banyak menyinggung soal penegakan hukum HAM. Untuk meraih citra di masyarakat, setiap segmen terbuka kesempatan untuk berbicara lebih banyak.

 Misalnya, selama kepemimpinan Jokowi, sudah sejauhmana penegakan hukum HAM, terutama terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Bukan untuk menyinggung keterlibatan oknum atau yang diduga terlibat meski tidak terbukti, akan tetapi memberikan pemikiran baru dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. 

Namun, hal itu tidak nampak dan cenderung bertele-tele. Tidak ada bedanya dengan Prabowo, meskipun belum pernah merasakan kursi pimpinan negara, pastinya memiliki taktik tersendiri  untuk berbicara penegakan hukum. 

Prabowo sangat diuntungkan untuk berbicara soal itu, karena dilatar belakangi militer dan saksi sejarah HAM berat masa lalu. Jokowi, hanya hadir saat proses penuntasan pelanggaran HAM. Sebelum Jokowi, sudah ada Presiden sebelumnya yang berupaya menegakkan hukum HAM. Jokowi hanya melanjutkan, atau memberikan penyegaran dengan pemikiran dan kebijakan hukum yang baru.

Kedua kandidat sama-sama tidak memanfaatkan politik imagologi. Padahal, dalam moment seperti itu, sangat tepat untuk meraih citra. Kalau Jokowi diuntungkan pernah memimpin Indonesia, harusnya Prabowo lebih progresif mengeluarkan ide dan gagasan. Sehingga, ada kebangkitan semangat untuk menuntaskan kasus HAM. Apalagi untuk urusan politik pencitraan, dibelakang Prabowo ada Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tokoh pencitraan di Indonesia. Mestinya paham itu.

Dalam uraian visi misi kedua kadidat, jelas menunjukkan penegakam hukum HAM. Tidak ada kalimat pesimis baik masyakat maupun pejuang HAM di Indonesia. Catatan penting kedua kandidat harus dipahami bahwa citra itu sangat penting dalam urusan HAM. Karena, persoalan kemanusiaan hari ini diselimuti msalah HAM, mulai dari penegakan hingga pemenuhan. 

Merujuk pada pengertian Milan Kundera, baik Jokowi dan Prabowo dikelilingi media sebagai sarana meraih citra. Terlepas siapa yang banyak menguasai media, di era kebebasan pers sekarang ini, seluruh kehidupan manusia bergantung pada media. Prilaku politik hingga pemikiran politik memiliki andil utama mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat. Bukan tidak mungkin, debat Pilpres punya poin besar untuk mengalihkan pandangan masyarakat.

Masih Ada Waktu untuk Pencitraan

Jokowi maupun Prabowo bisa disebut sebagai orang-orang yang memiliki nalar yang tinggi untuk meriah pencitraan. Blusukan ala Jokowi dan kontorversial ala Prabowo, bisa dinilai sebagai bentuk pencitraan. Sebab, pemikiran masyarakat tidak selamanya terbentuk oleh pencitraan ala Jokowi, melainkan pencitraan ala Prabowo juga dibutuhkan untuk membuka pikiran masyarakat tentang Indonesia yang lebih baik.

Waktu Pemilu 2019 masih menyisahkan waktu beberapa bulan lagi. Kesempatan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya meraih citra di masyarakat. Citra itu penting untuk mendulang kekuatan dan dukungan. 

Dukungan media masih terbuka lebar menebarkan citra dimasyarakat. Akan tapi dengan catatan, citra yang ditampakkan tidak menyampingkan realitas yang ada atau bukan sekadar imajinasi. 

Memang ada benarnya tidak menggunakan politik pencitraan. Namun, dievalusasi setiap moment,  harus melahirkan ide-ide segar tentang Indonesia. Walau pada akhirnya hanya sekadar imajinasi bekala, siapa yang tau, perjalanan pemerintahan kelas akan terjadi seperti apa yang disampaikan. 

Dalam kelompok kepentingan, para politisi punya peran dan kedisiplinan ilmu. Dengan sendirinya, mereka mengambil peran masing-masing dalam pemerintahan. Entah sebatas imajinasi atau tidak, salah satunya pasti akan terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun