Ardi duduk gelisah di ruang tamu. Tatapannya terus terarah ke jam dinding yang berdetak pelan. Setiap detik terasa berdetak lebih keras dari seharusnya. Sebentar lagi Rara, teman baiknya, akan datang mengambil kembali kamera pinjamannya.
Seminggu yang lalu, Ardi meminjam kamera Rara dengan penuh semangat. Dia begitu antusias mengikuti lomba fotografi tingkat kecamatan. Rara, dengan kebaikan hatinya, langsung meminjamkan kamera kesayangannya itu.
"Jaga baik-baik ya, Di," pesan Rara saat itu. "Ini kamera kesayangan gue. Gue kumpulin uang lama buat belinya."
Ardi mengangguk penuh semangat. "Pasti, Ra! Janji gue bakal jaga kayak jaga mata sendiri."
Namun, semangat itu perlahan memudar. Hari pertama kamera di tangannya, Ardi memang berhati-hati. Dia hobi memotret, jadi dia tahu betul bagaimana memegang dan merawat kamera dengan baik. Namun, pada hari kedua, kecerobohan mulai melanda.
Saat asyik memotret di pinggir sungai, dia tidak sengaja tersandung dan kamera terjatuh ke pasir. Ardi panik bukan kepalang. Dia segera mengambil kameranya dan membersihkan pasir yang menempel. Sepintas, kamera terlihat baik-baik saja. Lega rasanya.
Keesokan harinya, saat hendak memotret lagi, Ardi baru menyadari ada yang tidak beres. Layar kamera bergaris-garis dan lensa autofocus-nya macet. Panik kembali melanda, tapi kali ini disertai rasa bersalah yang besar. Ardi mencoba berbagai cara untuk memperbaikinya, tapi nihil.
Hingga akhirnya, waktu penjemputan pun tiba. Ardi mendengar suara langkah kaki Rara di depan pintu. Dia semakin gelisah.
"Hai, Di," sapa Rara ceria. "Gimana hasil fotonya? Dapet gambar bagus nggak?"
Ardi menelan ludah. "Ra, maaf banget," lirihnya.