Mohon tunggu...
rafika surya bono
rafika surya bono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang Madridista yang mencintai sastra dan peduli negara, katanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Punya, tapi Mungkin Tidak

15 November 2014   21:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karin, gadis berusia 19 tahun, berbadan kurus, sawo matang, dan memiliki tinggi sekitar 155 cm. Rambutnya bergelombang sebahu dan memiliki bibir tipis berwarna merah hati. Tertawa adalah hobinya. Keras kepala adalah wataknya. Cuek menjadi ciri khasnya. Itulah sedikit gambaran tentang Karin.

Ia terbiasa tertawa terbahak-bahak di dekat teman-temannya. Setidaknya dengan tertawa seperti itu, tidak akan ada yang tahu tentang luka yang ia derita. Meski kadang ia kesal kepada dirinya sendiri yang bisa tertawa dan membuat orang tertawa di luar. Akan tetapi hanya menangis yang ia bisa saat sendiri.

Bagaimana tidak.  Ibunya 'pulang' sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Saat ia butuh perhatian dan kasih sayang dari ibu. Saat ia  seharusnya bisa merengek manja meminta dibelikan boneka dan pergi ke kebun binatang saat liburan tiba. Tapi Tuhan menyuruh ibunya pulang begitu cepat. Ia tidak diberi kesempatan untuk mengadu malu kepada ibu saat ia baru pertama kali datang bulan. Ia tidak diberi Izin meminta bantuan kepada ibu untuk memasang pembalut seperti gadis remaja lainnya. Ia dipaksa meneruskan hidup dengan cara dia se diri. Ah, kadang Tuhan memiliki selera humor terlalu tinggi. Hingga kadang saking lucunya, ia membuat beberapa orang tertawa dengan definisi yang berbeda.

Karin masih memiliki ayah sampai detik ini. Tuhan masih berbaik hati kepadanya. Ia juga diberikan beberapa orang kakak dan abang sebab ia adalah si bungsu di keluarganya. Namun apa daya. Ayahnya menikah lagi sehingga memiliki tanggung jawab baru di kehidupan barunya. Kakak dan abang-abangnya pergi merantau meski masih satu pulau.

Tuhan juga memberikannya otak yang cerdas. Buktinya, ia juara umum di bangku SMP dan bisa ke luar negeri sebagai reward dari pemerintah kabupaten saat itu. Kerasnya hidup tidak bisa mengalahkan semangatnya untuk menjadi pemenang di bangku SMP. Mungkin di kala itu ia hanya memikirkan masa depan saat keluarga masih setia membimbingnya. Saat keluarga masih sadar bahwa ia masih gadis belia yang tidak bisa menjalani hidup sendiri.

Jangan rengekkan pengalaman pertama kalian hidup di kosan dan jauh dari orang tua. Jika kalian tidak pernah merasakan hidup seorang diri sejak tamat SMP. Setidaknya, kalian masih bisa menelpon ibu saat rindu atau meminta ibu untuk datang saat kalian tidak bisa pulang saat teramat rindu. Tapi tidak dengan Karin.

Memasuki bangku SMA, sepertinya Tuhan mulai mengujinya lebih jauh. Empat semester lebih tinggal di rumah sebatangkara. Saat kalian menghabiskan malam dengan gelak-tawa bersama keluarga, ia terpaku di depan TV seorang diri. Saat kalian bisa lari ke kamar ayah dan ibu saat ketakutan ketika petir dan hujan di tengah hujan, ia hanya bisa bersembunyi di bawah selimut seorang diri. Meski masih diizinkan Tuhan tuk memeluk. Memeluk dirinya sendiri.

Saat remaja SMA lainnya kesal diomeli ibu tuk bangun pagi agar tidak terlambat ke sekolah, ia tidak bisa kesal kepada semangat yang telah membangunkannya. Ia tidak bisa merengek kepada ayah untuk diurut kepalanya saat kepala terasa mau pecah. Tidak sekalipun menerima telpon untuk bertanya kenapa pulang terlambat seperti anak SMA pada umumnya. Tidak. Tidak ada.

Tapi di sanalah letak specialnya Karin. Tidak akan ada yang percaya dengan kisah hidupnya jika orang melihat ia tertawa. Tidak akan ada yang menyangka bagaimana ia bisa bertahan di saat dunia mempecundanginya begitu jauh. Sebab, hanya orang-orang terdekat yang ia izinkan menembus sorot matanya yang terkadang sendu. Hanya dengan orang-orang tertentu ia bisa menjatuhkan air matanya.

Jangan pernah mengeluh soal hidup jika kalian tidak pernah melihat caranya menjawab persoalan hidup. Begitu cuek. Terserah dengan apa yang akan terjadi detik berikutnya, yang pasti ia berhasil melalui detik sebelumnya.

Hanya saja masa SMA dihabiskannya dengan sedikit nista. Mungkin karena kebebasan yang ia  miliki. Tidak ada yang peduli dengan apa yang ia lakukan dan apa yang terjadi dengan hidupnya. Yang penting ia masih terlihat hidup, begitu (mungkin) keluarga menganggapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun