Terdapat perbedaan kewenangan melakukan judicial review antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung melakukan pengujian atas Peraturan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengudi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga aktifitas mengadili hukum didalamnya memiliki aktifitas menguji suatu norma abstrak dengan konstitusi. Lantas, apa yang membedakan hakim dengan legislator ?Â
Adapun perbedaannya adalah hakim dalam kegiatannya memiliki kekuasaan memilih dan menentukan sama halnya dengan legislator, yang membedakan adalah terkait dengan akibat hukumnya, hakim hanya berwenang untuk mencabut berlaku dan mengikatnya suatu hukum (negative legislator). Akan tetapi dalam perkembangannya hakim saat ini mampu memformulasikan sesuatu yang baru atau memodifikasi norma yang sudah ada (positive legislator) dengan alasan menghapus tidak mampu menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibanding memformulasi atau memodifikasinya (judicial activism). Dengan demikian dapat dikategorikan bahwa hakim saat ini kurang lebih sama dengan legislator. Hal ini memiliki konsep yang sama dengan kriminalisasi dalam hukum pidana, yakni menormakan tindakan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana menjadi suatu perbuatan pidana.Â
Yang menjadi permasalahan apabila Undang-Undang yang di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk aspirasi politik yang akan berdampak pada kekuasaan politik. Seperti contoh pengujian terhadap Undang-Undang tentang Perkawinan akan berbeda implikasinya pada pengujian Undang-Undang tentang Presidential Treshold yang merupakan aspirasi politik. Sehingga dalam hal ini peradilan akan dituntut untuk segera memutus dengan maksud menjawab kepastian politik dibandingakan dengan kepastian hukum. Apabila hal ini terjadi maka akan menimbulkan potensi runtuhnya independensi Mahkamah Konstitusi. Salah satu indikatornya adalah adanya tekanan yang jauh lebih modern, dan moderat akan bertambah dengan adanya persepsi bahwa seorang hakim konstitusi merupakan penugasan atau representasi lembaga pengusul atau kelompok yang turut memberikan rekomendasi kepadanya. Model ini didasarkan pada Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
Â
Mahkamah Konstitusi dan "Ring" Elit PolitikÂ
Berdasarkan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka secara eksternal kemandirian memutus kerap mendapatkan pengaruh dan tekanan yang bersumber dari legislatif, partai politik, asosiasi advokat, media masa, dan berbagai bentuk penekan lainnya. Hal ini menjadi berbahaya apabila Mahkamah Konstitusi tidak dapat menempatkan diri dalam menguji peraturan atau menguji aspirasi politik yang kalah dalam pembentukan peraturan tersebut. Apabila diteruskan maka akan memberikan kecenderungan pengadilan dijadikan arena atau "Ring" untuk menjawab political question daripada menjawab constitutional atau legality question.Â
Sehingga untuk mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan sikap menahan diri dari mahkamah konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Doktrin kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada saat ini lazim dimaknai sebagai kemerdekaan untuk melakukan sesuatu yang dapat dilakukannya, namun dalam perkembangannya konsep "merdeka" tidak hanya merdeka untuk melakukan sesuatu, namun juga merdeka untuk tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian, kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak hanya dicerminkan melalui jaminan tertulis konstitusi dan Undang-Undang semata, namun juga harus disadari pada kemerdekaan untuk menuangkan pendapat dalam putusan yang menjadi mahkota kekuasaan kehakiman. Lalu perlunya menahan diri Mahkamah Konstitusi untuk tidak memutus dengan preferensi politik yang melekat menjadi standar etika yang perlu dipahami lebih lanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H