Mohon tunggu...
Rafif Aryatha
Rafif Aryatha Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Politics

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Akar Ketimpangan Gender di Negara Berkembang

16 April 2022   02:04 Diperbarui: 16 April 2022   02:30 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peranan gender dalam kelangsungan berpolitik maupun sebagai budaya seringkali dibedakan secara kemampuan. Melihat kelamin pria identic dengan jakun, sedangkan perempuan yang memiliki payudara dan memiliki kemampuan mengandung, melahirkan maupun menyusui anak. Sifat tersebut tidak bisa dipertukarkan dikarenakan merupakan ketentuan tuhan atau kodrat manusia. Hal tersebut berpengaruh pada konsep gender itu sendiri yang diartikan sebagai ciri dan sifat melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Sebagai contoh perempuan biasanya dikonstruksikan sebagai makhluk lemah lembut, perasa, emosional dan jiwa keibuan. Ciri dan sifat tersebut ini kerap juga dipanggil sebagai feminine. Sedangkan laki-laki yang bersifat kuat, rasional, jantan dan perkasa, ciri ini biasa disebut sebagai maskulin. Melihat Faktor-faktor yang membentuk atau mengkonstruksi sehingga lahir perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah kultur dan struktur sosial, oleh cara pandang (ideologi) kehidupan seseorang, yang telah menjadi budaya selama berabad-abad. Akibatnya, karakteristik yang sebenarnya bersifat relatif ini seringkali berubah menjadi suatu yang dianggap alami.

Secara pemahaman antara seks dan gender ini ini sangat diperlukan karena dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Determinasi hal tersebut disebabkan karena adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender dan ketidak adilan gender atau bahkan dengan struktur diskriminasi dan ketidakadilan dalam masyarakat luas. Untuk mengatasi ketidakadilan dan diskriminasi gender tersebut diperlukan perjuangan kesetaraan gender. Pada dasarnya semua actor feminis ini berangkat dari kesadaran mereka dengan adanya ketidaksetaraan, ketidakadilan dan diskriminasi, namun mereka masing-masing memiliki alasan dan analisis yang berbeda-beda sehingga muncul berbagai aliran feminism.

Terjadi beberapa manifestasi ketidakadilan dan diskriminasi dalam tumbuhnya negara berkembang dikarenakan timbulnya asumsi gender yang tidak setara tersebut. Terjadi marginalisasi kemiskinan terhadap kaum perempuan contoh nya bisa kita lihat banyaknya pekerja perempuan yang tergusur dari sector pertanian akibat program Revolusi Hijau dan mekanisasi pertanian. Diskriminasi lainnya juga bisa muncul dalam bentuk diskriminasi pekerjaan, sehingga perempuan (yang dianggap lemah) mendapat pekerjaan seperti guru, sekertaris, perawat, pembantu rumah tangga yang bergaji rendah jenis sekalipun sama sama mendapatkan pekerjaan yang sama, mirisnya kaum perempuan masih digaji rendah dibanding kaum laki-laki. Tidak hanya untuk perempuan saja isu gender ini sebenarnya dapat merugikan bagi kaum laki-laki juga. Di banyak negara laki-laki dipaksa bertugas sebagai Angkatan bersenjata, dan di Sebagian negara besar hanya kaum laki-laki saja yang dikirim ke medan pertempuran. Kebanyakan pria yang melakukan pekerjaan yang lebih berbahaya, seperti pemadam kebakaran dan kepolisian. Meskipun wanita telah berperang dalam perang dan memasuki pasukan polisi dan departemen pemadam kebakaran, pengaturan gender dari sebagian besar masyarakat berasumsi bahwa wanita akan melakukan pekerjaan melahirkan dan merawat untuk anak-anak sementara laki-laki akan melakukan pekerjaan melindungi dan mendukung mereka secara ekonomis.

Salah satu faktor penyebab terjadinya diskriminasi gender ini ialah hukum di negara yang tidak sama sekali mendukung pada pro feminism, melihat dari tahun 2000 sampai dengan 2020 undang undang kita hanya sedikit yang membuktikan bahwa negara Indonesia sebagai negara yang ramah gender. Undang -- undang tersebut. Pemilihan umum pada tahun 2004 sebenarnya menjadi entry point bagi perkembangan sistem demokrasi karena telah melakukan beberapa perubahan penting diantaranya;

Pertama

dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada pertengahan tahun 2002 yang salah satu fungsinya akan menjadi lembaga hukum tertinggi dalam menyelesaikan sengketa konstitusi dan perundang-undangan, termasuk sengketa pemilihan umum.

Kedua

dibukanya keran aspirasi. daerah dalam perumusan aspirasi nasional melalui Otonomi Daerah dan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota dipilih langsung oleh rakyat, menggantikan utusan daerah dan utusan golongan yang dulu keanggotaan diangkat oleh Presiden.

Ketiga

ditingkatkan partisipasi perempuan dalam bentuk affirmative action dalam undang-undang Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum 2004 pasal 65 ayat menyebutkan ketentuan bahwa setiap partai dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Disamping itu penyelenggaraan

Keempat

Pemilu Legislatif 2004 dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden secara langsung telah menghadapkan Incumbent Megawati Soekarnoputri, yang notabene seorang perempuan, dengan tokoh pendiri Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Sayangnya apabila model kesetaraan diterapkan 50/50 untuk mengukur partisipasi perempuan dari kaum pria. Melihat pada hasil Pemilihan Umum tahun 2004 menunjukkan bahwa caleg perempuan terpilih adalah 11% (16 orang) dibanding dengan 89% (489 orang) dari total 550 kursi di DPR. Angka caleg perempuan ini naik dari 8,8% pada Pemilihan Umum 1999. Angka di tingkat daerah (kabupaten dan kota) juga tidak jauh berbeda. Sedangkan di DPD (Dewan Perwakilan Daerah) agak lebih baik, karena berhasil menempatkan 25 orang perempuan (19,5%) orang dari 128 orang seluruh anggota DPD terpilih (Saraswati, 2004: 32). Sedangkan anggota MPR menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah terdiri dari seluruh anggota DPR hasil pemilu ditambah dengan anggota DPD yang dipilih secara langsung dan mewakili daerahnya dengan empat orang wakil tiap-tiap provinsi.

Aktivis perempuan yang memperjuangkan RUU TPKS di Rapat Panja DPR.
Aktivis perempuan yang memperjuangkan RUU TPKS di Rapat Panja DPR.

Sudah hampir 10 tahun lamanya kita menunda kedaruratan kasus kekerasan seksual di Indonesia dan tidak Negara dianggap tidak sigap dalam menangani berbagai kasus dengan keberadaan peraturan perundang-undangan. Segudang kasus kekerasan seksual semakin marak dengan berkembangnya waktu. Namun pada tanggal 13 April kemarin bertepatan dengan Rapat pengesahan RUU TPKS dihadiri 311 anggota dewan, dengan rincian 51 orang hadir secara fisik dan 225 orang hadir secara virtual, diresmikannya UU TPKS diharapkan menjadi dorongan bagi para kaum feminism untuk membela hak-haknya secara utuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun