Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Suatu Hari di Kantor Polisi

12 November 2017   13:27 Diperbarui: 12 November 2017   13:31 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustari kamuflase pria berjubah putih. Sumber: http://www.fadhilza.com

Bahkan, orang-orang yang berdakwah pun dianggap menyebarkan ajaran sesat. Mungkin ini sangat berlebihan, tetapi semua bisa jadi benar tatkala negeri ini dipenuhi para bunglon, menyamaar jadi apa saja.

Suasana kota tampak berbeda dari sebelumnya. Iring-iringan warga berjubah putih menyeret seorang pria bersorban ke kantor polisi. Pria bersorban dianggap telah melakukan praktek terlarang di hotel-hotel.

Hukum mati dia!!!

Anjing!!!

Sampah masyarakat!!!

Pria bersorban itu menundukkan kepalanya, wajahnya memburuk akibat dipukul sebelum diseret dari masjid ke kantor polisi. Kantor polisi menjadi ramai, seluruh parkiran dipenuhi orang-orang berjubah putih berorasi tentang pria itu adalah sampah negara, pantas dihukum mati, semua ajarannya bisa membuat negeri ini bangkrut se bangkut-bangkrutnya.

"Pak polisi, kami membawa pria bersorban. Prakteknya sangat berbahaya." Pimpinan kelompok berjubah putih melapor ke salah satu petugas.

"Apa duduk perkaranya." Petugas itu menjawab

"Dia pengacau, provokator, menghasut semua orang agar mau melawan penjahat negeri ini. Sangat radikal." Bentaknya sambil memukul meja petugas itu.

Petugas itu masih keheranan, bingung, hanya karena melawan penjahat dianggap radikal. Bukankah itu baik, perbuatan mulai dan termasuk dalam golongan gerakan jihad. Lalu, di mana radikalnya. Jangan -- jangan, pria berjubah putih itu yang radikal.

"Jangan terlalu banyak bicara pak, tangkap saja dan langsung dipenjara, sebelum negeri ini hancur."

"Begini pak, kalau memang demikian, berikan kami bukti-buktinya."

"Sudahlah pak, ini sudah jelas, kami ada ribuan diluar, apa itu tidak cukup kuat."

"Begini pak, saya ingin...." belum selesai petugas itu berbicara. Pemimpin pria berjubah putih itu langsung memukulkan meja petugas, membentaknya dengan suara lantang.

"Pak, kalau memang tidak mau diproses, biar kami yang bawa pria  ini kedalam sel, mana kuncinya. Jangan salahkan kami jika sesuatu terjadi di kantor ini. Assalamualaikum."

Petugas itu pun bergegas menghalau para pria berjubah putih itu. Tapi, karena mereka bergerombolan masuk dalam kantor, petugas lainnya juga ikut menghalau dan terjadi adu mulut antara keduanya.

Pria berjubah putih enggan menuruti kemauan para petugas, dianggapnya hanya memperlambat penegakan hukum. Bagi mereka, buktinya sudah sangat jelas, pria bersorban ini tertangkap tangan di satu hotel beserta bukti dokumentasi dan rekaman video.

Dalam rekaman itu, pria bersorban mendoktrin semua masyarakat untuk berjihad melawan para penjahat negara. Mereka tidak seperti penjahat di pasar-pasar, jalanan, lorong kompleks perumahan warga, atau pun tempat hiburan malam. Penjahat ini aktif di gedung-gedung mewah, sekretariat organisasi, meja bundar dan ruang pimpinan.

Beragam aksi yang dilakukan, mulai dari menyodorkan berkas, kantongan hitam, meletakkan koper hitam di atas meja, atau obrolan tertutup. Jam aktifnya saja itu tertentu, kalau pun ada kesempatan, mereka biasanya datang berbaju kemeja putih, jaket hitam mengkilat serta pantopel hitam.

Saat akan menjalankan aksinya, mereka kemudian berkamuflase membaluti seluruh tubuh dengan jubah putih yang siap menghantam siapa saja yang menghalangi aksinya. Sampai-sampai, kalimat yang keluar tak ubahnya seperti seorang ulama yang berbicara tentang kebenaran. Bisa jadi, cara ini buat mereka tidak ketahuan, Identitas orang baik diterjemahkan dalam jubah mereka. 

Pria bersorban ini ditangkap karena dianggap mengganggu jalannya aksi mereka. Berjubah putih, jadi identias mereka untuk bisa mengalihkan mata masyakat kalau memang itu benar pria bersorban adalah penjahat sesungguhnya.

***

Mendengar kekacauan di kantor polisi, kapolsek yang saat itu berada dalam perjalanan menuju kantor, langsung menginjak gas dan melaju sekencang-kecengnya.

Selang beberapa jam kemudian, kapolsek masuk lewat belakang kantor dan lari terbirit-birit langsung melerai kekacauan di kantor polisi. Suara tembakan ke atas, adu jotos seketika berhenti.

"Stoop." Kapolsek berteriak sekeras-kerasnya kemudian menembakkan lagi pelurunya ke atas.

Akhirnya, adu jotos itu pun meredam. Meraka pun kembali berdialog dengan para pria berjubah itu. Dalam pikiran kapolsek, pria berjubah ini sangat antusias memenjarakan pria bersorban. Entah apa yang telah dilakuakn sampai harus seperti itu. Dalam rekaman itu hanyalah orasi yang mengandung doktrin perlawanan, lalu kemudian dianggap radikal. Padahal, melawan penjahat itu adalah keniscayaan.

Di kondisi negeri sekarang ini, orang-orang jadi bingung dan salah kaprah. Lawan ternyata kawan, kawan ternyata lawan, lawan dijadikan kawan, kawan dijadikan lawan, sampai-sampai kawan diadu untuk memenangkan lawan. Tragis, miris. Maka tak heran, jubah putih dianggap jadi indentitas pencerah, serupa ulama, kyai, atau sang pencerah layaknya HOS Tjokroaminoto yang difilmkan di bioskop-bioskop.

***

Pria bersorban itu semakin tidak mengerti kenapa dirinya ditangkap, dihajar sampai babak belur, diseret hingga ke kampor polisi. Padahal, pria bersorban hanya ingin memberikan pemahaman melawan penjahat itu lebih mulai ketimbang hidup biasa-biasa saja sementara mereka bekeliaran dari gedung ke gedung yang satu sambil membawa berkas, kantongan hitam dan koper.

Ya begitulah, jangankan pria bersorban, ahli agama yang sudah tua dan duduk di kursi roda, kalau anggap menghalangi, pasti kena batunya.

Pria bersorban itu tak bisa berbicara, tubuhnya sangat lemah, waktu kekacauan tadi, pria bersorban itu diamankan di dalam kamar mandi dan dijaga jangan sampai kabur. Saat suasana kembali dingin, pria bersorban itu dikeluarkan dari kamar mandi.

Para pria berjubah putih di parkiran kantor terus berteriak, berbuca-busa agar pria bersorban itu dihukum mati. Hanya beberapa jam saja, gerombolan pria bersorban datang mendukung agar pria bersorban itu dibebaskan. Jumlahnya hanya sedikit, sekitar 100 orang. Dengan jumlah ini, bagaimana bisa mau melawan. Sabar, hanya jadi alat perang seadanya. Sementara bersenjata lengkap, ada uang, berkas, pena dan meka bundar di ruangan ber AC. Sabar bukan berarti tunduk pada pengakuan kuantitas, tapi senjata tak paling ampuh untuk melawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun