Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pidana Mati Jangan Sekadar Wacana

6 Januari 2019   21:42 Diperbarui: 6 Januari 2019   22:07 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kiri) menyaksikan penyidik menunjukkan barang bukti uang saat konferensi pers mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus korupsi pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan pihak swasta, di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (30/12/2018). FOTO: ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA

Penetapan keterlibatan beberapa pejabat Kementerian Pekerjaan Rumah dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan perusahaan atas dugaan dugaan suap proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR tahun anggaran 2017-2018 menjadi kebar gembira buat masyarkat Indonesia, khususnya masyarakat di wilayah Palu dan Donggal yang baru terkena musibah.

Sebenarnya, masyarakat akan lebih gembira lagi jika hukuman mati benar-benar diterapkan. Tragis, kenyataan yang sebenarnya-benarnya adalah dana kebencanaan juga dikorupsi oleh mereka yang mau mengambil untung. Padahal, kehidupan pasca bencana merupakan pertarungan antara hidup dan mati, masih  saja dikorupsi.

Sekadar merefresh kembali ingatakan kita, mengutik pemberitaan yang dilansir Kumparan.com (30/12/2018) indikasi suap proyek air minum di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah melibatkan Teuku Moch Nazar selaku Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Teuku adalah pejabat yang mengurusi pengadaan pipa air di Donggala dan Palu dengan menerima menerima uang Rp2,9 miliar untuk pengadaan pipa HDPE di Bekasi, Donggala, dan Palu. Teuku Moch Nazar menerima suap dari sejumlah petinggi PT Wijaya Kusuma Emindo (WKE) dan PT Tashida Perkasa Sejahtera agar lelang dimenangkan oleh kedua perusahaan itu.

PT WKE diatur untuk mengerjakan proyek bernilai di atas Rp 50 miliar, PT TSP disiapkan untuk mengerjakan proyek bernilai di bawah Rp 50 miliar.  Pada tahun anggaran 2017-2018, kedua perusahaan ini memenangkan 12 paket proyek dengan total nilai Rp 429 miliar. Proyek terbesar adalah Pembangunan SPAM Kota Bandar Lampung dengan nilai proyek Rp 210 miliar.

Selain Teuku, KPK juga menetapkan tiga pejabat Kementerian PUPR lainnya sebagai tersangka, Mereka adalah Anggiat Simaremare selaku Kepala Satuan Kerja Sistem Penyediaan Air Minum Strategis Lampung, Meina Woro Kustinah selaku PPK SPAM Katulampa, dan Donny Sofyan Arifin selaku PPK SPAM Toba 1.

Mereka diduga menerima suap senilai Rp 3,66 miliar dari Lily Sundarsih Wahyudi selaku Direktur PT Wijaya Kusuma Emindo, Budi Suharto selaku Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo, Irene Irma selaku Direktur PT Tashida Perkasa Sejahtera, dan Yuliana Enganita Dibyo selaku Direktur PT Tashida Perkasa Sejahtera.  Para petinggi dua perusahaan swasta itu juga telah ditetapkan sebagai tersangka.

Melihat penjelasan singkat, penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi batuan kebencanaan sepantasnya mendapat tempat yang layak.  Hukuman mati adalah ancaman berat yang dapat diberikan kepada para tersangka berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang berbunyi, Ayat 1 setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya, Ayat 2 dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Lebih jauh lagi,  keterangan "keadaan tertentu" dijelaskan hukuman mati diberikan apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yakni saat bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam krisis ekonomi dan moneter.

Dalam kondisi seperti ini, KPK harus konsisten dan berhati-hati menerapkan pidana mati kepada para pelaku korupsi bantuan kebencanaan. Sebab, jika pada akhirnya orang-orang dibalik kasus itu memainkan perannya, bisa saja pidana mati hanya jadi wacana saja. Sedangkan para pelakunya bebas dan tertawa.

Jangan Biarkan KPK Berjuang Sendiri

Bagaimana KPK harus kuat? Sebenarnya jika KPK mau melepaskan diri dari jaringan korupsi dan tidak tergiur dengan tawaran baik jabatan, uang dan jaringan, maka ada harapan bagi rakyat untuk bisa merasakan negeri tanpa korupsi. Kesejahteraan juga bisa dirasakan, anak-anak sekolah, ekonomi berjalan lancar, dan pendidikan politik jadi lebih positif.

Pada aspek formalnya, KPK harus melakukan koordinasi, supervisi, dan pemantauan selain penindakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Tugas pokok tersebut merupakan bentuk penguatan eksistensi KPK sekaligus obat mujarab untuk meminimalkan penyakit menular korupsi yang sudah sempat mewabah di seluruh aspek kehidupan, khususnya korupsi bantuan kebencanaan.

Khusus untuk penerapan pidana mati, KPK harus lebih jeli melihat segala celah yang bisa dimasuki oleh oknum tertentu. Saya meyakini, dari perspektif jaringan, bahwa dua perusahaan tersebut merupakan salah satu anggota dalam jaringan korupsi di Indonesia yang sampai saat ini dijaga dan terjaga.

Sedangkan para pejabat PUPR adalah bagian terkecil dari jaringan korupsi yang bisa disebut sebagai anggota kecil yang bekerja secara teknis. Pada umumnya, anggota jaringan diatas level itu tidak mau memunculkan "batang hidungnya" selama tidak ada celah yang bisa dimasuki.

Tujuannya adalah untuk menjaga anggota jaringan mereka agar terlindungi dari jeratan hukum. Kalau pun harus masuk penjara, setidaknya mendapat hukuman ringan dan sedikit kelonggaran, sehingga jaringan korupsi bisa terjaga dengan baik dan masih terus bermain.

Celah ini pun bisa saja berbentuk dokumen, fakta persidangan, hingga bukti-bukti yang lain yang dapat menguantkan para pelaku. James Coleman dalam perpektif modal sosial, upaya merawat dan menjaga jaringan tidak hanya melalui jalur informasi, misalnya penguatan saksi. Akan tetapi, Alejandro Portes menguatkan perspektif itu dengan mengatakan bahwa dalam hubungan timbal balik antara anggota jaringan, segala sesuatu bisa dikonversi dalam bentuk apapun, salah satunya financial. Antara informasi dan finansial ini dalah dua hal yang kerap kali dibuka para penegak hukum agar bisa dimasuki jaringan korupsi.  

KPK harus mewaspadai jaringan tersebut dan jangan sedikitpun membuka celah untuk jaringan korupsi masuk memutarbalikkan fakta yang ada. KPK sudah diperkuat dengan UU-nya sendiri berikut dengan UU TIPIKOR. Saya kira, ini sudah cukup sebagai senjata utama mengungkap dan menghukum siapa saja pelako korupsi bantuan kebencanaan.

Salah satu penyebab hidupnya korupsi di Indonesia karena minimnya kepatuhan hukum. Sehingga pencegahan korupsi mutlak dilaksanakan secara konsisten dan menyeluruh. Pencegahan itu tidak hanya dilakukan di instansi pemerintah, swasta, dan pendidikan, tapi harus juga diawali dari keluarga.

Khusus yang menjadi perhatian, para politisi dan eksekutif harus taat asas dan aturan jika ingin kita merasakan negeri tanpa korupsi. Baik politisi maupun eksekutif memiliki tugas masing-masing dalam mencegah korupsi, terutama support mendukung pidana mati bagi pelaku korupsi bantuan kenbencanaan.

Para elite politik mendorong pidana mati dalam konteks politik, sementara eksekutif mendukung penerapan hukuman mati kepada para anak buahnya. Kalau keduanya tidak mau bekerjasama, maka sia-sia lah KPK didirikan. Di sisi lain, bisa jadi salah satu diantaranya adalah anggota jaringan korupsi. Benar atau tidak, tunggu sepak terjang KPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun