Â
Menginjakkan kaki di sebuah ciptaan Tuhan yang megah, tidak semua orang memimpikannya. Saya dan beberapa rekan lainnya menjadi sekelompok manusia yang diciptakan Tuhan dengan keinginan menyentuh keindahan ciptaan-Nya yang 'tersembunyi'.
Kala itu, Jum'at,22 Maret 2015, dua minggu setelah salah satu event tingkat nasional yang usai kami gelar dan beberapa hari sebelum cetak tabloid yang dilanjutkan dengan Musyawar Besar. Bulan Maret, bulan yang cukup mengurus tenaga dan pikiran saat itu. Maka jauh-jauh hari saya tetapkan hati untuk bergabung melepas penat sebentar ke Gunung Marapi, agar Maret menjadi bulan yang tak terlupakan. (EYAAAA!!!!)
Sebelum keberangkatan, kami telah mempersiapkan logistik sesempurna mungkin. Meminjam dan membeli berbagai perlengkapan yang kami butuhkan selama berada di Marapi. Jujur saja. Semuanya kami cari di hari H keberangkatan meski kami telah memiliki list nya seminggu sebelumnya. Namun karena kesibukan yang tak menentu, semua baru bisa kami lakukan di hari H. Saya ingat, Kak Icha dan Bg Ruli ada ujian di hari itu. Juga Bg Fikri yang harus mengikuti beberapa kunjungan ke beberapa Lembaga Pers  Mahasiswa di Kota Padang. Bg Fikri baru selesai saat Magrib yang membuat beberapa orang yang sudah lama menunggu di rumah Bg Arief galinggaman (hihihi).
Kami berkumpul di rumah Bg Arief di daerah Pasir Putih (kalau ndak salah lo sih haha). Saya, Amoy, Bg Ruli, dan Bg Fikri datang terakhir ke sana karena harus menunggu Bg Fikri selesai kunjungan. Sesampainya di sana tour guide kami kala itu, Bg Riski (Eh, lupo namo abg tu sia hehehe) membongkar dan kemudian merapikan kembali isi tas carrier kami untuk memastikan semua logiistik cukup.
Kami berangkat dari Tabiang sekitar 23.00 menuju Koto Baru Padang Panjang dan sampai setelah menempuh satu setengah jam perjalanan. Para leleki menggunakan sepeda motor dan perempuan dengan mobil tavel. Kemudian Bg Riski mendaftarkan nama kami semua ke 'penjaga Gunung Marapi'. Ada Bg Arief, Bg Pran, Bg Irfan, Bg Fikri,  Bg Ruli, Kak Desi, Kak  Meli, Kak Icha, Kak Tan, Amoy, gue, ada dua orang cowokdan dua orang cewek lagi yang baru gue kenal saat itu dan alhamdulillah gue lupa semua namanya.
Hawa dingin sudah mulai tercium di kaki Gunung Marapi. Jaket dan kaos kaki yang gue gunakan tidak ampuh untuk menangkal dingin merasuki tuvuh gue. Dengan penuh syukur dan bahagia, gue menutup mata dan menarik nafas dalam. "Ini adalah hawa kebebasan. Ini KEBEBASAN. Nyata. HAHAHA," ucap gue dalam hati seraya tak bisa menyembunyikan senyuman licik.
Kemudian kami memulai perjalanan. Tidak lupa kami berdoa kepada Sang Maha Kuasa. "Jalan jan pisah-pisah samo kawan. kalau beko ado yang mancaliak atau mandanga yang aneh diam se surang jan disabuik-sabuik. Bisuak kalau lah turun baru buliah carito apo nan nampak," begitu Bg Riski berpesan sebelum kami naik.
"Lah. Kan lai ngecek ka urang tuo sadonyo kan?" tanya Bg Riski kemudian.
"lai bang," jawab yang lain sepersekian detik kemudian.
Sedangkan gue hanya diam.Â
"lah. kalau lai minta izin aman mah," lanjut Bg Riski.
What the hell!
Setelah Bg Riski berkata seperti itu, ada gemuruh yang menghantam hati gue. Bagaimana tidak. Bg Riski bilang "Kalau lai minta izin aman mah,"
Lah, gue yang ga minta izin ini apa kabar?
Kemudian gue berdoa ekstra kepada Yang Punya Gunung Marapi.
Dan perjalanan pun dimulai dengan perasaan "Oke. Apapun yang terjadi di sana, ini pilihan gue. Lanjutkan,, atau mati di tempat." gue mencoba meyakinkan diri sendiri.
Kami berjalan dalam gelap di bawah cahaya langit yang dipancarkan bulan dan bintang, dan tentu dengan cahaya senter yang kami bawa. kami berjalan perlahan, menolong satu sama lain, juga saling mengingatkan. Â Malam itu saya sedikit tidak percaya dengan medan yang kami lalui. Saya pernah membayangkan mendaki gunung seperti yang di film-film. Butuh tali atau semacamnya untuk naik. Butuh alat bantu tertentu. Ternyata hal itu belum dibutuhkan. Karena mendannya tidak terlalu berat dan jalannya sudah pasa.
Sebelumnya saya sering mendengar senior bilang "kalau marapi aman mah. jalannyo lah pasa, medannyo ndak barek bana lo do,"
Saat itu hati saya berkata: "Dek lah baliak tu yo bisa ngecek mode itu. Sadonyo tu nampak mudah kalau alah siap malakuannyo, kami nan alum nyak ma maraso aman," hehehe maap yaa :D
Â
Â
Setelah beberapa jam berjalan (mungkin satu jam lebih dengan beberapa kilo), kami memutuskan untuk mendirikan camp dan melanjutkan perjalanan saat sinar matahari telah cukup untuk membakar kulit kami.
Sialnya, kami membawa tenda A dan harus mencari kayu pancang untuk bisa mendirikan tenda. Para lelaki pun menebang pohon di malam itu agar tenda kami dapat berdiri. Sementara kami para cewek, menunggu sambil duduk dan sempat memejamkan mata beberapa menit. Satu pelajaran yang benar-benar harus direkam di kepala: Jangan Ulangi Membawa Tenda A ke Gunung. It will troublesome!
Setelah para lelaki itu berjuang dan bercucuran keringat untuk mendirikan tenda, tibalah saatnya kami untuk beristirahat.
Udara kebebasan terlalu kejam malam itu yang memaksa saya harus memakai celana dua lapis. Tak sampai di situ. Kami pun harus berdempet-dempetan tidur di dalam tenda. Ada sembilan orang cewek di satu tenda tersebut. Belum lagi tas carrier yang besarnya melebihi badan gue itu harus juga ikut tidur bersama kami dalam satu tenda. Dan istirahat pun dimulai.
***
Setelah tidur beberapa jam, matahari pun malu-malu menampakkan diri. Sudah ada yang bangun sebelum gue dan kemudian memasak nasi.
Â
Kak icha dan kak (aku lupa namanya)
Â
Bg Ruli, Gue, dan aku lupa namanya 'berjemur' di bawah cahaya matahari
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Begitulah penampakan tenda kami.
Â
Â
Jam telah menunjukkan pukul sepuluh. Perut kami sudah cukup kenyang dengan makan seadanya dan siap melanjutkan perjalanan. Wait, FYI aja sih. Nasi kami badatuih karna terbiasa masak pakai listrik, sesekali pakai kompor begitulah jadinya. Tapi apa boleh buat. Makan atau mati di tempat. hahaah
Setelah berkemas, kaki pun melaporkan kesipannya untuk meraja lela di hutan belantara (ah lebay).
Ada satu tradisi yang sudah diketahui banyak orang di sana. Sesama pendaki saling menyapa satu sama lain dengan sebutan Pak untuk laki-laki dan Buk untuk perempuan. Awalnya saya merasa geli dipanggil Buk oleh orang yang lebih tua dari saya. begitupun harus memanggil  yang lebih muda dari saya. Tapi akhirnya ssaya terbiasa dan malah menjadi hobi untuk menyapa sesama pendaki.
"Soalnyo awak ndak tau sia yang wak sapo do," begitu jawaban yang saya dapatkan waktu itu.Â
Di sana kita (mungkin) harus beramah tamah ke sesama pendaki. "Semangat Pak! Semangat Buk! Aman Pak?" itulah kalimat yang sering saya ucapkan dan juga saya dapatkan di sana.
FYI aja sih. Di sepanjang perjalanan saya selalu bertemu dengan  orang-orang. Bahkan bisa berkali-kali bertemu dengan orang yang sama. Bahkan gue ga  merasa sedang di gunung karna banyak sekali bertemu orang.
Â
Bg Irfan di perjalanan
Bg Ruli di Perjalanan
Kami juga banyak bertemu dengan anak-anak Unand. Yang pakai tas putih itu kayaknya anak Unand juga. Tapi TITI (Tah Iyo Tah Indak) hahaha.
Rombongan kami terbagi-bagi. Karena ada yang terlalu bersemangat dan tinggallah yang beberapa orang di belakang. Gue, Bg Ruli, Bg Fikri, Bg Pran, Bg Arief menjadi rombongan itu. Kami cukup jauh di depan.Â
Selain cahaya matahari, rintik hujan pun turut menemani kisah kami ke Marapi. Â Jalan pun mulai mempermainkan kami. Kaki yang bisa memijak lebih kuat pun dibutuhkan. Uluran tangan untuk menanjak tak bisa dielakkan. Â
Sekitar Pukul setengah tiga sore, kami berhenti cukup lama. Kira-kira dua jam sebelum menuju cadas. Kami berhenti di dekat camp pendaki lain yang saat itu sudah mau turun. Mereka remaja SMA asal Solok. Ketika kami mengetahui mereka akan segera pergi dari camp  tersebut kami memutuskan untuk mendirikan camp di sana setelah mereka pergi.Â
Bg Arief bilang kalau kita bersikeras untuk melanjutkan pendakian, maka akan sulit menemukan tempat untuk bisa mendirikan camp. Karena Marapi teramat ramai waktu itu. Belum lagi tenda kami tidak mudah untuk mendirikannya.
Hujan, dingin, lelah, menngantuk. Â Dan tentunya lapar.
Sebelum Magrib, Â tenda sudah berhasil kami dirikan. Kami kembali makan seadanya. Hujan semakin lebat. Kami tidur ditemani hujan dan dingin yang teramat. Beberapa dari kami bahkan ada yang tidur sudah di luar tenda tanpa mattres saking sempitnya juga ada yang hanya bisa duduk sambil memejamkan mata. Saat itu saya menyadari betapa indahnya kasur dan slimut yang ada di rumah.
Di tenda cowok malam itu
Cowok tidur di dua tenda. Tiga abg2 yang sudah tua tidur di tenda lain.
Dan sembilan cewek tidur di satu tenda. Haduuhh teganya. Hahaahaha
Oh iya, sebelum tidur Abg2 itu berpesan: "Bisuak jago janm tigo yo. Satangah ampek awak ka puncak lai,"
"Oke Bg!"
Damn!
Kami bangun pukul empat. Prepare  untuk ke puncak juga cukup memakan waktu. Dingin turut menggoda untuk kembali tidur saja. Tapi untungnya rayuan bunga Edelweis lebih kuat daripada rayuan tenda.
Di perjalanan menuju puncak, satu per satu dari kami mulai berjuang untuk melawan kata menyerah. Saya tetap berada di rombongan paling depan. Bukan apa-apa. Karena kalau saya di belakang saya akan merasa perjalanan masih jauh sebab melihat teman lain sudah hampir sampai.Â
Saat berjalan, hawa dingin perlahan menyiingkir. Dan sebentar saja berhenti, dingin pun mulai mendekat.
Sekitar satu jam perjalanan kami sampai di cadas.Â
"Cadas tu nan kayak di film 5cm mah, yang inyo harus marangkak naiak ka ateh nyo. Batu se sadonyo," Bg Ruli pernah memberi tahu sebelumnya.
Menakjubkan! Dimana-mana ada orang saling bersahutan satu sama lain. Dimana-mana ada tenda. Cahaya senter di tengah kegelapan begitu indah di cadas saat itu. Ramai. Cadas Marapi sudah seperti pasar. Dan saya lupa sedang berada di gunung.Â
Â
Kaki terus menginjak tanpa tahu dengan jelas apa yang ia injak saat itu. Yang saya tahu, kaki harus tetap melangkah menuju 'bunga abadi'.Â
Melihat ke belakang, Ya Tuhan! Pemandangan Cahaya lampu Kota Bukittinggi menghilangkan penat dan kesal sisa semalam.
Â
Kak Desi
Kak Meli, gue, Bg Arief, Bg Pran, Kak Desi
Â
Â
Â
Â
Â
Sekitar pukul enam pagi, kami sampai di dekat Tugu Abel
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Kami tidak kebagian sun rise karena katanya, sun rise bisa dilihat dari Puncak Merpati. Ah tak apalah.
Â
Â
Hmm yang lain ga kebagian foto karena belum sampai.
on the way
Â
Mungkin percakapannya waktu itu "Kapan kita ke Singgalang" haha
Â
Dan tak lupa
Â
Di lapangan bola menuju kawah
Â
Â
Â
Karena pake timer hasilnya begini. Ini setelah semua pasukan lengkap
Â
Â
Melanjutkan perjalanan. Next Puncak Merpati
Wait, ini tampang mati gaya karena takjub liat pemandangannya beberapa langkah sebelum Puncak Merpati.
Permintaan maaf dari Marapi untuk mereka :*
Ini si Amoy Alay :D
Â
Ini Kak Icha dan Kak Tan yang hampir give up
Amoy di Puncak Merpati
Gue lebih takut turun daripada naik. Jadi harus merangkak menuju Taman Edelweis. hihihi
Ya Tuhan. Aku Takjub
Fotonya kayak editan :D
Touch down!!
Kakak dan abang ini romantis banget. Duh MAU! haha
Hari itu kalo ga salah anniv mereka. hihi
Kak Icha
Â
Jangan bawakan aku Edelweis, tapi bawalah aku ke tempat edelweis berada :))
Cukup. Mari kita pulang
Â
Â
OTW ke camp
Singgah dulu di Tugu Abel
Setiba di Camp. Siap-siap turun
Gue dan Amoy nomor tiga sampai di bawah setelah Bg Pran dan Bg Irfan
Â
Alhamdulillah
 Aku lupa mau  nulis apa karna milih-milih foto. Ada yang pake saya ada yang pake gue. Isi ga sesuai dengan judul. HAHAHA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H