Korupsi merupakan salah satu kasus yang tidak asing di telinga kita sebagai masyarakat Indonesia. Korupsi hampir menjadi salah satu kasus yang lumrah terjadi menimpa pejabat dan juga pemangku kepentingan yang ada di dalam pemerintahan negara Republik Indonesia.Â
Berita mengenai korupsi laksana bus yang datang dan pergi di terminal. Mulai dari Jaksa, Hakim, Polisi, Gubernur, Bupati/Walikota, dan bahkan kepala desa pun ikutan trend korupsi ini. Perlu kita sesali bahwa hampir seluruh elemen pemerintahan pernah mengalami apa yang namanya memakan uang haram yang bukan miliknya dan milik orang banyak serta memperkaya diri sendiri tanpa peduli kewajiban pejabat sebagai pelayan rakyat.
Tak ada satupun yang mengerti bagaimana bisa budaya seperti bisa tumbuh dan berkembang di bumi pertiwi yang katanya menjunjung tinggi etika budaya sopan santun ala bangsa ketimuran.Â
Namun apa boleh buat, layaknya rumput yang terus diguyur air dan sinar matahari yang cukup, bukannya meredup malah makin subur dengan berbagai macam gaya dan juga modus operandi yang berbeda-beda dalam melakukan praktik korupsi. Ada yang melakukan praktik jual beli jabatan hingga menggelapkan uang pembangunan jalan. Memang terlihat keji, namun itulah yang terjadi di negara yang kita cintai ini.
Sejak jaman sebelum kemerdekaan, bibit-bibit korupsi sudah muncul di tanah air. Mulai dari masa-masa kolonialisme Belanda, dimana warga pribumi sebenarnya sudah disediakan upah yang cukup oleh pemerintah kolonial untuk membangun jalan raya pos yang membentang dari Anyer hingga Panarukan.Â
Tetapi pada praktiknya, banyak bupati atau kepala daerah yang kalap akan banyaknya uang untuk persiapan upah yang diberikan kepada seluruh pekerja jalan raya pos. bukannya dipergunakan untuk membayar keringat para pekerja, namun uang tersebut justru dipakai untuk memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan kesukaran dan juga kerja keras seluruh anak bangsa dalam membangun jalan raya,Â
Sehingga anggapan yang muncul hingga saat ini adalah pemerintah kolonial membangun jalan raya pos dengan bantuan masyarakat pribumi tanpa memberi upah, padahal dalam kenyataannya diberi upah namun oleh kepala daerah atau bupati justru malah dipangkas untuk tujuan memperkaya dirinya sendiri.
Saat ini, tentunya permainan atau praktik korupsi kian dibungkus rapi untuk memperdaya para aparat penegak konstitusi agar apa yang diperbuat tidak terendus. Tetapi, sebaik-baik tupai melompat, nantinya bakal terperosok jua, semakin lama berbuat jahat dalam praktik korupsi, lama kelamaan pasti akan tertangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga. Semakin bangsa kita tertutup dengan kasus-kasus yang semakin marak, maka identitas bangsa kita juga semakin tidak berdaya.Â
Lalu apa kata dunia jika kita terus melanggengkan praktik korupsi, bukannya kita dijuluki sebagai macan Asia? Lalu macan Asia yang bagaimana? Macan yang terus tidur tanpa mengaum untuk menunjukkan eksistensinya? Tentunya kita semua tidak mau bangsa kita menjadi bangsa yang seperti itu. Kita harus bersama-sama berkomitmen harus memutus trend negatif yang terjadi di negara ini. Tidak ada kata yang terlambat untuk berubah dan mereformasi ke arah yang lebih baik. Tidak ada tempat sejengkal pun bagi praktik korupsi di Indonesia, sungguh korupsi telah mencederai marwah bangsa.
Reformasi dan pengamalan nilai-nilai pancasila secara mendalam harus menjadi poin utama bangsa kita untuk dapat beranjak dari praktik korupsi yang tidak berkesudahan.Â
Ketika kita mengamalkan pancasila, pastinya kita juga tidak akan menginginkan perbuatan yang melawan hukum agama dan juga pidana, sebab dalam pancasila sila pertama jelas bahwa Ketuhanan yang maha esa menyebutkan secara tersirat bahwa manusia harus tunduk dengan nilai-nilai ketuhanan dan juga keagamaan salah satunya adalah kejujuran.Â