Mohon tunggu...
DTMC Articles
DTMC Articles Mohon Tunggu... Mahasiswa - Our Vision, We Will Rise Up

Tempat kreator Decagon Twins Media menulis opini, artikel, dll. Pernah menulis opini di Kompasiana dengan akun Rafif2020. Sebelumnya artikel ini diberi nama Rafif Hamdillah Official. Tulisan sebelumnya yang pernah dibuat : https://www.kompasiana.com/rafif20206799/621ac9103179497f34707635/ada-apa-sebenarnya-di-media-sosial-kita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Perempuan yang Kuat dan Hebat

6 November 2023   13:09 Diperbarui: 6 November 2023   13:15 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam minggu itu Ibu baru saja pulang dari toko bunga (florist) tempat beliau bekerja. Otot-otot Ibu ingin merasakan empuknya sofa dan mata Ibu merindukan majalah kesukaan beliau. Tatkala relaksasi akan dimulai, tiba-tiba lagu rintihan dan sesenggukan terdengar dari arah pintu kamar. Liriknya hanya, "Huuaaa........hiks.......hiks.....!" namun durasinya entah kapan bisa selesai.  Ibu mengenali suara khas itu dan secara diam-diam beliau menelusuri lokasi kejadian. Dengan hati-hati tangan beliau memegang gagang kayu yang telah bertahun-tahun diputar dan didorong silih berganti.

Ketika celah pintu sedikit melebar, terlihat ada seorang gadis yang sedang memeluk erat bantal gulingnya. Jilbab putih yang sepengetahuan Ibu telah disandang sejak tadi pagi belum berpindah tempat. Seragam olahraganya pun juga seakan multifungsi menjadi piyama. Terlihat juga sajadah yang tidak terbentang rapi dan mukena yang tergeletak begitu saja. Benar dugaan Ibu, putri keduanya sedang bersedih hati. Ada apa gerangan? Rasa heran semakin menyentuh kalbu Ibu yang hampir saja dikabulkan hasratnya untuk beristirahat.    

 "Ibu!" sorak si bungsu tiba-tiba mengagetkan Ibu. Hampir saja berteriak, namun Ibu mampu menguasai keadaan agar misi beliau tidak gagal. Sambil berbisik, Ibu berujar, "Ananda, jangan berteriak ya. Nanti Ibu bisa ketahuan." "Ada apa, Bu?" tanya si bungsu. "Ibu dengar kakakmu sedang menangis." jawab Ibu. "Ya, Bu. Dari tadi sore Kakak menangis. Adek kurang mengerti alasannya, Bu. Bahkan Kakak belum makan malam." sahut si bungsu. "Belum makan malam?" tanya Ibu kaget. Spontan Ibu menyiapkan makanan kemudian kembali ke lokasi pengintaian. Kaki beliau berjinjit sambil membuka gagang pintu sepelan mungkin. Pada saat yang tepat, Ibu dan si bungsu mencoba mendekati si pemilik kamar.

 "Ananda sayang, tolong makan sedikit dulu ya" kata Ibu. "Ya, Kaq. Tolong makan dulu Kaq. Nanti Kakak lemas loh!" sahut si bungsu manja. Namun hanya bunyi "hiks.....hiks" yang menyahut, diiringi gelengan kepala yang pelan. Ibu tidak langsung menyerah dan meminta hal yang sama, makan malam walau pun hanya sesuap nasi dan sepotong ayam goreng. Setelah sekian kali sempat gagal, akhirnya "si sedih" pun berhasil dibujuk. Ibu tetap menemaninya hingga selesai makan tanpa membicarakan sedikit pun apa yang sedang terjadi. Maklum, di tengah kondisi yang kurang kondusif orang sesabar Ibu harus menyikapinya dengan tenang.

Keesokan harinya, setelah sarapan Ibu kembali menyambangi kamar putrinya. Mata beliau yang teduh lagi-lagi memandang wajah buah hatinya yang sembab. Dalam relung hati beliau ada perasaan iba bercampur heran ditambah kontak batin yang begitu kuat. Beliau memang sedih, namun jiwa dan tanggung jawab sebagai seorang Ibu mendorongnya untuk berempati.          

 "Ananda, bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Ibu dengan nada penuh kecemasan namun tenang. "Sudah mendingan, Bu. Ananda kuat kok." jawab Izzah, anak perempuan yang sendu sejak kemarin. "Ibu penasaran denganmu. Ada apa gerangan sehingga air mukamu pucat pasi?" tanya Ibu lagi perlahan. "Ananda ingin tenangkan diri dulu, Bu." sahut Izzah lemas. "Iya, Nak.  Namun mungkin Ananda bisa curhat sama Ibu. Insyaallah Ibu dengar kok." kata Ibu meyakinkan.

Setelah suasana mulai tenang, Izzah mulai bertanya dengan ibunya."Bu......." lirihnya seperti menahan sesuatu. "Iya, nak." jawab Ibu. 

"Mengapa saya jadi perempuan, Bu? Apa salah saya kalau jadi perempuan, Bu?" kata Izzah lemas.

            Syahdan, jantung Ibu yang tadinya setenang nyiur yang melambai langsung berpacu bagai dikejar siput. Seketika raut wajah Ibu berubah keheranan, namun dengan "skill" kesabaran yang "powerful" beliau menghela napas sejenak sambil berpikir. Tumben putrinya mengutarakan pertanyaan yang seolah-olah asing walau pun lumrah bagi orang yang sedang mencari tahu hakikat hidup.

            "Lho, harusnya Ananda bersyukur jadi perempuan. Emangnya kenapa, Nak? Ada masalah jika Ananda jadi perempuan? Apakah Ananda.... emm... kurang sanggup menjaga adikmu? Apakah kakakmu berulah? Atau karena apa, Ananda?" tanya Ibu yang tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. "Bukan, Bu. Ce...ceritanya...... begini, Bu" sanggah Izzah dengan sayu. Perlahan-lahan Izzah mulai bercerita tentang kejadiannya kemarin sambil dibelai ibunya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun