Mohon tunggu...
Rafinda Nordany
Rafinda Nordany Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Syarif HIdayatullah Jakarta

Seek discomfort!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kudeta Militer di Myanmar: Terulangnya Kembali Sejarah?

19 April 2022   00:48 Diperbarui: 19 April 2022   00:55 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 1 Februari 2021, Myanmar kembali mengalami kudeta militer. Kudeta tersebut terjadi akibat kekalahan partai Union Solidarity and Development (USD) dalam pemilihan umum melawan partai National League for Democracy (NLD) yang diadakan pada 8 November 2020. 

Pihak militer Myanmar menuduh bahwa terdapat kecurangan dalam pemilihan umum tersebut. Dengan demikian, mereka melancarkan kudeta militer di Myanmar. 

Peristiwa ini membuat marah masyarakat Myanmar, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan demo besar-besaran. Kudeta tersebut dapat dikatakan sebagai pengulangan kembali sejarah Myanmar, lantas mengapa?

Myanmar ditaklukan oleh pasukan Inggris pada tahun 1855. Dahulu terdapat dinasti yang bernama Dinasti Alaungpaya. Dinasti tersebut merupakan dinasti yang berkuasa pada saat itu. Artinya, kekuasaan dinasti tersebut telah diakhiri oleh Inggris dan dimulailah masa penjajahan Inggris atas Myanmar. 

Pada abad ke-20, gerakan nasionalisme yang merupakan gerakan kalangan pemuda telah berkembang pesat. Dalam upaya mewujudkan kemerdekaan Myanmar, terdapat seorang tokoh yang dapat dikatakan sangat berjasa, yaitu Aung San.

Pada masa perang dunia kedua, Aung San bekerjasama dengan Jepang untuk membantu mencapai kemerdekaan Myanmar.  Lalu, dibentuklah Burma independence Army oleh Aung San dengan tujuan mendukung kampanye militer Jepang di Asia Pasifik. Akan tetapi, di ujung perang dunia kedua, Aung San memutuskan untuk berbalik dan membela sekutu. 

Ia melakukan hal tersebut karena ia merasa bahwa Jepang telah berbohong dan tidak akan membantu Myanmar sampai mencapai kemerdekaannya. Selain itu, kekalahan juga terus dialami Myanmar. Pada tahun 1944, gerakan nasionalis Anti-Fascist People’s Freedom League telah dibentuk oleh Aung San. Gerakan nasionalis inilah yang akan mendominasi Myanmar setelah kemerdekaannya.

Demi mewujudkan kemerdekaan Myanmar, Aung San berusaha untuk membicarakan nasib Myanmar dengan Inggris. Pada tahun 1947, Perdana Menteri Inggris yang bernama Clement Atlee, menyetujui perjanjian yang berisi diwujudkannya kemerdekaan Myanmar dalam satu tahun kemudian. 

Pada tanggal 19 Juli 1947, sayangnya Aung San dan rekan-rekannya dibunuh oleh musuh politiknya di Rangoon. Artinya, Aung San, pahlawan Myanmar yang sangat berjasa, tidak dapat melihat negaranya mencapai kemerdekaan yang telah menjadi cita-cita sejak lama.

Dapat dilihat bahwa Myanmar merupakan negara yang semenjak kemerdekaannya sudah didominasi oleh pihak militer. Myanmar mencapai kemerdekaan melalui pemberian Inggris pada tanggal 4 Januari 1948. 

Setelah kemerdekaannya, Myanmar dilanda beberapa gerakan pemberontakan yang mengancam keutuhan negara. Peristiwa ini merupakan awal mula dari keterlibatan militer dalam pemerintahan Myanmar. 

Terlihat bahwa keterlibatan militer di Myanmar berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan hingga sekarang. Salah satu contoh pemberontakannya yaitu pemberontakan kelompok komunis dan kelompok etnis Karen. 

Pada saat itu terjadi kekacauan yang sulit diselesaikan oleh pemerintahannya. Hal tersebut membuat Perdana Menteri U Nu meminta Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar yang bernama Jenderal Ne Win untuk mengambil alih pemerintahan sebagai upaya dalam menstabilkan situasi di Myanmar.

Saat situasi di Myanmar mulai stabil, justru Myanmar terkendala suatu masalah baru. Terjadi perpecahan pada politik internal Myanmar yang dikuasai oleh Anti-Fascist People’s Freedom League yang membuat kubu militer Myanmar terancam. Peristiwa tersebut dimanfaatkan oleh Jenderal Ne Win. Ia memutuskan untuk melancarkan kudeta militer dengan tujuan mengambil alih pemerintahan Myanmar pada tahun 1962.  

Kudeta tersebut membawa Jenderal Ne Win kepada kursi kekuasaan di Myanmar. Artinya ia dinobatkan secara resmi menjadi pemimpin Myanmar yang baru. Ia menjadikan Myanmar sebagai negara sosialis dengan ditandai oleh Burma Socialist Programme Party yang menjadi satu-satunya partai yang eksis di Myanmar. Selain itu, nasionalisme juga dilakukan terhadap ekonomi negara dan Buddha menjadi agama resmi di negara tersebut.

Pada tahun 1988, kebijakan ekonomi Jenderal Ne Win telah gagal dan terjadilah krisis ekonomi di Myanmar. Hal ini membuat Jenderal Ne Win dikecam oleh masyarakat dan dilakukan demo besar-besaran untuk menyingkirkannya dari kepemimpinan Myanmar.

Pada bulan September 1988, sekelompok petinggi militer juga memutuskan untuk melakukan kudeta militer terhadap Jenderal Ne Win. Pada tanggal 18 September 1988, State Law and Order Restoration Council dibentuk. Pemerintahan itu merupakan pemerintahan Junta militer yang berisi beberapa petinggi militer Myanmar. 

Perdana Menteri yang dipilih oleh pemerintahan tersebut ialah Jenderal Saw Maung. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan sentralistik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setiap fungsi tersebut dijalankan oleh militer Myanmar.

Pada bulan Mei 1998, Junta militer mengadakan pemilu melawan partai National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh anak dari Aung San, yaitu Aung San Suu Kyi. Partai tersebut merupakan partai oposisi pemerintah Junta militer. Masyarakat pun suka dengan tujuan dibentuknya partai tersebut, sehingga NLD dapat dikatakan sebagai partai yang populer. Namun, kemenangan NLD dalam pemilu itu tidak diakui oleh Junta militer. 

Mereka memutuskan untuk menahan Aung San Suu Kyi dan rekan-rekan NLD lainnya. Pemilihan umum dapat dikatakan sangat identik dengan pemilu yang diadakan pada tanggal 8 November 2020 antara partai USDP dengan NLD. Tampaknya Junta militer tidak pernah terima dengan kekalahan. Mereka selalu menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang oposisi setiap kubunya dikalahkan.

Terlihat bahwa Myanmar kesulitan untuk keluar dari kejadian-kejadian masa lalu. Tepat setelah masa kemerdekaan sampai sekarang, Myanmar masih belum mampu keluar dari masalah-masalah yang tampaknya sudah terjadi selama bertahun-tahun. Kudeta militer di Myanmar terus terjadi dan sepertinya mereka tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal ini juga berarti bahwa akan sulit bagi Myanmar untuk mewujudkan demokratisasi. ASEAN pun tidak dapat membantu Myanmar dalam kasus ini, karena mereka menganut prinsip non-intervensi, sehingga sulit bagi mereka untuk ikut serta dalam membantu Myanmar dalam menyelesaikan masalah yang sangat bersejarah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun