Mohon tunggu...
rafika surya bono
rafika surya bono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang Madridista yang mencintai sastra dan peduli negara, katanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Punya, tapi Mungkin Tidak

15 November 2014   21:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setamat SMA ia kembali terombang-ambing di dalam kapal tak bertuan. Hanya mengikuti ke mana angin membawanya. Sudah dijelaskan tadi bahwa ia cerdas. Bagaimana tidak, ia lulus test masuk PTN tanpa harus mengikuti bimbel seperti anak orang kaya lakukan. Atau seperti orang-orang pesimis dengan kemampuan diri sendiri lainnya. Yaitu mereka menghabiskan masa liburan setelah UN SMA dengan buku-buku bimbel yang tebal dan ujian-ujian prediksi setiap minggunya. Tidak. Dia tidak membutuhkan hal itu. Tanpa bimbel pun ia diterima di PTN meski kemudian ia melepas PTN tersebut karena berbagai alasan.

Satu tahun ia habiskan dengan terombang-ambing tapi tentu tidak akan bisa menenggelamkannya. Karin itu kuat. Dunia terlalu pecundang untuk mempecundanginya. Lihatlah, dia masih bersiri kokoh hingga detik ini. Begitu banyak kenakalan takdir yang berhasil ia jinakkan.

Satu tahun kemudian, ia kembali mengikuti test masuk PTN. Satu tahun  tidak membuka buku dan menjalani hidup sekeras batu, ia melenggang masuk ke sebuah PTN di kota ini. Saat teman seangkatan yang (mungkin) mengikuti bimbel satu tahun untuk bisa lulus di PTN, dengan santainya ia lulus di PTN di saat temannya terpaksa menggunakan uang orang tua di swasta. Mungkin karena sudah berhektar-hektar ujian Tuhan yang ia selesaikan, jadi apalah arti lembaran soal ujian PTN itu.

Tapi Tuhan tidak puas sampai di situ. Kenakalan-kenakalan takdir tidak berhenti mengikutinya.
Sekuat-kuatnya Karin, tetap saja dia Karin, gadis berusia 19 tahun.  Yang jika diibaratkan obat, ia seharusnya sudah overdosis dengan ujian-ujian Tuhan. Setegar apapun hatinya ia pasti membutuhkan keluarga tempat kembali tuk menghempaskan hidupnya. Dan itulah yang ia butuhkan saat ini. Ia ingin keberadaannya di dunia dirasakan oleh keluarganya.

****

Entah mana yang lebih baik. Benar-benar sebatangkara atau memiliki keluarga tapi serasa tak punya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun