Indonesia merupakan Negara pertambangan dengan hasil tambang yang melimpah. Kegiatan pertambangan di Indonesia terdapat di berbagai tempat dan wilayah, di Papua terdapat tambang emas, Jawa Barat tambang panas bumi, Riau tambang minyak bumi, Sulawesi tambang nikel dan masih banyak pertambangan di daerah lainnya.
Dari keempat pertambangan tersebut tidak satupun menjadi milik pemerintah Indonesia, semuanya merupakan milik perusahaan asing yang melakukan kegiatan produksi di Indonesia. Pemerintah tidak mempunyai kontrol terhadap kegiatan tersebut, peran pemerintah hanya sebatas mengeluarkan regulasi terkait kegiatan pertambangan yang dilakukan. Selain itu pemerintah juga mendapat royalti dari hasil penjualan barang tambang oleh perusahaan yang terkait.
Sebagai contohnya adalah PT.Freeport, yang sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar kedua versi gold.org ini, merupakan perusahaan asing yang kantor pusatnya di Amerika dan memiliki anak perusahaan yang beroperasi di Indonesia yaitu PT. Freeport Indonesia. PT. Freeport bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui kontrak karya yang telah disepakati pada tahun 1967 (kontrak pertama), dengan masa kontrak selama 30 tahun.
Kesepakatan kontrak karya tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya kegiatan manajemen dan operasional yang diserahkan kepada penambang (PT.Freeport), PT. McMoRan Copper memegang saham sebesar 90,64 %, 9, 36 % diantaranya dipegang oleh PT.Indocopper Investama yang merupakan anak perusahaan, kemudian luas wilayah pertambangan telah disepakati seluas ± 1000 ha untuk diserahkan kepada PT.Freeport.
Perusahaan pertambangan pemasok emas terbesar di pasar tahun 2009 ini, diperkirakan akan berakhir masa kontraknya pada tahun 2021, dengan opsi perpanjang 2 kali 10 tahun. Pada tahun 2009 hasil penjualan tambang emas diperoleh sebesar 53 triliun dengan laba 24,8 triliun, namun dari jumlah terbesar itu pemerintah hanya mendapat royalty sebesar 1% - 3,5% dari total laba. Kalau dihitung pemerintah Indonesia hanya mendapat ±868 juta dari 24,8 triliun, memang tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan yaitu berupa lokasi penambangannya.
Saya mengandaikan, kalau saja laba sebesar 24,8 triliun itu semua menjadi milik pemerintah Indonesia. Bukan tidak mungkin sebutan Negara gemah ripah loh jinawi yang katanya hanya mitos akan berubah menjadi fakta yang membenarkan bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya berkat kekayaan alamnya yang melimpah.
Saya memiliki sebutan baru tentang Indonesia apabila Indonesia mampu mengelola kekayaan alamnya dengan baik dan benar, “ Negara tambang untuk kehidupan ” saya kira sebutan ini cocok untuk Indonesia, tapi.. dengan catatan benar – benar bisa mengelola dengan baik. Pengelolaan yang baik tentunya dapat mengoptimalkan segalanya, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi. Produksi yang baik adalah produksi yang tidak adanya campur tangan pihak asing, efisien, dan sesuai dengan target di pasar, distribusi yang baik apabila semua masyarakat dapat merasakan hasilnya, sedangkan konsumsi yang baik perlunya campur tangan pihak asing dalam kegiatannya, sebagai asumsi bahwa komoditas bisa beredar di luar negeri (ekspor).
Dengan demikian indikator kesejahteraan Negara akan terpenuhi, yang berakibat meningkatnya indeks kebahagian hidup warga negarannya. Indeks tersebut meliputi pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, keseimbangan kerja, kehidupan kerja, kehidupan sosial, keamanan, jaringan sosial, dan kepuasan hidup. Dari beberapa indeks tersebut semuanya mengalami peningkatan.
Selain itu kesejahteraan suatu Negara tidak terlepas dari program – program kesejahteraan yang diterapkan di Negara tersebut. Sebagai contohnya Denmark dan Swedia yang dianggap berhasil dalam mensejahterakan warga negaranya, dengan program perlindungan sosial yang diterapkan di kedua Negara tersebut.
Denmark dengan anggaran sebesar 28,93% yang dikeluarkan untuk pembiayaan program perlindungan sosial, berupa tunjangan yang diberikan kepada seluruh pensiunan di negaranya. Program ini telah berlangsung selama kurun waktu 3 tahun sejak tahun 2014 hingga sekarang. Kemudian Swedia melalui program asuransi kesehatan dengan anggaran sebesar 27,06 % yang dikeluarkan dari PDB negaranya. Dengan program tersebut seluruh warga Negara Swedia dapat merasakan asuransi kesehatan gratis secara cuma – cuma. Beraninya mengeluarkan anggaran besar untuk program – program perlindungan sosial yang diberikan secara gratis kepada warganya, tentunya haruslah diimbangi dengan pendapatan Negara yang besar dan keefektifan dalam menjalankan beberapa progam yang dijalankan.
Lalu bagaimanakah dengan Indonesia ? Apakah program – program kesejahteraan warganya sudah efektif, bagaimana dengan program perlindungan sosialnya ?
Untuk mengetahuinya, saya akan mencoba untuk menganalisis salah satu program pemerintah Indonesia terkait dengan perlindungan sosial. Program perlindungan sosial yang sering diperbincangkan publik salah satunya adalah BPJS. Program asuransi kesehatan yang diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil (PNS), tentara, dan rumah tangga miskin ini, pada tahun 2016 pemerintah memberikan anggaran 5,05 % dari APBN untuk program fungsi kesehatan, dan BPJS termasuk salah satunya.
Jika dibandingkan dengan Swedia, Indonesia masih terpaut jauh soal penggelontoran dana anggaran yang dikeluarkan untuk program asuransi kesehatan. Itupun Indonesia hanya sebagian warga saja yang mendapat pelayanan secara gratis. Bahkan pada tahun 2015 program BPJS mengalami defisit sebesar 5,85 triliun dan diperkirakan tahun ini mencapai lebih 7 triliun. Itulah yang kemudian menjadi problem kesejahteraan bagi Indonesia, tidak berjalannya program – program perlindungan sosial dikarenakan minimnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pendanaan program tersebut dan banyak program yang mengalami defisit sehingga indicator kesejahteraan sulit dicapai dan Negara jauh dari kata sejahtera.
Bagaimana Solusinya ?
Dengan memanfaatkan hasil tambang emas Freeport di Papua (sudah dikuasai pemerintah Indonesia) problem minimnya anggaran dan defisit pendapatan akan bisa diatasi dengan mudah. Mengapa mudah ? sebab dengan laba per tahun sebesar 24,8 triliun (tahun 2009) akan menambah pemasukan kas Negara sehingga meningkatkan APBN yang kemudian direspon dengan bertambahnya anggaran – anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk program – program perlindungan sosial seperti BPJS dan beberapa program lain, bahkan dengan nominal tersebut dapat menutup defisit dari program – program pemerintah tak terkecuali BPJS.
Sebagai permisalan saja, apabila selama 5 tahun kedepan kepemilikan Freeport di tangan pemerintah Indonesia, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi Negara yang sejahtera seperti Denmark dan Swedia. Coba kita hitung berapa surplus pendapatan yang diperoleh dari tambang emas Freeport untuk pendapatan Negara selama 5 tahun kedepan, jika per tahun labanya 24,8 triliun maka selama 5 tahun kas Negara akan mendapat surplus 124 triliun, sungguh nominal yang fantastis bukan? padahal ini baru satu pertambangan saja belum yang lainnya. Surplus pendapatan Negara tersebut bahkan hamper separo dari rata – rata pendapatan nasional per tahun dan sekali lagi ini hanya dari satu pertambangan milik asing yang apabila dikelola pemerintah Indonesia. Dengan surplus pendapatan tersebut mungkin pemerintah Indonesia bisa menambah program – program perlindungan sosial lainnya dengan diberikan secara cuma cuma seperti halnya Denmark dan Swedia, sehingga indeks kebahagiaan akan meningkat dan Indonesia termasuk dalam kategori Negara yang sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H