Mohon tunggu...
Rafi Pravidjayanto
Rafi Pravidjayanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Seorang mahasiswa yang hobby membaca dan menulis artikel ilmiah dan telah mempublikasikan beberapa artikel ilmiah di google schoolar, aktif menjadi ketua Forum Kepenulisan dan Penelitian Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Karena mahasiswa juga manusia, maka bermain game dan healing merupakan hobby sampingan selain membaca dan menulis...

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlunya Memperbaiki Penegakkan Tindak Pidana Penipuan Melalui Nalar Hukum Progresif

7 April 2024   10:18 Diperbarui: 7 April 2024   10:22 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbicara terkait penipuan, pasti sudah tidak asing di telinga terkait dengan perbuatan menipu. Menipu identik dengan perbuatan curang dimana apa yang dikatakan berbedan dengan apa yang ada dalam kenyataannya. 

Secara singkat, tulisan ini akan membahas terkait dengan praktik penegakkan hukum tindak pidana penipuan, mulai dari substansi hukum, praktik di masyarakat, serta beberapa catatan kritis yang perlu di pertimbangkan oleh pembuat Undang-Undang dan pemerhati hukum sebagai evaluasi guna memulihkan keadilan korban tindak pidana penipuan.

Tindak Pidana Penipuan di Indonesia 

            Sistem hukum pidana di Indonesia, memasukkan klasifikasi tindak pidana penipuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang sering kita sebut KUHP, pada Pasal 378 yang menegaskan bahwa :

"Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

            Adapun dalam bunyi pasal tersebut, terdapat unsur subjektif dan unsur objektif atau dalam bahasa Belanda (Bestandden Delict) adalah :

  • Unsur Subjektif : Barangsiapa
  • Unsur Objektif (Bestandden Delict) :
  • Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
  • Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun dengan rangkaian perkataan bohong,
  • Menggerakkan Orang Lain,
  • Untuk menyerahkan suatu barang kepadanya untuk memberi utang ataupun menghapus piutang.

            Dalam komentarnya, Andi Hamzah menyatakan bahwa yang dimaksud inti dari delik penipuan ini ada pada 'rangkaian kebohongan' yang dilakukan pelaku sedari awal bertransaksi. Contoh konkrit yang sering terjadi di masyarakat adalah menggunakan nama palsu dalam rekening bank dengan maksud buruk untuk mendapatkan uang, mengaku kenal baik dengan atasan, sedangkan orang lain memiliki kepentingan dengan atasan tersebut, meminta uang dengan maksud mempermudah jalanya proses seleksi, dan lain sebagainya. Selanjutnya, rangkaian kebohongan tersebut digunakan untuk menggerakkan orang lain untuk memberikan uang, utang atau untuk menghapuskan piutang. Hal ini sering terjadi pada Perusahaan fiktif yang berusaha meyakinkan pihak bank untuk mencairkan dana utang kepada perusahaan fiktif tersebut.(Hamzah, 2019)

            Lantas bagaimana ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana penipuan di Indonesia? merujuk pada KUHP Pasal 378 adalah pidana penjara maksimum 4 (empat) tahun tanpa alternatif denda. Sehingga apabila terdapat kasus penipuan yang terjadi, walaupun korban penipuan dilaporkan ke pihak yang berwenang, tetap ancaman pidana yang diberikan hanya pidana badan berupa perampasan hak kebebasan selama maksimal 4 (empat) tahun. (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Lembaran Negara Tahun 1946, n.d.)

            Namun, dalam dinamika politik hukum pidana di Indonesia. Dalam hal ini pembaharuan hukum pidana dalam cuitan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa, pembaharuan hukum pidana pada intinya adalah melakukan re-orientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang mendasari kebijakan sosial, kebijakan kriminal, hingga kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.(Amrani, 2019)

            Singkatnya, selama 77 (tujuh puluh tujuh tahun) proses revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akhirnya disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023 silam. Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru merubah rumusan ancaman pidana pada delik penipuan pada Pasal 492 tentang Perbuatan Curang selain ancaman penjara maksimal 4 (empat) tahun dengan alternatif denda sebanyak kategori V (lima), merujuk pada Pasal 79 KUHP baru, kategori V (lima) adalah senilai Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Hukum Pidana Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 2023, n.d.)

Nalar Hukum Progresif dalam Hukum Pidana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun