"Kondisi sidang paripurna DPR RI kian memanas. Para anggota dewan yang pro dan kontra saling berebut intrupsi. Hingga beberapa dari mereka berebut ingin berbicara di atas podium hingga terjadi kontak fisik dan saling dorong. Sontak kondisi tersebut membuat gaduh ruang sidang,"
Televisi masih eksis memberitakan situasi perpolitikan di senayan. Aksi para legislator seakan-akan menganggap demokrasi adalah sebuah kompetisi, padahal upaya menghancurkan etika moral negerinya sendiri. Ditempat berbeda, masalah krusial negeri ini menjadi wacana dimasyarakat. Akibatnya, tidak sedikit dari masyarakat yang berkomentar pemerintah ini telah gagal mensejahterakan rakyatnya.
Lebih parahnya, justru mahasiswa sebagai pilar utama gerakan pembaharu mulai apatis dengan apa yang terjadi di negerinya.
Hasan sudah sekian lama berusaha keras mengajak mahasiswa untuk bisa mengerti bahwa di negeri yang kaya raya ini 60 % kekayaannya dikuasai pihak asing, angka pengangguran dimana-mana, lonjakan pendaftar PNS tidak jauh beda dengan tingginya angka kemiskinan. Belum lagi masalah PT Freeport yang tidak kunjung selesai. Baru-baru ini, kebijakan pemerintah memperpanjang waktu negosiasi divestasi saham hingga tahun depan. Luar biasa !
Hasan tidak habis fikir, mengapa orang-orang secerdas itu seperti bermusuhan, adu jotos tidak menentu. Apa yang ingin diperebutkan? Apakah mereka benar-benar memperebutkan kebenaran? Ataukah mereka sebenarnya bersengketa memperebutkan pengaruh?
Sebagai mahasiswa, Hasan tahu diri, bukan orang secerdas mereka. Namun, dengan melihat kekisruhan mereka, yang dipersoalkan sebenarnya bukanlah sesuatu yang terlalu amat berbeda, melainkan masing-masing seperti ingin benar sendiri. Bisa jadi membenarkan koalisinya. Bukankah sebenarnya masing-masing dari mereka sudah terbawa arus perasaan yang lebih patut disebut "takut kehilangan kekuatan"? itulah kata yang memusingkan dan menyusahkan. "Apa yang patut dipertahakan jika wakil rakyat saja sudah bermusuhan." Celoteh Hasan saat menonton berita di salah satu siaran ternama di kamar kosnya. Â
Rasa jengkel bercampur gelisah menaungi banyak orang, termasuk lelaki itu. Bangsa ini semakin hari semakin kacau, orang-orang cerdas sibuk memperebutkan pengaruh, senayan tak ubahnya seperti ring tinju. Pemberitaan tentang lonjakan angka kemiskinan terdengar seperti biasa. Sekalinya menengok kebawah, mereka tampil sebagai penyambung lidah rakyat lengkap dengan mobil mewah, sepatu mengkilat dan baju berkerak.
Pukul 08.00, Hasan segera bersiap-siap, memasukkan buku-buku kedalam tas, dan memakai sepatu.  Ia bergegas keluar  kamar menuju teras kosnya.
"Brumm,,,Brummm,," Dia menghidupkan motornya.
Tanpa menunda-nunda waktu, Hasan melesat menunggangi kuda besinya menuju kampus. Kota Palu memang tidak terlihat macet seperti di Jakarta.
Hasan merupakan salah sau mahasiswa FISIP Untad yang aktif dibeberapa organisasi kampus dan luar kampus. Jelas, soal politik bukan hal baru baginya. Bagi Hasan, urusan politik jadi sarapan sehari-hari. Bahkan buku-buku yang tertumpuk dalam lemari, semuanya berbau politik, ada juga pergerakan. Tapi, apalah semua itu jika mahasiswa tidak mampu hadir lebih dari isi tumpukan buku-buku itu.