Memberantas korupsi adalah prinsip jika ingin kita dan pemerintah mewujudkan cita-cita bangsa dan menempatkan kepercayaan di hati rakyat. Hukum jadi pemeran utama mengatur segala kehidupan manusia hingga menjadi lebih baik. Namun, ada  juga manusia enggan untuk diatur dan hidup berdasarkan kemauan sendiri, sampai pada waktunya mendapat ganjaran setimpal.Â
Di satu sisi, kreativitas intelektual manusia mampu mengubah kedudukan hukum sebagai pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sarana transaksi memenuhi hasrat politik.Â
Tidak sedikit dari mereka lenggak-lenggok membawa sekoper uang, gembira ria karena sudah mencebloskan lawan-lawannya lewat lobi-lobi sistematik. Hukum dibuat tak berdaya, pasal-pasal seperti tidak punya taji untuk melawan realitas hukum yang ada. Akibatnya, memicu menurunnya tingkat kepercayaan rakyat, hingga  merasa pesimis dengan cita-cita bangsa, memilih berserah diri dan menerima apa adanya, asalkan anak-anak bisa makan dan bisa sekolah. Â
Getolnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti rasuah memberikan harapan tentang negeri tanpa korupsi. Tapi, selama hukum terus dijadikan sebagai sarana tranksaksi, selama itu juga adagium "tajam ke bawah tumpul ke atas" tetap jadi primadona para elit.
Sebagai catatan, tahun 2018 banyak para politisi tertangkap korupsi. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah menjadi tersangka kasus korupsi sejak Januari-Mei 2018.Â
Angka tersebut lebih dari separuh jumlah pejabat/karyawan swasta yang telah tertangkap komisi anti rasuah yang mencapai 118 orang. Semua itu, belum ada satupun yang dikenakan hukuman mati. Apa bedanya, korupsi dengan tersangka penyalahgunaan Narkotika ?
Belum lagi, baru-baru ini KPK menetapkan 8 tersangka dalam kasus Proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kementerian PUPR, salah satu penyebabnya proyek di daerah bencana di Kabupaten Donggala. Total suap yang diduga itu ialah Rp 5,3 miliar, USD 5 ribu dan SGD 22.100. KPK bertindak lebih cepat menerapkan pidana mati kepada para tersangka korupsi.
Dalam penjelasan pasal 2 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, bahwa penjelasan "dalam keadaan tertentu", masuk salah satunya tindak pidana korupsi terhadap dana kebencanaan alam nasional.
Tapi, dengan realitas hukum saat ini, apakah hukuman mati benar-benar bisa terwujud atau tidak? Jika ini berhasil, KPK mempunyai catata sejarah mampu menghukum mati koruptor. Namun sepertinya, itu hanya akan jadi macan ompong saja.
Sebenarnya, jika KPK tergerak hatinya untuk memberantas korupsi, penerapan hukuman mati itu boleh saja selama memenuhi unsur perundang-undangan. Statmen Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, memberikan dukungan pidana mati bagi koruptor. Dalam pandangan berbeda, Direktur Eksekutif Demos, Asmara Nababan justri tidak Asmara juga tidak setuju jika para koruptor dihukum mati.Â
Tidak sada korelasinya antara pidana mati dan efek jera. Pendapat ini juga didukung peneliti Imparsial, Bhatara Ibnu Reza bahwa tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor. Misalnya, di China setiap tahun ada 50 hingga 60 orang dihukum mati.Â
Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar paling korupsi di dunia. Meskipun sejak 1999 mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Pada akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.Â
Menyusul nasib buruk menimpa Wakil Gubernur Propinsi Jiangxi, Hu Changqing dieksekusi mati pada 9 Maret 2001 setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti senilai AS$200.000. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina.Â
Menurutnya, pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai, ini sebuah semboyan yang terus didengung-dengungkan pemimpin-pemimpin Cina, terutama PM Zhu Rongji, yang di Cina dikenal sebagai salah satu "Mr Clean". (hukumonline.com). Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China telah dijatuhi hukuman mati. Tapi, sekarang China juga menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini.
Selain China, sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, negara itu menerapkan Undang-Undang (UU) lustrasi nasional atau UU pemotongan generasi. Menurut Mahfud MD, (Kompas 06/04/2010), melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan dan semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif kembali.Â
"Getolnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti rasuah memberikan harapan tentang negeri tanpa korupsi. Tapi, selama hukum terus dijadikan sebagai sarana tranksaksi, selama itu juga adagium "tajam ke bawah tumpul ke atas" tetap jadi primadona para elit."
Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi. Pada era  Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur),  pernah juga diusulkan rancangan UU lustrasi dan UU pemutihan. Namun, usulan itu kandas karena Gus Dur lengser.
Melihat China dan Latvia, bagaimana pun dan apapun analisinya, pada prosesnya koruptor tetap saja dihukum mati.
Melawan Realitas HukumÂ
Seharunya, Indonesia belajar bagaimana konsisten memberantas korupsi. Meskipun KPK bukan lembaga penentu, tapi perlu diwaspadai transaksi hukum jadi penghalang konsistensi KPK dalam memberantas korupsi.Â
Bahkan, realitas hukum juga bisa menjerat bagi mereka yang dianggap lawan berbahaya. Banyak dari mereka dijebloskan ke jeruji besi karena dianggap berbahaya. Sehingga, raykat dibuat bingung mana koruptor dan mana korban politik.
Realitas hukum saat ini merupakan tantangan berat dan harus dilawan jika ingin rakyat merasa optimis kelak Indonesia bebas korupsi. Bukan hanya sekadar opini supaya rakyat merasa ada harapan diera Post-Truth sekarang ini.Â
Apalagi, para elit memegang kendali keputusan politik demi mendulang kekayaan, ujung-ujungnya merusak moral bangsa dengan uang dan jabatan. Hukum sebagai sarana transaksni harus dikembalikan ke singgasananya. Ini cara agar hukum tetap sebagai pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara, melepaskan diri dari jeratan politik praktis, supaya hukum tetap hidup dalam singgasananya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H