Wajar, kehidupan dan gaya hidup artis bisa mengantarkan mereka dalam kehidupan dunia yang tidak pernah usai. Namun lagi-lagi, penegakan hukum jadi kunci memberikan kepastian apa dan bagaimana mereka setelah ini.
Moral adalah bagian dari hukum. Keduanya satu kesatuan dalam kehidupan manusia agar tidak terjerumus ke dalam jurang kehancuran atau membunuh psikologi seseorang. Pada realitasnya, yang menjadi tranding topic dalam kasus daring adalah para artis yang terlibat.
Banyak media dan warganet memfokuskan diri terhadap si artis. Twitter contohnya, si artis jadi trending topic para penduduk twitter dengan mamasang hastag #80juta dan #MenjemputRejeki2019, ada yang membully dan berempati. Â Padahal, dibalik itu, pelaku sampai saat ini hanya sekadar inisial.
Padahal, indentitas KTP sudah dikehui pihak kepolisian. Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol. Frans Barung yang dilansir Tempo, Selasa (9/1/2019), mengaku bahwa inisial R adalah seorang pengusaha tambang pasir di Lumajang memang ada. Mengapa hanya inisial, padahal identitasnya sudah terbaca. Justru ini yang harus dibuka, bukan si artis.
Saya sepakat, statement Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Adriana Venny yang menyayangkan maraknya pengeksploitasian identitas dan penghakiman terhadap perempuan, mulai dari jajaran penegak hukum, media, hingga respons masyarakat, memang ada benarnya.
Seharusnya dari awal, si artis tidak diungkapkan nama aslinya demi melindunginya dari ganjaran sosial. Karena tidak mendapat perlindungan, akhirnya si artis harus mendapat ganjaran sosial.
Dari aspek ini, sungguh tidak dibenarkan. malah, Barung mengalihkan pandangan masyarakat dengan mengatakan kasus ini murni ingin mengungkap kasus prostitusi daring yang ada di wilayah ini. Kebetulan saja prostitusi itu adalah artis. Tidak ada kebutulan dalam hukum, semua bisa ditegakkan dari sisi mana saja. Jika moral dan hukum adalah satu kesatuan, mestinya nama itu harus inisial dan tidak menampakkan wajah si artis sebelum pelaku diungkap ke media.
Selain, Adriana, aktivis perempuan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Siti Aminah memandang setiap kasus prostitusi terungkap, media massa selalu mendudukkan pelaku perempuan yang menjadi pekerja seks komersial sebagai objek sorotan.
Perempuan menjadi objek, baik dalam konteks TPPO (tindak pidana perdagangan orang) maupun konteks prostitusi. Dalam kasus daring ini, Ia memposisikan VA sebagai korban dalam perspektif feminis yang dimana perempuan yang menjadi korban prostitusi harus diperlakukan sebagai korban TPPO.
Dalam konteks yang sama, seperti yang dilansir BBC, Senin (7/1/2019), Peneliti Media, Wisnu Utomo , mengatakan dari sekian banyak aspek terkait kasus prostitusi online ini - profil klien prostitusi online tersebut, struktur jaringan, dan sebagainya, sebagian media memilih untuk lebih fokus mengupas seluk beluk sosok sang artis. Ia menilai pemberitaan kasus daring artis masih sangat buruk.
Menurutnya, banyak angle berita yang lebih layak diproduksi untuk kepentingan publik. Selain itu, ia juga menilai, pemberitaan kasus dugaan prostitusi online yang melibatkan artis jarang mengupas isu-isu substansial yang bisa menguak dapur bisnis asusila tersebut. Justru belih banyak hal-hal yang sifatnya sensasional.