Mohon tunggu...
Rafinita Aditia
Rafinita Aditia Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi program Komunikasi dan Penyiaran Islam

Penapak Jenjang s1 yang masih belajar.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menelusuri Jejak Aksara "Ka-ga-nga," Naskah Bengkulu Kuno di Museum Negeri Bengkulu

30 April 2019   09:06 Diperbarui: 1 Mei 2019   23:12 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Waktu berlalu, rupa berubah, namun sejarah tak pernah musnah. Hal itulah yang terjadi dengan aksara Ka-Ga-Nga yang sampai saat ini masih dipelajari dan dilestarikan, agar sejarah Bengkulu tetap bertahan."

 Jam menunjukkan pukul 9 pagi, seiring dengan mentari yang mulai tinggi. Tanggal di kalender menunjukkan tanggal 16 April 2019. Suasana di Museun Negeri Bengkulu saat itu masih terlihat sepi, meskipun jalanan di depan nya sangat ramai oleh lalu lalang kendaraan. Di halaman depan museum terlihat ada beberapa kendaraan yang terparkir rapi. Belum ada pengunjung yang terlihat beraktifitas di sekitar museum saat itu.

 Museum Negeri Bengkulu ini terletak di Jalan Pembangunan Nomor 8, Padang Harapan, Kota Bengkulu. Museum yang kerap disebut Museum Bengkulu ini mulai didirikan pada tahun 1978 dan mulai difungsikan pada 3 mei 1980. Sebelumnya, Museum Bengkulu bertempat di Fort Marlborough. Baru pada 3 Januari 1983, semua koleksi yang berada di benteng itu dibawa ke gedung baru. Museum Negeri Bengkulu ini buka setiap hari, kecuali hari libur nasional. Buka dari pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Museum ini terdiri dari dua lantai, yaitu lantai dasar dan lantai utama.

Ketika memasuki museum, papan profil Provinsi Bengkulu berbaris rapi di sisi kiri pengunjung. Pengunjung yang datang bisa melihat dan mempelajari tentang provinsi terkecil di Pulau Sumatera ini, yang terdiri atas satu kota dan sembilan kabupaten, yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, Kaur, Kepahiang, Lebong, Mukomuko, Rejang Lebong, dan Seluma. Dalam papan profil itu, terdapat pula informasi tentang delapan suku asli yang ada di Provinsi Bengkulu, yaitu Suku Mukomuko, Pekal, Rejang, Lembak, Serawai, Basemah, Kaur, dan Enggano.

Di lantai satu museum, terdapat banyak sekali benda benda hasil kebudayaan, seperti pakaian adat, perhiasan adat, tongkat, miniatur rumah adat, dan masih banyak lagi. Dan salah satu benda budaya di lantai satu ini yang paling menarik yaitu naskah Ka-Ga-Nga. "Naskah ini sudah lama ada, bahkan ketika saya pertama bekerja di museum ini pada tahun 1986, sudah tersusun rapi", ujar Suyani, Pamong Budaya di Musem Negeri Bengkulu.

Naskah Ka-Ga-Nga terletak di sudut kanan lantai pertama museum. Tersusun rapi di dalam etelase kaca yang memperlihatkan keunikan dari naskah kaganga itu sendiri. Naskah Kaganga adalah naskah kuno Bengkulu yang ditulis dengan aksara Ka-Ga-Nga. 

Naskah ini merupakan turunan aksara Palawa yang berkembang sejak abad ke-12 dan ke-13 M. Media tulisan kaganga ini bisa di berbagai benda, seperti di bambu, bilah bambu atau yang biasa di sebut gelumpai dalam bahasa Bengkulu, rotan, kulit kayu, tanduk, batu, dan juga kertas. Penulisan naskah ini pada berbagai benda dilakukan dengan menggunakan batu runcing atau paku.

 Isi naskah kaganga sangat beragam, mulai dari hukum adat, pengobatan, do'a dan mantra, kisah atau kejadian, tembo atau silsilah, rejung dan perambak bujang gadis, serta cerita rakyat. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Rejang, Serawai, Melayu, Lembak, dan Pasmah. Aksara yang digunakan dalam naskah kaganga berbentuk garis dan siku yang terdiri dari 28 grafem. 

Tiap grafem memiliki tanda dan perubahan bunyi grafem tersendiri. Suyani menambahkan, "Naskah Kaganga itu seperti mengaji baca Al-Qur'an, kalau sudah mengerti tanda tanda nya, pasti mudah untuk membacanya".

 Salah satu isi naskah kaganga yang ada di Musem Negeri Bengkulu yaitu Naskah Pengobatan Tradisional yang tertulis di media bambu. Naskah ini berisi tentang cara mengobati penyakit sunup atau demam, penyakit ini dapat disembuhkan dengan menggunakan kulit kayu, daun pedas, daun kunyit kering, kelambi pinang serta cara pengobatan tangas. Naskah ini ditemukan di Sibak Ipuh, Kabupaten Bengkulu Utara pada tahun 1997.

 "Lancar kaji kan karena diulang. Begitupula dengan belajar naskah kaganga ini. Kalau sering diulang dan dipelajari terus menerus, pasti akan lancar membacanya", tutur Suyani. Suyani juga menambahkan, "Makanya mulai dari SD sekarang sudah harus belajar aksara Ka-Ga-Nga, supaya nanti bisa mewariskan ke generasi selanjutnya, jadi aksara ini nanti bisa bertahan terus dan tidak punah".

Sudah sepatutnya kita sebagai generasi muda, mau memperhatikan dan mempelajari budaya asli kita. Jangan sampai aksara ka-ga-nga yang telah menjadi alat berkomunikasi sejak zaman dulu, malah hilang termakan waktu. Kita harus terus menjaga budaya kita. Jika bukan kita, siapa lagi. Jika bukan sekarang, kapan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun