Usia Liana kini sudah menginjak tahun ke-5. Sekarang Liana semakin lincah bergerak, matanya yang hitam selalu memancarkan keceriaan, pipinya yang ranum menampakkan warna kemerah-merahan, dan tentu saja senyumnya semakin manis diikuti dengan gelak tawa yang tak kunjung habis.
"Liana, cepat kesini nak. Sudah waktunya makan siang", ujar Bu Laras, Wanita paruh baya yang membersarkan Liana sebatang kara sejak balita. Liana tak menggubris perkataan ibunya. Meskipun berkali-kali sang ibu memanggil, Liana masih sibuk dengan seluruh mainannya. Terpaksa sang Ibu lah yang mengalah, mendatangi Liana sembari menggendongnya dengan penuh rasa cinta dan kemudian menyuapi Liana kecil makan.
Namun tentu saja, waktu tak pernah memberi ampun kepada siapapun. Hari berlalu, bulan berubah, dan tahun berganti. Usia Liana kini sudah bertambah, seiring dengan usia ibunya yang semakin bertambah pula. Liana sekarang telah berusia 8, dan sang Ibu telah menginjak kepala enam.
"Liana, cepat turun ke bawah sini", terdengar suara sang Ibu memanggil dari bawah sana. Bergegas Liana turun dan menghampiri ibunya. "Ada apa, bu. Apakah kali ini aku tak boleh bermain di tingkat pertama itu?", tanya Liana sembari membenarkan rambutnya yang diikat tali elastis berwarna merah. "Tentu saja boleh, nak. Tapi Liana tak boleh berlari terlalu cepat lagi. Nanti bisa terjatuh", sahut sang Ibu lembut, sembari mengusap pipi putri tercintanya itu.
Dengan girangnya, Liana berlari kembali ke tempat bermainnya. Tempat itu sangat besar dan luas. Di tingkat pertama, ada banyak sekali mainan, mulai dari boneka, bandana, bahkan sepatu kaca. Di tingkat yang kedua, banyak sekali pakaian yang ada, mulai dari atasan, bawahan, hingga gaun dan kebaya. Dan ditingkat ketiga, banyak sekali makanan yang tersedia. Ada pizza, roti, hamburger, dan masih banyak makanan lainnya.
"Hmm sayangnya sekarang sedang bulan puasa, jadi belum boleh makan apa apa", gumam Liana yang sedari tadi memperhatikan makanan yang ada di tingkat ketiga itu. Akhirnya Liana pun kembali melanjutkan permainannya dengan boneka kuda kesayangannya. Liana begitu asyik bermain, satu jam berlalu, dua jam berlalu, hingga akhirnya Liana pun tertidur.
Langkah kaki sang ibu yang lalu lalang pun membangunkan Liana dari tidurnya. Seperti biasa, keajaiban selalu terjadi pada Liana. Satu waktu ia tertidur di tingkat yang pertama, dan diwaktu terbangun ia akan merasakan hangat tempat tidurnya. "Sudah jam berapa, bu? aku sudah lapar", ujar Liana sembari beranjak dari tempat tidur. "Sebentar lagi berbuka, nak. Tahanlah barang sebentar lagi", jawab sang Ibu.
Liana pu mengiyakan apa yang dikatakan ibunya. Ia bergegas mandi dan kemudian duduk bersama sang Ibu untuk bersiap menyantap makanan mereka. "Wah hari ini makanannya enak sekali ya, bu. Ada ayam goreng, roti bakar, dan pizza" Ujar Liana. "Iya, sayang. Alhamdulillah. Allah masih melancarkan rezeki kita hari ini", jawab sang Ibu. Azan maghribpun berkumandang, menandakan waktu berbuka telah datang. Ibu dan anak itupun menyantap makanan mereka dengan bahagia.
Dingin malampun mulai berasa lagi. Malam ini bu Laras tak bisa tidur dengan nyenyak. Tubuhnya menggigil, matanya sayu, dan bibirnya memucat. Namun ia tak tega membangunkan Liana yang sedang tertidur pulas. Diambilnya air dan obat yang ada di atas meja. Hanya satu macam pil biasa, yang dibungkus dalam sebuah plastik bening tak berwarna. Bu Laras pun meminum pil itu, dan kemudian melanjutkan tidurnya.
Keesokan harinya, suara orang orang membangunkan sahur sudah terdengar. Namun Liana masih pulas dalam tidurnya. Hingga akhirnya sang mentari menusuk mukanya dari luar jendela. Liana pun terbangun. Betapa terkejutnya Liana mendapati sang ibu masih terdiam di tempat tidurnya. Liana pun mendekati sang ibu sembari berkata "Bu, hari sudah siang. Ibu tidak membangunkan Liana sahur". Namun sang ibu masih diam tak bergeming dari tempatnya. "Buuu...Kenapa tak menjawab Liana. Liana sudah bangun bu, ayo ibu juga bangunlah", Liana semakin takut karena sang Ibu masih tak menjawab. Liana segera berlari keluar, "Tolonggg...Tolonggg.......", teriak Liana. Lalu datanglah orang-orang menghampirinya, "Ibu ku tak terbangung dari tadi, tolong aku", ujar Liana.Â
Namun betapa terkejutnya para orang yang datang, ternyata sang ibunda tercinta telah tiada. "Liana, cepat kesini nak. Ibu mu sudah menemui penciptanya. Ibu orang yang baik, ia tak mau mengganggu waktu tidurmu", ujar Bu tri, tetangga mereka yang saat itu juga datang menolong Liana. Tangis Liana pu pecah, dipeluknya erat-erat jasad sang ibu yang sudah tak bernyawa itu. "Bu, jangan tinggalkan aku. Aku takut, bu", Ujar Liana sambil menangis tersedu.
Hari itu menjadi hari paling kelam bagi Liana. Meskipun sinar mentari masih terik menusuk, bunga masih bermekaran dengan indah, namun hati Liana hari itu telah patah. Orang yang paling dicintanya telah meninggalkan ia selama lamanya. Tak ada lagi yang membangunkan sahur, dan tak ada lagi yang menemaninya berbuka, sungguh Liana yang malang.
Tapi tentu saja, kisah Liana hars terus berlanjut. Kini Liana hidup sebatang kara di istananya, masih lengkap dengan ketiga tingkatan disana. Liana masih tetap harus berpuasa, menahan tangis, sedih, lapar, dan dahaganya. Namun tentu saja yang paling ditakutkannya, merayakan hari raya tanpa sang ibunda. Tapi takdir tak bisa ia lawan, Liana anak perempuan yang kuat. Ia harus menjalani semua  ketentuan yang telah diberikan padanya. Satu hal yang selalu ia percaya, bahwa selalu ada cinta sang ibunda, diantara setiap tiang tiang istananya.
Ohiya, istana Liana bukanlah sebuah istana dengan banyak menara, berdinding kaca, berlantai marmer, dan berhias permata. Jelas saja bukan. Istana Liana hanyalah sebuah gubuk sederhana, dengan banyak tiang penyangga yang harus menahan gubuk yang telah renta. Istana Liana hanya memiliki satu pintu saja, ditambah dengan tanah kuning sebagai lantainya.Â
Dan tentu saja, tingkatan-tingkatan itu jangan dipikir seperti istana bertingkat di film animasi yang ada. Istana itu hanya berada di sudut kota, lengkap dengan tulisan "Buanglah Sampah Pada Tempatnya". Tentu saja, Liana hanya anak biasa, yang hidup di gubuk sederhana di tengah tempat pembuangan sampah kota. Lengkap dengan banyaknya tingkatan sampah yang mengelilinginya.
Tapi tentu saja, Allah selalu maha pengasih dan penyayang pada umatnya. Ramadan memang mengajarkan Liana sebuah arti kehilangan, dan Ramadan pulalah yang mengajarkan Liana arti dari perjuangan dan ketulusan. Ya, ketulusan akan cinta sang ibu, yang selalu dapat Liana rasakan diantara tiang tiang istananya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H