Adanya pemisahan tasawuf dan syariat membuat sejumlah ulama berupaya untuk memadukan kembali keduanya. Dimulai oleh Imam Malik bin Anas yang berpendapat bahwa,
من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق (Siapa yang mengamalkan tasawuf tanpa dilandasi pemahaman fikih, maka sungguh ia telah menyimpang.)
Berdasarkan pendapat tersebut, Imam Malik bin Anas melahirkan dua langkah dalam pemaduan tersebut. Pertama, menekankan pentingnya mempelajari fikih sebelum mempelajari tasawuf agar tidak menjadi zindik (kelompok penyimpangan agama). Kedua, keyakinan bahwa pengetahuan yang sejati (al-Hikmah) adalah nur yang ditiupkan Allah ke dalam kalbu. Maksudnya adalah al-Hikmah adalah menaati Allah, mengikuti bimbingan Allah, memahami agama Allah, dan memiliki pengetahuan tentang agama Allah. Perpaduan tasawuf dengan syariat kemudian diteruskan oleh beberapa ulama sampai puncaknya oleh Abu Hamid al-Ghazali. Beliau memadukan keduanya dengan konsep tasawuf suni, yaitu pengamalan tasawuf berdasarkan bimbingan Al-Qur'an dan sunah.
Berdasarkan hal tersebut, pemaduan tasawuf dan syariat (moralitas dan hukum) merupakan prinsip yang penting bagi muslim berdasarkan Al-Qur'an dan sunah. Dengan pemaduan ini akan melahirkan pribadi yang menyeimbangkan kebutuhan kebendaan dan kebutuhan spiritual, kehidupan individu, dan kehidupan sosial, serta kehidupan yang berorientasi pada duniawi dan ukhrawi.
3. PERPADUAN FIKIH DENGAN TASAWUF
Fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam, termasuk tata cara beribadah, seperti salat, zakat, puasa, haji, dll. Tasawuf, di sisi lain adalah dimensi mistis dan spiritual dalam Islam yang berfokus pada pengembangan hubungan batin dengan Allah. Perpaduan fikih dan tasawuf meliputi beberapa hal sebagai berikut:
- Dalam konteks salat, fikih berkaitan dengan aturan dan tata cara pelaksanaan salat, seperti tata cara berdiri, rukuk, sujud, dan lainnya. Fikih memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana melaksanakan salat dengan benar sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan tasawuf membawa dimensi rohani ke dalam salat. Ini mencakup aspek seperti khusyuk (konsentrasi penuh dalam ibadah), tafakkur (kontemplasi), dan hubungan pribadi dengan Allah. Artinya seorang muslim yang melaksanakan salat belum sempurna rasanya apabila belum menghadirkan Allah SWT di dalam salatnya.
- Dalam konteks zakat, fikih menyediakan kerangka kerja hukum dan aturan yang jelas terkait dengan zakat, seperti persentase yang harus dikeluarkan, jenis-jenis harta yang dikenai zakat, serta penerima dan cara distribusi zakat. Sedangkan tasawuf dalam konteks zakat dapat membantu seseorang mengembangkan sikap batin yang tepat terhadap harta dan pemberian. Tasawuf juga menekankan pentingnya kesadaran akan keberkahan dalam memberi dan pentingnya merasa bersyukur atas karunia yang diberikan Allah.
- Dalam konteks puasa, fikih memberikan panduan yang sangat jelas tentang tata cara berpuasa, seperti waktu berbuka puasa dan imsak, apa yang membatalkan puasa, dan bagaimana melaksanakan puasa wajib. Sedangkan tasawuf membantu individu untuk memahami dimensi spiritual puasa. Ini mencakup pengembangan sifat-sifat seperti sabar, tawakal (menyerahkan urusan kepada Allah SWT), syukur, dan meningkatkan hubungan spiritual dengan Allah.
- Dalam konteks haji, fikih memberikan panduan yang sangat rinci tentang tata cara pelaksanaan ibadah haji, seperti urutan ritual, waktu pelaksanaan, dan tata cara berpakaian. Sedangkan tasawuf membantu individu memahami dimensi spiritual dari haji. Ini mencakup pengembangan sifat-sifat seperti tawakal (mengandalkan diri pada Allah), rendah hati, kesabaran, dan penghayatan mendalam terhadap makna-makna ibadah haji.
______________________________________
Terima kasih kepada =
Allah SWT
Dosen pembimbing Akhlak Tasawuf UIN Jakarta: Dr. Hamidullah Mahmud, Lc. M.A.
Seluruh pembaca artikel ini.