Mereka akan meraih Perguruan tinggi seperti UI, UGM, dan ITB. Sekarang, kita alihkan pandangan dan berbalik ke anak-anak yang lahir di lingkungan yang tak mendukung demikian.Â
Jangankan untuk memiliki pandangan ke perguruan tinggi, mereka pun tidak mengetahui sebenarnya apa itu UI, UGM, dan ITB. kita lakukan eksperimen sosial dengan pergi ke desa-desa dan tanyakan apakah mereka mengetahui demikian, maka para pembaca sendiri lah yang menilai harus menyikapi bagaimana.Â
Perbedaan itu memang tidak dapat dihindarkan termasuk dalam hal kesejahteraan, tetapi pandangan untuk bermimpi dan melihat masa depan lah yang tidak boleh dibatasi hanya karena lingkungan.Â
Saya berpikir apabila kita tidak dapat membantu mereka dalam hal kesejahteraan, kita harus membantu mereka dalam membuka pandangan. Keniscayaan terbesar bukan terletak di dalam kekayaan, namun di dalam rasa penasaran, ingin tahu, dan keinginan untuk menjelajahi seisi dunia beserta semesta.
Kesenjangan sekolah juga harus dihapuskan. Selama ini lingkungan pendidikan juga mempengaruhi pandangan para siswa. Karena itulah, dibutuhkan standarisasi fasilitas, kurikulum, dan tenaga pengajar yang lebih baik. Selama ini, fasilitas sekolah di Indonesia sangat berbeda standar sehingga menimbulkan sentiment sekolah favorit dan tidak favorit.
Di sekolah A memiliki fasilitas seperti lab, ruang kelas, lapangan yang memadai. Di sisi lain, Sekolah B harus menjadikan lab sebagai ruang kelas ataupun lapangan menjadi tempat parkir, apabila ada mobil di lapangan, maka murid tidak bisa berolahraga dengan baik.Â
Padahal di sekolah B memiliki calon atlet yang dapat membawa emas dan menghantarkan Indonesia menjadi juara satu di olimpiade internasional. Kurikulum dan tenaga pengajar juga demikian, memiliki ketimpangan yang luar biasa.Â
Proporsi jumlah guru dengan mata pelajaran yang diajar sangatlah tidak berimbang, seringkali mata pelajaran yang diajarkan hanya memiliki satu atau dua guru di satu sekolah tersebut, sedangkan kelas yang diajar sangatlah banyak. Hal ini tentu membuat guru menjadi kewalahan yang menyebabkan beban mengajar bertambah dan pengajaran tidak dilakukan secara efektif.Â
Kurikulum sekarang mungkin memberikan tumpangan yang sama untuk setiap sekolah, namun tidak menyadari garis start sekolah sudah sangat jauh berbeda. Kita harus mengatur ulang garis start tersebut dan memberikan tumpangan yang fleksibel untuk sekolah agar dapat menyesuaikan kebutuhan mereka. Jangan biarkan mimpi banyak siswa menjadi mati dan terlantar karena keadaan. Jangan biarkan kita menyesali hari ini di masa depan dengan kalimat "kalau dulu saya kaya gini, pasti saya bakal begini".
 Indonesia sedang menghadapi bonus demografi. Disaat inilah kita memiliki generasi potensial yang akan memimpin negeri ini. Masih belum terlambat untuk mengambil momentum ini, jangan biarkan bonus demografi yang kita harapkan akan memberi kemajuan dan harapan malah menjadi keputusasaan karena banyaknya generasi muda tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi zaman.Â
Seperti yang disebutkan di awal, dunia berubah dengan cepat, pekerjaan bisa saja digantikan dengan kecerdasan buatan. Jangan menjadi acuh dengan teknologi, apalagi sampai menutup pandangan. Kuda sebelum adanya mobil tidak pernah terpikirkan bahwa ia akan digantikan.Â