Embun pagi menempel halus di rambut Kirana, gadis muda lulusan perawat yang memilih mengabdi di pedalaman terpencil. Desa Mertasari, namanya. Jauh dari hiruk pikuk kota, hanya ada deretan rumah kayu sederhana dan hamparan sawah menguning.
Pengabdian Kirana di Puskesmas desa kecil itu tak mudah. Fasilitas terbatas, obat sering menipis, dan masyarakat masih kental dengan pengobatan tradisional. Tapi, senyum tulus anak-anak yang menyambutnya setiap pagi membuatnya terus melangkah.
Suatu hari, wabah demam berdarah menyerang Mertasari. Anak-anak terbaring lemah, orang tua cemas. Puskesmas kekurangan obat, Kirana tak tinggal diam. Dengan sepeda pinjaman, ia berkelana ke desa tetangga mencari obat. Jalan berbatu dan terik matahari tak dihiraukannya.
Sampai di desa tetangga, Kirana dihadang penolakan. Stok obat mereka pun menipis. Kekecewaan menusuk, tapi Kirana tak menyerah. Ia bercerita tentang kondisi Mertasari, air matanya bercampur debu jalanan. Akhirnya, dokter desa tetangga terketuk, ia memberikan sebagian stok obat untuk Mertasari.
Kembali ke desa, Kirana disambut dengan sorak sorai. Ia langsung menangani para pasien. Hari-hari berikutnya, ia tak kenal lelah, merawat, memberi penyuluhan, hingga akhirnya wabah perlahan surut. Senyum anak-anak kembali merekah, sehat dan ceria.
Suatu malam, Kirana dipanggil ke rumah Pak Tua Wisnu. Sang kakek yang selalu menolak pengobatan modern membutuhkan pertolongannya. Keraguan sempat menyapa, tapi Kirana tak ingin membiarkan harapan hidup padam.
Di rumah Pak Tua, Kirana menemukan kearifan lokal yang selama ini ia abaikan. Ramuan herbal untuk meredakan panas, pijatan untuk melancarkan peredaran darah, ternyata efektif. Pengobatan modern dikombinasikan dengan kearifan lokal, Pak Tua Wisnu perlahan pulih.
Berita kesembuhan Pak Tua menyebar. Masyarakat yang awalnya menolak Kirana, kini berbalik percaya. Mereka belajar bersama, memadukan pengobatan modern dan kearifan lokal. Kepercayaan itu pula yang membuat Kirana tak lagi dipanggil "Perawat Kota", tapi "Bulan Mertasari", penerang di desa terpencil.
Pengabdian Kirana tak melulu soal raga. Ia mengajari anak-anak membaca, memberi penyuluhan kesehatan, hingga membantu petani mengembangkan tanaman obat. Mertasari perlahan berubah, lebih sehat, lebih sejahtera.
Tahun berganti, Kirana tetap di Mertasari. Pengabdian tak lagi menjadi beban, tapi panggilan jiwa. Ia tak lagi sekadar perawat, tapi keluarga, sahabat, bahkan harapan bagi masyarakat Mertasari. Sinar matanya tak lagi memancarkan keraguan, melainkan kebanggaan dan keteguhan hati. Pengabdiannya tak hanya mengubah Mertasari, tapi juga dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H