Setiap orang lahir dan besar di lingkungan yang berbeda termasuk saya. Lahir dan berkembang di padatnya Kota Jakarta. Â Dari kecil, saya suka sekali bermain dengan siapapun di lingkungan sekitar, tidak heran saya memiliki teman yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Rata-rata dari mereka adalah keluarga yang memiliki pendapatan menengah ke bawah.Â
Begitu juga dengan pendidikan, saya selalu bersekolah di kota yang saya tinggali sekarang. Saya mengenal dan melihat orang berkembang di sini, orang dewasa menjadi tua, remaja menjadi dewasa, anak-anak menjadi remaja, bayi menjadi anak-anak, dan generasi-generasi baru pun lahir.Â
Seiring berkembangnya zaman pula, teknologi baru lahir seperti komputer, smartphone, ataupun internet. Istilah baru pun lahir yang tak kalah menarik dan menjadi pembicaraan banyak orang seperti Internet Of Things, Artificial intelligence, dan big data. Teknologi seperti ini tentu masih sangat baru di telinga banyak orang.
 Dunia berubah dengan cepat, namun tidak dengan lingkungan saya. Dari saya kecil, tidak banyak berubah dari kampung tempat tinggal saya sekarang, Kecuali bangunan-bangunan yang diperbaharui. Orang-orang tetap sama, memiliki pendapatan yang sama, dan kesejahteraan yang sama. Membuat saya bertanya-tanya "apakah benar dunia sedang berubah sangat cepat atau orang-orang di lingkungan saya yang tanpa disadari sudah ditinggalkan dunia dan cepat atau lambat akan dimusnahkan dunia?".Â
Beruntung lah saya lahir di keluarga yang memiliki pendapatan tetap dan mampu memberi hak pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Hal ini membuat saya terpapar istilah teknologi, terlebih saya memasuki jurusan teknologi sains data yang memang dibuat untuk menjawab tantangan global. Tetapi dari hati terdalam, saya  memikirkan orang-orang di lingkungan saya yang tidak seberuntung saya.Â
Hidup di tengah ketidakpastian pendidikan dan memikirkan untuk melakukan penghematan demi makan keesokan harinya. Mereka terjebak dalam lingkaran yang saya sebut sendiri sebagai lingkaran Aristoteles.Â
Lingkaran Aristoteles saya namakan demikiran, berasal dari kutipan Aristoteles yaitu "Kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang. Maka keunggulan bukanlah tindakan, tapi kebiasaan".Â
Kutipan tersebut diambil dari sebuah buku berjudul ikigai yang saya baca di bulan ini. Terdengar positif bagi banyak orang, tetapi saya memaknai kutipan ini dengan makna yang berbeda. Â Kutipan ini saya maknai menggambarkan bagaimana pembentukan karakter seseorang dari kebiasaanya yang ia lakukan sehari-hari.Â
Orang yang tumbuh di lingkungan yang tidak mendukung untuk berkembang akan cenderung mendapatkan kebiasaan dari orang sekitarnya secara berulang-ulang. Hal ini membuat anak-anak yang lahir di lingkungan tersebut, tidak memiliki pandangan yang lebih luas dari anak-anak yang lahir dan berkembang di lingkungan yang mendukung.Â
Mungkin ada beberapa orang yang secara khusus dapat memiliki pandangan yang luas dan mampu keluar dari  lingkungan yang buruk, tetapi itu hanya sebagian kecil saja dibandingkan dengan anak-anak yang pada akhirnya menurunkan kebiasaan buruk dari lingkungan sekitarnya.
Berbeda dengan mereka yang sejak awal lahir di lingkungan yang baik. Mereka memiliki gambaran dan pandangan yang luas untuk meraih masa depan yang diinginkan. Ketika pandangan itu tertanam dalam diri mereka, keluarga dan lingkungan mereka juga akan mendukung mereka untuk berkembang .Â
Mereka akan meraih Perguruan tinggi seperti UI, UGM, dan ITB. Sekarang, kita alihkan pandangan dan berbalik ke anak-anak yang lahir di lingkungan yang tak mendukung demikian.Â
Jangankan untuk memiliki pandangan ke perguruan tinggi, mereka pun tidak mengetahui sebenarnya apa itu UI, UGM, dan ITB. kita lakukan eksperimen sosial dengan pergi ke desa-desa dan tanyakan apakah mereka mengetahui demikian, maka para pembaca sendiri lah yang menilai harus menyikapi bagaimana.Â
Perbedaan itu memang tidak dapat dihindarkan termasuk dalam hal kesejahteraan, tetapi pandangan untuk bermimpi dan melihat masa depan lah yang tidak boleh dibatasi hanya karena lingkungan.Â
Saya berpikir apabila kita tidak dapat membantu mereka dalam hal kesejahteraan, kita harus membantu mereka dalam membuka pandangan. Keniscayaan terbesar bukan terletak di dalam kekayaan, namun di dalam rasa penasaran, ingin tahu, dan keinginan untuk menjelajahi seisi dunia beserta semesta.
Kesenjangan sekolah juga harus dihapuskan. Selama ini lingkungan pendidikan juga mempengaruhi pandangan para siswa. Karena itulah, dibutuhkan standarisasi fasilitas, kurikulum, dan tenaga pengajar yang lebih baik. Selama ini, fasilitas sekolah di Indonesia sangat berbeda standar sehingga menimbulkan sentiment sekolah favorit dan tidak favorit.
Di sekolah A memiliki fasilitas seperti lab, ruang kelas, lapangan yang memadai. Di sisi lain, Sekolah B harus menjadikan lab sebagai ruang kelas ataupun lapangan menjadi tempat parkir, apabila ada mobil di lapangan, maka murid tidak bisa berolahraga dengan baik.Â
Padahal di sekolah B memiliki calon atlet yang dapat membawa emas dan menghantarkan Indonesia menjadi juara satu di olimpiade internasional. Kurikulum dan tenaga pengajar juga demikian, memiliki ketimpangan yang luar biasa.Â
Proporsi jumlah guru dengan mata pelajaran yang diajar sangatlah tidak berimbang, seringkali mata pelajaran yang diajarkan hanya memiliki satu atau dua guru di satu sekolah tersebut, sedangkan kelas yang diajar sangatlah banyak. Hal ini tentu membuat guru menjadi kewalahan yang menyebabkan beban mengajar bertambah dan pengajaran tidak dilakukan secara efektif.Â
Kurikulum sekarang mungkin memberikan tumpangan yang sama untuk setiap sekolah, namun tidak menyadari garis start sekolah sudah sangat jauh berbeda. Kita harus mengatur ulang garis start tersebut dan memberikan tumpangan yang fleksibel untuk sekolah agar dapat menyesuaikan kebutuhan mereka. Jangan biarkan mimpi banyak siswa menjadi mati dan terlantar karena keadaan. Jangan biarkan kita menyesali hari ini di masa depan dengan kalimat "kalau dulu saya kaya gini, pasti saya bakal begini".
 Indonesia sedang menghadapi bonus demografi. Disaat inilah kita memiliki generasi potensial yang akan memimpin negeri ini. Masih belum terlambat untuk mengambil momentum ini, jangan biarkan bonus demografi yang kita harapkan akan memberi kemajuan dan harapan malah menjadi keputusasaan karena banyaknya generasi muda tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi zaman.Â
Seperti yang disebutkan di awal, dunia berubah dengan cepat, pekerjaan bisa saja digantikan dengan kecerdasan buatan. Jangan menjadi acuh dengan teknologi, apalagi sampai menutup pandangan. Kuda sebelum adanya mobil tidak pernah terpikirkan bahwa ia akan digantikan.Â
Begitu juga manusia, jangan sampai kita katakan "pekerjaan A, pekerjaan B, Pekerjaan C tidak akan digantikan", bisa jadi bulan depan semua pekerjaan baik ahli atau terlatih sudah digantikan. Semua tulisan ini merupakan opini berdasarkan kacamata sempit anak pinggiran ibukota yang tidak sengaja hidup di lingkungan demikian. Saya pun bertanya "bagaimana jadinya ya apabila saya malah hidup di lingkungan yang berbeda?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H