Mohon tunggu...
A. Rafika
A. Rafika Mohon Tunggu... Penulis - a lifelong learner

kita bertemu lagi, akhirnya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Senjata Nuklir: Instrumen Efektif Perdamaian dan Keamanan?

1 Desember 2021   21:19 Diperbarui: 3 Desember 2021   01:01 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : wallpapertag.com

Senjata nuklir masih santer dengan klaim sebagai senjata pencipta perdamaian sekaligus peningkat keamanan. 

Lantas apa basis dari klaim tersebut?

Klaim pertama didasarkan pada keyakinan akan senjata nuklir yang tidak hanya berhasil menghentikan Perang Dunia II, tetapi juga berhasil menjaga perdamaian dunia hingga saat ini, pasca penggunaannya pada tahun 1945.

Klaim kedua diperkuat dengan asumsi bahwa senjata nuklir dapat meminimalisir keinginan negara dalam melakukan perang. Mengingat negara yang sama-sama memiliki senjata nuklir cenderung akan menghindari pecahnya perang, sebab pengembangan senjata nuklir hanya ditujukan untuk memberi 'gertakan' ke pihak lawan, dengan tidak benar-benar berani melakukan serangan.

Kondisi ini yang kemudian dikenal dengan balance of terror atau keseimbangan teror. Sebuah konsep yang memberi gambaran proses penciptaan keseimbangan baru, salah satunya melalui pengembangan senjata nuklir.

Klaim Pertama: Senjata Nuklir sebagai Instrumen Perdamaian 

Pemikiran bahwa senjata nuklir berhasil menghentikan Perang Dunia II berakar dari argumen Amerika Serikat yang beranggapan bahwa Jepang tidak akan dengan mudahnya menyerah, jika sebelumnya senjata nuklir tidak digunakan untuk meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Sehingga AS percaya bahwa keterpukauan atas kekuatan dahsyat bom telah secara tidak langsung memaksa Jepang menyerah.

Padahal, di Jepang sendiri hal ini dipandang berbeda. Faktor yang tak luput dari penyerahan diri Jepang adalah adanya deklarasi perang yang ditujukan Uni Soviet atas Jepang, tepat dua hari setelah bom dijatuhkan. Dimana deklarasi perang ini mengakhiri harapan Jepang terhadap Soviet, untuk kemudian dapat menegosiasikan adanya penyerahan diri yang lebih menguntungkan.

Selain itu, efek dari bom atom ini tidak benar-benar seperti yang apa yang diklaim AS sebelumnya. Sesuai pernyataan Jeffery Kingston, Direktur Studi Asia di Temple University, Tokyo seperti di kutip dalam Kompas.com.

"Jika Anda melihatnya dari perspektif militer Jepang, tak ada perbedaan besar apakah orang mati dari bom biasa atau bom atom, itu hanya dipandang sebagai kehancuran dua pusat kota," 

Alih-alih jadi alasan mendasar yang membuat Jepang menyerah, lebih dari itu bom Hiroshima dan Nagasaki ternyata membawa pesan tersembunyi untuk Soviet: sebuah pertunjukan senjata baru luar biasa dari negara adidaya terkuat, Amerika Serikat.

Pemikiran lain yang tidak kalah kontroversial adalah argumentasi bahwa senjata nuklir telah membawa perdamaian sekaligus mencegah adanya perang-perang besar pasca Perang Dunia II.

Hal ini berkaitan dengan logika universal senjata nuklir, yakni logic of deterrence. Sebuah strategi untuk melawan musuh, sekaligus menghindari perang. Bagaimana kemudian suatu negara dapat memanfaatkan senjata nuklir sebagai strategi mencegah negara lain melakukan berbagai intervensi dan ancaman, melalui pengembangan nuklir di negaranya. 

Adanya logika mengenai deterrence, menjadikan negara menahan diri untuk melakukan serangan terlebih dahulu, dengan merujuk pada kekhawatiran akan balasan lawan yang lebih besar dari apa yang sudah-sudah, atau kekhawatiran lain akan serangan yang mampu jadi bumerang kehancuran bersama. 

Sehingga melalui logika deterrence, senjata nuklir dianggap dapat mengurangi secara signifikan dorongan negara-negara yang memiliki ataupun mengembangkan senjata nuklir untuk memecah perang. Dimana di sisi lain, ketiadaan perang jadi definisi yang sempit dari perdamaian dunia.

Tidak pernah lagi digunakannya senjata nuklir secara terbuka pasca dijatuhkan pada 1945, tidak serta merta jadi pertanda optimis bahwa dorongan penggunaan senjata nuklir ini hilang dari peradaban. Apalagi pengembangannya yang besar-besaran dan uji cobanya yang gila-gilaan, apa mungkin negara yang memiliki senjata nuklir tidak tertarik menggunakannya tanpa embel-embel 'penggunaan nuklir dengan tujuan damai'? 

Berdasarkan studi Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), tepatnya di awal tahun 2021, tercatat ada sekitar 13.080 senjata nuklir yang tersebar di dunia. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari kepemilikan senjata nuklir oleh 9 negara, lima diantaranya merupakan negara anggota tetap DK PBB sekaligus negara yang memiliki senjata nuklir secara sah (nuclear weapon states), sedangkan empat negara lainnya yakni India, Israel, Pakistan dan Korea Utara sebagai pemegang senjata nuklir tidak sah (states with nuclear weapons) (SIPRI, 2021).

Sehingga bisa  dipastikan dengan jumlah senjata yang tidak sedikit ini, dalam kurun waktu 76 tahun sejak 1945 pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, dunia tetap berada di bawah bayang-bayang ancaman senjata nuklir yang kapan saja bisa pecah menjadi perang nuklir.

Ditambah lagi, beberapa tahun belakangan sikap saling ancam perihal nuklir datang dari Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump, dimana hal ini menggambarkan dengan nyata bahwa penggunaan senjata nuklir akan tetap jadi pilihan yang terbuka untuk digunakan oleh negara yang memiliki dan mengembangkannya (CNN, 2018).

Klaim Kedua: Senjata Nuklir sebagai Instrumen Keamanan

Pemikiran kedua yang mengasumsikan senjata nuklir dapat meminimalisir kemungkinan perang agaknya terdengar lebih memiliki peluang untuk terjadi, sebab hal ini dibenarkan lewat konsep balance of terror ataupun konsep deterrence yang mengupayakan keseimbangan dalam keamanan dunia. Sehingga pada praktiknya, nuklir masih dianggap bagian penting dari strategi pertahanan bagi negara-negara yang memiliki senjata nuklir.

Namun sebenarnya, pemikiran deterrence yang dijadikan pijakan dalam mengembangkan nuklir tak ubah hanyalah retorika belaka. Sebagai alat pembenaran akan kepemilikan, pengembangan, dan juga penyebaran senjata nuklir oleh suatu negara— dengan dalih menjaga keamanan nasional.

Saya tidak mengatakan hal ini salah, sebab negara selalu punya pembenaran atas apapun yang ia lakukan demi kepentingan nasionalnya. Terlepas dari dunia luar yang memandang kejam hal tersebut.

Jadi, benarkah senjata nuklir mampu meningkatkan keamanan?

Jika ditelisik lebih jauh, fakta berkata sebaliknya. Alih-alih meningkatkan keamanan, keberadaan senjata nuklir malah menimbulkan rasa ketidakamanan yang jauh lebih besar bagi kebanyakan umat manusia. Dimana penggunaan senjata nuklir, terlepas dari tujuan damai ataupun tidak, akan tetap berdampak buruk tidak hanya kepada negara-negara yang terlibat perang, tapi juga seluruh aspek kehidupan negara-negara di seluruh dunia.

Ancaman nuklir begitu nyata dan menyasar aspek multidimensial, tidak hanya merusak yang tampak, lebih dari itu radiasi nuklir dapat menyasar hal-hal yang tersembunyi di dalam tubuh korbannya, mengganggu kesehatan fisik hingga mental, merusak DNA, mengganggu tumbuh kembang, memicu kanker hingga menyebabkan kematian. Nuklir juga menjadi ancaman bagi keselamatan manusia secara berkelanjutan, tidak hanya pada generasi yang terpapar langsung, tapi juga generasi-generasi yang akan datang.

Bukti nyata dari dampak senjata nuklir dapat terlihat jelas dari hasil ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki, yang menyebabkan kerusakan parah dari segi bangunan dan fasilitas, memberi trauma mendalam bagi korban yang selamat, juga menghadirkan penyakit kronis berkepanjangan.

Selain memberi dampak jangka panjang kepada umat manusia maupun lingkungan alam, ironisnya senjata ini jadi satu-satunya senjata pemusnah massal yang paling tidak manusiawi, tetapi memiliki status legal sampai kemudian diadopsinya TPNW (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapon) sebagai Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir pada 2017 (IIS UGM, 2021).

Dengan pertimbangan berbagai kerugian di atas, hadirnya senjata nuklir tentu menimbulkan dilema bagi umat manusia. 

Di satu sisi, ada pandangan kuat bahwa keberadaan dan eksistensi senjata nuklir harus tetap dipertahankan. Sebab manusia tidak punya pilihan lain selain 'hidup dengan senjata nuklir'. Lagi pula, bukankah manusia selalu hidup dikelilingi berbagai senjata? Dan bukankah manusia secara lahiriah memperjuangkan keamanan, khususnya keamanan nasionalnya lewat kepemilikan dan pemanfaatan senjata konvensional atau non-nuklir?

Namun di sisi lain, sebenarnya tidak akan pernah ada keamanan yang berlangsung lama, kecuali kita 'hidup tanpa senjata nuklir'. Sehingga tidak ada pilihan lain selain mewujudkan perlucutan senjata nuklir secara universal dan permanen dari muka bumi ini.

Sebab semakin lama senjata nuklir itu ada, maka semakin besar pula kemungkinan penggunaannya, dan semakin besar lagi kemungkinan terjadinya perang nuklir yang tidak di inginkan.

Jadi bagaimana mungkin senjata nuklir mampu meningkatkan keamanan, jika pada akhirnya perang nuklir tetap menjadi bayang-bayang ancaman.

Sehingga muncul skenario baru, bahwa keamanan sangat mungkin akan terjadi di dunia, jika tanpa adanya senjata semacam itu.

Maka kita perlu meninjau kembali, mengapa keamanan di era nuklir hanya mungkin terjadi tanpa adanya senjata semacam itu. Kita perlu memahami lagi, perbedaan mendasar antara senjata konvensional dan senjata nuklir.

Dimana dengan senjata konvensional, negara dapat menggunakannya sebagai basis perlindungan yang aman bagi negaranya. Tetapi hal ini tidak berlaku dengan senjata nuklir. Negara tidak dapat menggunakan senjata nuklir untuk melindungi diri sekaligus mencapai keamanan. Negara hanya dapat berharap, bahwa kepemilikian senjata nuklir dapat memberikan rasa takut bagi lawan yang sama-sama memiliki senjata nuklir, untuk kemudian tidak menggunakan senjatanya tersebut.

Sebagai penutup, saya ingin menyatakan sikap terhadap dua klaim yang telah dijabarkan di atas. Bahwa sebenarnya alasan mengapa senjata nuklir beserta kepemilikan dan pengembangannya masih terus eksis hingga saat ini adalah karena kehadiran dua klaim tersebut. Klaim yang sebenarnya sarat akan asumsi dan berpotensi menjadi mitos belaka untuk terus menjadi pembenaran akan keberadaan senjata nuklir. 

Saya percaya setiap orang punya pandangan, terlepas dari benar atau salahnya, yang kita bisa lakukan adalah melihatnya dari berbagai macam kacamata. Dan kali ini, saya memilih untuk melihat senjata nuklir sebagai sebuah ancaman dan bukan peluang untuk menghadirkan instrumen perdamaian ataupun keamanan.

Referensi

CNN. (2018, January 3). Trump tweets about nuclear war with North Korea - CNNPolitics. Retrieved November 30, 2021, from https://edition.cnn.com/2018/01/02/politics/donald-trump-north-korea-nuclear/index.html

IIS UGM. (2021, August 9). Commentaries : Belajar dari Tragedi Kemanusiaan Hiroshima dan Nagasaki – Institute of International Studies UGM. Retrieved November 30, 2021, from https://iis.fisipol.ugm.ac.id/2021/08/09/commentaries-belajar-dari-tragedi-kemanusiaan-hiroshima-dan-nagasaki/

Kompas.com. (2015, August 5). Bom Atom Hiroshima: Antara Kejahatan Perang dan Pesan untuk Soviet Halaman all - Kompas.com. Retrieved November 30, 2021, from https://internasional.kompas.com/read/2015/08/05/20292071/Bom.Atom.Hiroshima.Antara.Kejahatan.Perang.dan.Pesan.untuk.Soviet?page=all

SIPRI. (2021, June 14). Global nuclear arsenals grow as states continue to modernize–New SIPRI Yearbook out now | SIPRI. Retrieved November 30, 2021, from https://www.sipri.org/media/press-release/2021/global-nuclear-arsenals-grow-states-continue-modernize-new-sipri-yearbook-out-now

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun