Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Secangkir Kopi yang Diambil

24 Oktober 2017   04:37 Diperbarui: 25 Oktober 2017   21:26 3324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebulan lamanya, ia tergeletak lemas di atas kasur tua berukuran satu orang. Setelah pertengkaran lama, membuatnya hilang semangat. Sepanjang malam, yang dilakukan hanya menatap dinding tembok kamarnya berukuran 2,5 x 3,5 m. Sendu jadi kekasih paling setia menemani tidurnya, tidak ada kopi, tidak ada kehangatan.

Ia bergegas mencari secangkir kopi miliknya. Memasuki sebuah warung kopi (warkop) tepi pantai, tidak jauh dari tempat tinggalnya, memesan secangkir kopi. Ia berketetapan hati, harus menikmati secangkir kopi atau tetap kembali menatap dinding kamar seperti malam sebelumnya.

Membayangkan air berwarna hitam hangat itu diaduk-aduk dalam cangkir kecil hinggap di hadapannya, ini bukan kopi biasa, ini kopi penuh cerita. Semua orang dalam warkop terdiam dan berbisik satu salam lain, bertanya-tanya apakah benar-benar ia memesan kopi itu. 

Mereka terus berbisik, pura-pura tidak membicarakan dirinya. Mereka berbisik dengan bahasa mulut, namun diam-diam melirik, layaknya simulakra dengan segala kepalsuan.

Tempat itu memang bernama warkop, namun semenjak sebulan yang lalu ada seseorang datang ketempat itu. Mulai hari itulah, warkop tidak lagi menyediakan kopi. Karena kopi itu tersedia hanya satu.

"Kopi satu!" Teriak pelayan ke dapur, barista bergegas menuangkan kopi ke cangkir kecil.

Pelayan berbaju lengan panjang, celana jeans lengkap dengan tanda pengenal mengantarkan secangkir kopi.

"Akhirnya tiba juga pesanan ini," ia menyambut kopi itu, tapi sepertinya ini bukan kopi miliknya selama ini, "Ini kopi? Ini bukan kopi saya, ini hanya air hitam, bukan kopi saya."

Orang-orang memperhatikan kopi itu, apakah hanya ditatap saja, ataukah langsung meminumnya sekaligus layaknya orang dehidrasi lalu membuangkan ke lantai, seperti membuang segala sesuatu yang bukan menjadi harapan manusia.

Ia terus memperhatikan kopi itu, permukannya tampak berbeda laksana letusan gunung merapi Krakatau menggelapkan hampir seluruh dunia. Kopi itu memang hangat, tapi tidak seperti yang dipunyainya selama ini. Ini kopi sendu!!! Ia menyingkirkan secangkir kopi itu hingga jatuh ke lantai dan pecah. lantai itu menjadi becek, mereka bermain diatas lautan kopi, seperti anak kecil menginjak air becek.

"Mana kopiku," ia berjalan cepat menuju kasir.

"Maaf, kami hanya menyediakan kopi sendu."

Sebulan yang lalu, seorang perempuan mamasuki warkop itu dan memesan minuman yang sama. Kopi yang dipesannya ini persis sama dengan kopi miliknya, kopi penuh cerita. Kopi yang ada sekarang ini hanyalah kopi sendu.

"Apa?" Jawaban pelayan itu sontak membuatnya kaget setengah mati.

Suasana warkop berubah senyap, mereka yang sedari tadi bermain kopi di lantai, tiba-tiba terdiam. Pelan-pelan mereka mengangkatkan kaki dan membersihkan sepatunya dari kopi yang injak-injaknya tadi.

Kemana kopinya?

Jangan-jangan diambil orang?

Mereka bergumam, bertanya-tanya kemana kopi itu, mengapa tidak ada lagi, bukannya tempatnya ini menyediakan kopi penuh cerita, sekarang hanya ada kopi sendu.

Para pelayan saling berpandangan. Salah seorang pelayan berusaha mengingat ciri-ciri wajah seseorang yang memesan kopi penuh cerita itu. Apalah daya, sekuat apapun usaha pelayan itu, sama sekali tidak mengingat siapa yang memesan kopi miliknya.

"Yang saya tau, saya mendengar suara sendok mengaduk-aduk kopi itu. Saat akan saya bersihkan mejanya, secangkir kopi tidak ada lagi."

Pelan-pelan pelayan menjelaskan rentetan kejadian hilangnya kopi miliknya. Tetap saja, tidak mengetahui ciri-ciri orang itu. Entah siapa yang manusia yang tega mengambil kopi miliknya. Bertahun-tahun kopi itu diracik sedemikian penuh cerita.

"Waktu saya ingin membersihkan meja, saya lihat ada tetesan air di ajas meja, bisa jadi itu air mata yang mengambil kopi milik bapak."

Pelayan warkop itu membayangkan orang itu sedang mengaduk-aduk kopi miliknya sambil menangis. Air mata bercucuran ke meja, meminum habis kopinya lalu pergi tanpa sepatah kata apapun. Di meja itu, yang ada hanya cucuran air mata. Itulah sebabnya, mengapa waktop itu tidak lagi menyediakan kopi miliknya.

"Saya harus mengejarnya, ada seseorang dalam kopi itu, itu kopi milikku."

"Segera, kopi itu memang milik bapak, saya tau persis kopi itu." Pelayan memotivasi untuk segera mengambil kopi miliknya.

Orang-orang di warkop juga memberi semangat kepadanya. Mereka tidak lagi menginjak-injak kopi yang membanjiri tempat itu. Malah mereka membersihkannya, mengepel dan menabur wewangian. Meski kopi itu adalah kopi sendu yang jatuh ke lantai, tetap harus dihargai. Sedih dan bahagia sama-sama diasuh oleh cinta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun